Memelihara Iman di Tengah Segala Situasi

 

Kitab  Ezra  dan  Nehemia  dalam  tradisi  Yahudi  merupakan  dua  kitab  satu kesatuan. Walter Brueggemann mengatakan bahwa perhatian terbesar dari kedua kitab ini adalah  pembentukan  komunitas  Yahudi  pasca  pembuangan. Di sisi lain, selain masalah “identitas nasionalisme,” persoalan yang sangat penting menjadi pembahasan kitab Ezra adalah masalah keimanan, spiritualitas umat Yahudi. Kehidupan orang-orang Israel yang kembali pasca pembuangan sangat memprihatinkan: selain minoritas, mereka juga mengalami krisis identitas dan hampir kehilangan ciri khasnya sebagai umat pilihan Allah, penyembah Yahweh, dan secara  sosial, ekonomi dan politik kehidupan mereka belum juga stabil. Umat Israel mengalami kemerosotan rohani yang amat sangat: banyak di antara mereka melanggar perjanjian dengan Allah, terjadi kelesuan rohani, penyembahan yang salah, ketidakadilan sosial, perceraian,  kawin  campur  dengan  perempuan-perempuan  asing,  mengabaikan  perpuluhan, kebobrokan moral, dan penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan para imam (Ezra 9-10). Dengan kata lain, hidup setelah pembuangan di negeri yang mereka cintai tidak se-ideal bayangan mereka, bahkan pembangunan Bait Allah sebagai lambang identitas dan spiritualitas umat dihalang-halangi (Ezra 4). Tidak hanya itu, dapat dikatakan, hampir seluruh sendi kehidupan umat Israel mengalami “kemerosotan”.

Di dalam keadaan seperti ini Ezra mendapat mandat suci dari Allah melalui raja Persia (Artahsasta) untuk mengadakan pembaharuan, pemulihan rohani, agar umat Israel kembali berpedoman kepada hukum Taurat Musa. Hal ini pun sesuai dengan pasion Ezra, karena Ia adalah seorang Imam dan ahli kitab (Neh 8:2). Dalam menjalankan mandat tersebut, dapat dikatakan Ezra berhasil, yang tentu tidak terlepas juga dari campur tangan pemerintahan Persia. Namun, tentu bukan tanpa masalah sama sekali. Ia mendapat perlawanan, bahkan ia dicap gagal karena tidak berhasil membangun kembali tembok-tembok kota karena banyaknya perlawanan kepadanya. Hal ini pun terdengar oleh Nehemia, dan atas seizin dan restu dari penguasa Persia, dengan mempersiapkan diri, Nehemia pun pergi ke Yerusalem meneruskan pembangunan tembok tersebut, dan walau banyak tantangan tembok itu akhirnya berhasil dibangun (Neh 4). Nehemia bertindak sebagai tokoh politik, meskipun dia meneruskan banyak hal keagamaan seperti yang Ezra lakukan, sehingga tidak mengherankan Ezra dan Nehemia dikenal juga sebagai bapak fanatisme Yahudi. Dari semenjak zaman Ezra-Nehemia kehidupan keagamaan digalakkan secara ketat, kekuasaan para imam makin bertambah, bahkan merambah kepada hal-hal yang berbau politik, sehingga pertentangan antara orang Yahudi dan Samaria pun semakin nyata, bahkan hal ini berlangsung hingga zaman Tuhan Yesus (Wahono: 2015, 261).

Melalui kitab Ezra kita memperoleh beberapa bahan refleksi untuk direnungkan: a) betapa pentingnya komunitas yang saling membangun di dalam kehidupan kita maupun kehidupan spiritual kita. Ketidaksepahaman mungkin saja terjadi, yang tidak terlepas dari kelemahan dan kekuarangan masing-masing pribadi. Oleh karena itu penting sekali untuk fokus kepada mandat Allah di dalam kehidupan kita sebagaimana yang terlihat di dalam kehidupan dan sepak terjang Ezra dan Nehemia. Saling dukung dan menguatkan sebagai sesama pembawa mandat Allah harus terus dilakukan di dalam segala situasi, terkhususnya pada saat-saat sulit, sebagai komunitas kita harus semakin peka.

b) Identitas bukan berdasar “bait suci”. Kehancuran Yerusalem dan runtuhnya bait suci telah memporak-porandakan kehidupan umat Israel di dalam pembuangan maupun yang tinggal di Yerusalem (yang kawin campur). Hal ini dikarenakan selama ini mereka mengidentifikasi keterpilihannya berdasarkan kehadiran bait suci sebagai identitas rohani. Memang, pembangunan “bait suci” harus menjadi salah satu prioritas utama. Namun, “bait suci” di sini, yang paling utama harusnya adalah pembangunan kehidupan spiritual masing-masing pribadi umat, baru kemudian bait suci secara fisik, jangan dibalik.

c)Allah dapat memakai siapa pun dan dalam keadaan apa pun untuk melaksanakan rencana-Nya. Allah memakai pemerintahan Persia (Kores dan penerusnya) sebagai mitra-Nya untuk menggenapi rencana-Nya, dan tentu saja di sini menuntut keterlibatan umat pilihan-Nya (Ezra 1-10). pemerintahan Persia bukan penyembah Yahweh, tetapi ia juga dapat dipakai oleh-Nya. Hal ini tentu tidak terlepas dari sikap hidup orang-orang pilihan Allah di mata para penguasa Persia. Buat saja contohnya Nehemia. Ia adalah orang yang disayang, walaupun dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang tawanan, dan memungkinan saja terdapat banyak Nehemia-Nehemia yang lain di dalam pembuangan ketika itu. Hal ini mengingatkan setiap kita bahwa situasi dan kepelikan hidup harusnya tidak menggerus identitas kita untuk memancarkan terang Tuhan di dalam segala situasi. Tidak gampang memang, namun marilah kita terus belajar seperti Ezra dan Nehemia, di tengah keterbatasan, mereka selalu berusaha memberikan yang terbaik, serta senantiasa melibatkan Tuhan di dalam karyanya.

d)bukan “hukum” tetapi relasi. “Kesaklekan” Ezra telah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri dalam menjalankan misi Allah. Tujuannya untuk menegakkan hukum Taurat Musa memang benar, tetapi terlihat agak “kaku” sehingga kurang memerhatikan konteks dan cara. Ezra adalah iman yang baik, saleh, dan rendah hati, serta memprioritaskan Tuhan di dalam hidupnya, ini tentu harus menjadi poin utama. Namun, tidak begitu dengan iman-iman lainnya yang telah terlajur “terkontaminasi” ketika itu. Sehingga ia banyak mendapat perlawanan. Memang sekilas Ezra tampak berhasil dan dapat dikatakan berhasil melalui kacamata tertentu, namun apakah ia benar-benar berhasil? Menjadi pertanyaan penting. Sama halnya mempertanyakan “apakah hukum maupun hukuman dapat mengubah seseorang?” rasanya jawabannya tidak, karena kita tahu bahwa perubahan itu adalah perubahan terpaksa, bukan dari dirinya sendiri. Perubahan yang benar haruslah disertai dengan sebuah kesadaran, dan kesadaran terbentuk melalui relasi. Oleh karena itu, pengajaran-pengajaran di dalam Alkitab sangat menekankan relasi, agar pertobatan, transformasi yang dialami umat benar-benar melalui sebuah kesadaran. Jika kita mengulik lebih dalam melalui pengaruh “kritik sumber” (salah satu metode penafsiran Alkitab yakni menafsir melalui sumber-sumber penulisan Alkitab) maka kita akan menemukan bahwa kitab Ezra juga kental dengan nada relasi.

Terdapat 4 jenis teori sumber yakni Yahwist (Y), Elohist (E), Priest atau imamat (P), dan Deutronomist (D), kurun waktu 11 SM-6 SM (Wahono: 2015, 61-74).[1] Sumber Y identik dengan penggunaan nama TUHAN, sementara E identik dengan penggunaan nama Allah. Sementara salah satu penekanan pada sumber Y adalah kedekatan hubungan Allah dengan manusia, relasi, dan salah satu penekanan sumber E adalah menonjolkan pembicaraan tentang nasionalisme dan Israel sebagai umat pilihan Allah. Di dalam kitab Ezra terdapat penggunaan istilah TUHAN, Allah, secara bergantian, sehingga memungkinkan terdapat pengaruh teori sumber terhadap kitab Ezra, baik secara langsung maupun tidak. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dengan penggunaan nama TUHAN, Allah, secara bergantian nenunjukkan kepada kita betapa pentingnya senantiasa menjalin relasi, lebih dekat dengan Allah di satu sisi, namun, di sisi yang lain, kita juga harus senantiasa memelihara komunitas kita, nasionalisme kita.



[1] Kritik sumber memang khusus terlihat dengan jelas di dalam Pentateukh, namun juga mempengaruhi hampir keseluruhan Perjanjian Lama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Sejarah Natal yang Menyejarah

Teologi Bencana