Teologi Bencana


PENDAHULUAN
Tentu masih segar di ingatan kita mengenai sederetan bencana alam yang terjadi di sekeliling kita yang menelan ribuan korban; gempa bumi dan tsunami di Aceh 2004 yang lalu, gempa di Nias tahun 2005, gempa di Yogyakarta tahun 2006 silam, gempa di Palu tahun 2018 yang lalu, dan banjir bandang di Jayapura baru-baru ini, dan sebagainya. Bukan hanya bencana alam, bencana sosial juga tidak lekang dari kehidupan kita; peristiwa bom Bali I, peristiwa bom di tiga gereja di Surabaya tahun 2018 yang lalu, dan yang baru-baru ini terjadi yakni penembakan di Mesjid Christ Church di Selandia baru yang menelan puluhan korban, dan parahnya lagi, ketika melakukan aksinya sang pelaku menyiarkan aksinya secara langsung di media sosial.
Orang-orang kemudian bertanya “di mana Tuhan saat manusia menderita, saat manusia mengalami berbagai deraan bencana?” Pertanyaan tersebut tentu melahirkan berbagai macam jawaban, dan tidak sedikit orang kemudian jatuh kepada sikap fatalisme: terjebak dalam perangkap teologis yang mengharukan, mengkambinghitamkan korban bencana sendiri ataupun menyalahkan Tuhan, yang dianggap tidak memiliki ampun dan belas kasihan. Namun, ada juga yang menganggap bencana sebagai fenomena alam yang tidak terhubung langsung dengan Tuhan, dan ada yang menganggap bencana sebagai misteri Ilahi.
Di tengah kecemasan akibat bencana-bencana yang terjadi dan akibat-akibat traumatis yang ditimbulkannya, kita mesti bangkit kembali. Seperti apa yang dilakukan oleh Zakaria J. Ngelow dan Andreas A. Yawangoe yang mencoba menggali secara mendalam bagaimana menyikapi dan memaknai bencana-bencana tersebut melalui teologi bencana, melalui sebuah pendekatan dengan perspektif yang baru, yang memberikan semangat dan harapan. Bevans menyebutnya dengan upaya memahami teologi sebagai sesuatu yang kontekstual, baru, sekaligus juga tradisional yang memerhatikan dengan erat: tradisi dan Alkitab, pengalaman personal/komunal, lokasi sosial-kebudayaan, dan perubahan-perubahan sosial yang ada.
Teodise Dalam Sejarah Gereja
Menurut Gottfried Wilhelm Leibniz dalam (Zakaria J. Ngelow 2006: 205), teodise berarti keadilan Allah; menegaskan eksistensi Allah dan mendamaikan sifat-sifat mahakuasa dan mahakasih-Nya dengan adanya kenyataan kejahatan dan penderitaan. Namun, istilah mahakuasa, keadilan, kejahatan, dan penderitaan seperti apa yang dimaksudkan tentu juga menjadi sebuah pertanyaan bukan! Karena pemakaian atau pemaknaan istilah yang berbeda tentu akan menimbulkan deskripsi dan sikap yang berbeda pula ketika memaknai sebuah bencana. Memahami tentang istilah, mungkin apa yang dikatakan oleh C.S Lewis dalam bukunya The Problem of Pain bisa menjadi pertimbangan yang baik bagi kita. Yang mana, menurutnya, istilah-istilah tersebut agaknya bersifat ekuivokal (memiliki lebih dari satu arti), di mana makna popular dilekatkan pada istilah-istilah tersebut.
Istilah Teodise menguak pada abad pencerahan, meskipun sebenarnya sudah ada sejak dulu, di mana pembahasannya dimulai oleh Bapa-bapa Gereja. Bagi orang Kristen perdana, penderitaan bukanlah masalah metafisik yang memerlukan penjelasan, melainkan tantangan praktis yang memerlukan jawaban, sehingga mereka tidak mempertanyakan imannya kepada Tuhan oleh karena penderitaan, ketidakadilan. Malah sebaliknya, iman mereka memberi pegangan dalam menghadapi penindasan dan kemalangan.
Gereja Purba
Para teolog Kristen purba dihadapkan pada berbagai pandangan dan persoalan mengenai pemahaman adanya kejahatan dan penderitaan yang dikaitkan dengan teologi.  Platonisme mengajukan penangkal terhadap kebimbangan dan bidah dualistik Gnosis dan Mani. Alam semesta ciptaan Sang Oknum Mahasempurna-untuk memperlihatkan kebesarannya yang sesungguhnya. Dalam paham yang demikian, pemikiran Yunani mendukung wahyu Alkitabiah yang menekankan pada kebebasan manusia yang dapat mengakibatkan manusia itu menjadi jahat dan menyalahgunakan kebebasannya.
Stoiki memiliki pandangan yang cukup besar terhadap teologi Kristen. Stoiki memandang bahwa penderitaan yang dialami manusia memiliki makna yang hakiki. Ada juga beberapa teolog kristen seperti Origenes, Tertulianus dan Marcion yang mencoba untuk menjelaskan adanya kejahatan dan penderitaan. Origenes memandang bahwa kejahatan dan penderitaan ada dikarenakan manusia yang salah menggunakan kehendak bebas yang diberikan Allah. Turtulianus memandang dengan menolak semua penjelasan secara filosofis dikarenakan hal ini terlalu mengedepankan iman sebagai cara untuk menghadapi hal-hal yang mustahil. Sedangkan Marcion mengajukan pandangan yang ditolak sebagai bidah karena mengedepankan adanya dua Allah yakni Bapa yang kejam dan Anak yang pengasih. 
Pada masa Gereja Purba juga ada 2 teolog yang juga mempunyai pengaruh yang sangat besar yakni Agustinus dan Irenaeus yang mengembangkan prinsip diciplinary view yakni kejahatan dipandang sebagai sarana untuk mendisiplinkan serta menguduskan kehidupan moral dan spiritualitas. Dalam pandangan ini tidak ada kejahatan intrinsik, namun dipandang sebagai cara untuk mengembangkan manusia dari perbudakan kepartisipasian sadar dalam kerajaan Allah. 
Agustinus menyediakan doktrin kejahatan dan pembenaran Allah yang baku dalam ajaran ortodoks Kristen Barat yang bersifat eklektik dengan modifikasi teori Plotinus. Agustinus lebih menekankan pada motif batiniah dibandingkan dengan motif lahiriah. Ketika keinginan mengabaikan apa yang di atas dirinya dan melakukan hal yang lebih rendah, maka ia menjadi jahat. Bukan karena yang ia pilih jahat tetapi tindakan memilih itulah yang jahat. Jadi kejahatan dan penderitaan hanyalah tiadanya kebaikan, maka kejahatan sebenarnya tidak ada karena sifatnya terkait ketidakadaan kebaikan. Jadi, menurut Agustinus, Allah tidak dapat dipersalahkan atas adanya yang jahat. Irenaeus dan Agustinus menegaskan bahwa ciptaan Allah baik adanya sejak awal dan tidak menciptakan yang jahat. 
Reformasi
Para reformator, Martin Luther dan Yohanes Calvin mengikuti pandangan Agustinus, bahwa semua yang jahat bermula dan ada sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa. Teologi salib Luther ingin mengatakan bahwa penderitaan manusia dan sengsara kristus adalah pembuktian tindakan Allah kepada kita, maka teologi salib bukanlah sebuah doktrin untuk dipelajari, melainkan sebagai cara untuk melihat dan menjalankan kehidupan. Luther secara tegas menolak seluruh gagasan teodise filosofis. Bukan Allah yang harus dibenarkan melainkan Manusia. Calvin juga mendasarkan pandangannya atas penderitaan mengikuti Agustinus. Keputusan pribadi manusia yang memiliki kebebasan sebagai sebab utama adanya kejahatan. Maka semua yang jahat dan penderitaan berada di bawah dominasi Allah, walaupun mendominasi kehidupan manusia. Calvin memberi tiga tema mengenai penderitaan berdasarkan kitab Ayub. Yang pertama yaitu ketertidakpahaman Allah dan kita tidak mampu menjawab mengapa itu terjadi, kedua, penderitaan terkadang merupakan ganjaran atas dosa, ketiga, penderitaan merupakan program Allah dalam menguduskan manusia.
Pencerahan.
Leibniz adalah seorang teolog dari abad pencerahan menolak gagasan yang menghubungkan penderitaan dengan dosa asal dan menggeser pemahaman tersebut ke arah bahwa penderitaan itu sebagai masalah yang ada di dunia,  alami dan dapat dihadapi dengan cara-cara yang rasional. Leibniz memandang bahwa teodise bertugas untuk memperlihatkan bahwa kenyataan yang jahat memang cocok bahkan bersumber dari penciptaan dan pemeliharaan Allah. Leibniz juga mengembangkan prinsip bahwa dari semua kejadian yang mungkin terjadi, kemungkinan terbaiklah yang akan terjadi. Leibniz membahas 3 macam kejahatan yakni metafisik, moral dan natural. Optimisme pada abad pencerahan menarik minat para pemikir  membahas teodise, namun juga mengundang berbagai kritik. 
Abad 20
Karl Barth menyimpulkan bahwa penekanan reformasi terhadap kemahakuasaan tak terbedakan dari pemahaman Stoik mengenai penyebab segala sesuatu, sehingga timbul pandangan bahwa semua hal disebabkan oleh Allah. Barth menolak semua kesimpulan dari kategori-kategori sifat-sifat Allah seperti mahakuasa dan mahatahu. Hubungan antara Allah dan manusia adalah hubungan pribadi dalam kasih, bukan hubungan ontologis atau metafisis, sebab utama atau sebab sekunder.
Alfred N Whitehead mengembangkan filsafat proses yang kemudian menjadi dasar bagi teologi proses. Teologi ini menyatakan bahwa Allah memiliki kutub ganda, kutub mental dan kutub fisik, kutub fisik yakni dunia materi itu sendiri yang melambangkan “tubuh” Allah itu sendiri. Dalam hubungan-Nya, Allah sebagian terpisah dan sebagiannya terisab ke dalam dunia, sebagaimana manusia dan tubuhnya. Akibatnya setiap penderitaan di dalam dunia juga dialami Allah. Charles Hartshorne mengembangkan secara kritis implikasi teologis dari pemikiran Whitehead dan menjadi pusat gerakan Teologi Proses. Hartshorne juga mengembangkan teisme neoklasik di mana arti kesempurnaan Allah tidak di luar batas dalam keterhubungan sosial. Maka Allah mahamutlak dalam hakikat abstrak-Nya dan maharelatif dalam hakikat Konkret-Nya
Teologi Proses
John Cobb dan lainnya menggabungkan filsafat proses Whitehead dan Hartsthorne. Mereka memperlihatkan bahwa pandangan proses mengenai Allah lebih sesuai dengan pandangan Alkitab yang memandang bahwa Allah itu berelasi secara dinamis. Mereka menyatakan bahwa konsepsi satu kutub tentang Allah tidak mampunyai waktu, tak berubah dan independen yang lebih ke arah helenistik daripada Alkitabiah. Pitengger secara khusus menerapkannya pada Kristologi, bahwa keunikan Kristus terlihat dalam cara Dia mengaktualisasikan tujuan ilahi atas hidupNya dan memandang bahwa dosa adalah penyimpangan tujuan. Griffin dan juga Cobb mengembangkan kristologi Proses. Griffin menyatakan  bahwa puncak wahyu dari Allah itu adalah visi realitas yang terlihat dalam kata-kata dan tindakanNya, sementara Cobb menekankan Kristologi Logos sebagai hakikat primodial Allah yang hadir dalam segala sesuatu dengan bentuk dan tujuan semua makhluk ciptaan
John Hick
Gagasannya adalah bahwa alam semesta ditentukan untuk memungkinkan kemajuan moral dan spiritualitas menuju kesempurnaan sehingga hidup dalam dunia demikian memungkinkan “makhluk hewani manusia diciptakan menjadi anak Allah”, dunia dengan aneka masalah, kesulitan, kesusahan dan tantangan memang diperlukan untuk pertumbuhan moral dan spiritualitas 
Dengan demikian Ngelow menyimpulkan, bahwa di setiap penderitaan ada Allah yang mahakasih dan maha kuasa. Meskipun begitu, tetap saja penderitaan yang terjadi itu karena tindakan manusia, dosa manusia. Allah sendiri berbela rasa serta berbagi derita dengan manusia bahkan mati demi memulihkan kehidupan manusia. Allah berkorban melalui Kristus, sehingga manusia dituntut untuk meneladai pengorbanan tersebut yakni bersedia menderita bagi yang lain. Ngelow sampai pada inti pemikirannya bahwa bencana itu memang bagian dari kehidupan manusia yang tidak akan terelakkan. Namun, oleh karena kehendak, kuasa, dan kasih Allah, manusia dapat memaknai penderitaannya, mengalaminya dengan iman, pengharapan dan kasih. Di mana dengan iman tersebut manusia dimampukan untuk melewati masa-masa sulit ketika penderitaan tersebut terjadi.
Tanggapan Masyarakat Terhadap Bencana Gempa dan Tsunami
Saat terjadi tsunami di Aceh dan gempa di Nias ada beberapa tanggapan yang muncul. Tanggapan yang pertama adalah Hukuman Tuhan. Bencana dianggap sebagai sebuah akibat dari dosa-dosa manusia. Orang-orang yang mencoba menghibur para korban seperti artis, para pengkhotbah, dll mengatakan bahwa bencana itu adalah upaya Tuhan untuk menguji iman umatnya dengan memberikan cobaan. Tuduhan itu disampaikan seakan-akan mereka tahu apa yang dikehendaki Allah dan menganggap diri mereka yang paling kudus. Jika ditelisik, pendapat-pendapat tersebut bukanlah hal yang baru, yang sebelumnya telah dibicarakan oleh Ngelow yang mengutip pendapat Agustinus, Luther, maupun Calvin tentang dosa dan hubungannya dengan rencana Allah.
Persoalan Teodise
Mengaitkan antara dosa dan malapetaka cenderung terjadi dalam sejarah. Pada masa kekristenan perdana ada kesan bagi mereka bahwa penderitaan bukanlah masalah metafisik melainkan masalah tantangan yang memerlukan jawaban iman. Orang Kristen perdana tidak mempertanyakan iman mereka atau meragukan Allah meskipun mereka sedang dilanda bencana. Mereka berpegang kepada imannya untuk menghadapi penderitaan itu
Persoalan-persoalan yang mempertanyakan keadilan, kemahakuasaan Allah dengan adanya kejahatan dan penderitaan tetaplah menjadi persoalan utama yang sangat pelik. Seperti yang disampaikan oleh Origenes, Marcion, Luther, Calvin, dll yang menyiratkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dihindari: bagaimana kita bisa menaruh kepercayaan kepada Allah yang maha kuasa, maha kasih jika dunia terus diliputi oleh kejahatan dan malapetaka, kalau Tuhan ada mengapa ada kejahatan? Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pertanyaan-pertanyaan seputar teodise adalah sangat jelas meskipun jawabannya tidak pernah jelas; mengenai penderitaan-penderitaan yang dialami manusia entah itu metafisik maupun moral. Menurut Agustinus, dosa manusia adalah sebab dari kejahatan moral yang mengakibatkan penderitaan dan malapetaka fisik yang merupakan hukuman yang setimpal yang diberikan oleh Tuhan sebagai akibat dosa tersebut. Dengan kata lain ia mau mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tidak berdosa.
Teodise di Dalam Alkitab.
Menurut para ahli dan para penafsir Alkitab, Alkitab tidak menyiapkan jawaban yang jelas untuk menjelaskan kejahatan. Peristiwa Adam dan Hawa dari Perjanjian Lama masih sangat populer untuk menjelaskan theodise, bahwa kejahatan adalah suatu “kejatuhan”.Sementara di dalam Perjanjian Baru, menurut Schrage ada banyak cara untuk menyelesaikan penderitaan yang ada. Alkitab mengasumsikan di satu pihak adanya determinisme ilahi terhadap peristiwa yang terjadi dan di pihak lain adanya kebebasan manusia yang dapat menimbulkan terjadinya kejahatan dan kemalangan yang menimpa.
Dalam Perjanjian Baru, ada penyetaraan antara kebebasan yang dimiliki manusia dengan kekuasaan Allah. Penyetaraan ini mengaburkan pandangan tentang kebebasan manusia dan lebih berfokus pada kekuasaan Allah. Pandangan ini menjelaskan klarifikasi mengapa Allah mengizinkan adanya kejahatan di dalam dunia ini. Asal usul kejahatan yang dipakai banyak pada umumnya adalah setan. Muncul spekulasi yang mengkaitkan bahwa setan menjadi perantara kejahatan, juga terdapat spekulasi yang mengatakan bahwa setan tidak menjadi perantara dari kejahatan. Para ahli biblika menyimpulkan bahwa kejahatan merupakan sebuah hukuman, peringatan, atau ujian iman dari Allah.
Upaya Penyelesaian Terhadap Aneka Pertanyaan.
            Ada banyak upaya untuk menyelesaikan perihal terjadinya kejahatan di dunia ini, di mana kita mesti belajar menerima bahwa ketidakpahaman kita akan penderitaan adalah bagian dari ketidakterpahamkannya Allah. Ketika Allah mengijinkan sesuatu terjadi, maka pastilah terjadi sesuai kehendak-Nya, yang menurut Agustinus terjadi dalam hal kejahatan ataupun kebaikan. Namun, terlalu percaya bahwa kejahatan yang terjadi karena ketakterpahamkannya Allah akan membuat kita pasif dan percaya-percaya saja. Hal ini akan membuat seseorang jatuh kedalam fatalisme dan hilangnya tanggung jawab.
Banyak sekali jawaban mengenai adanya teodise dan jawaban paling mudah mengacu kepada keimanan seseorang. Namun, hal ini dapat membuat kita jatuh kepada fatalisme yang dapat meniadakan sama sekali tanggung jawab kita terhadap terjadinya kejahatan di dunia ini. Kita dapat setuju bahwa iman dapat memberi penghiburan ketika kita menghadapi kesulitan, namun hal ini pun harus didukung dengan pemikiran yang rasional. Dalam pembahasan mengenai kejahatan ini, kita akan mengacu kepada dua hal yang bersifat eksistensial yang berfokus tentang bagaimana kita menghadapi penderitaan dan yang kedua adalah teoritis yang berfokus kepada solusi-solusi komprehensif.
Penderitaan Dalam Pandangan Agama-Agama Asia
            Penderitaan di dalam pandangan agama-agama Asia merupakan sesuatu yang penting, baik itu sebuah akibat dari ulah manusia ataupun ganjaran dari Tuhan atas dosa-dosa yang telah diperbuat. Di dalam Hindu, penderitaan dianggap sebagai hal yang dialami manusia secara terus menerus sampai pada pencapaian moksa, dan di dalam proses itu manusia akan mengalami proses menjadi (re-inkarnasi) sebagai tindakan membebaskan diri dari penderitaan dan menjadi kesatuan dengan Brahman. Buddha memandang bahwa hidup adalah penderitaan sehingga untuk mendapatkan kebebasan, ia harus melepaskan kelekatan (kehendak, keinginan, eksistensi diri) yang ada di dalam diri manusia dengan melihat ke dalam diri. Kong Hu Cu melihat penderitaan sebagai halangan diri untuk mencapai  manusia ideal. Taoisme memandang penderitaan sebagai cara untuk mencapai Tao (jalan) ketika berperan besar dalam terbentuknya sebuah harmoni (interaksi antara yin dan yang). Kemudian Islam memandang penderitaan sebagai ciptaan Allah, di mana Allah mengizinkan terjadinya penderitaan di dalam hidup manusia (terkadang dimaknai sebagai hukuman) untuk menunjukkan keselarasan antara kenyataan penderitaan dengan nilai kemahakuasaan Allah. 
Di dalam agama suku, misalnya di Timor “Upacara Naketi” penderitaan dipahami untuk memperbaiki hubungan antara si Penderita dan yang menyebabkan penderitaan itu  ketika salah satu dari mereka ada yang meninggal. Selain itu agama suku pada masyarakat Afrika melihat penderitaan sebagai interpretasi dari pelanggaran ajaran moral dan aturan Tuhan sehingga perlunya upacara untuk mencapai kedamaian dan masyarakat hidap dalam keharmonisan. Penderitaan dianggap sebagai mendorong kehendak untuk mencapai kedamaian sehingga ingga keharmonisan masyarakat tidak terganggu.
Kemungkinan Membangun Suatu Teologi (Tentang) Bencana
            Menanggapi realita bencana yang begitu banyak terjadi di Indonesia kita memerlukan pendalaman fokus tentang teologi bencana itu sendiri. Hal ini diakibatkan masyarakat sekarang meresponnya dengan melemparkan sebuah pertanyaan tentang “eksistensi Allah itu sendiri”. Misalnya bertanya seperti “Apakah bencana itu baik ketika di dalamnya terdapat begitu banyak penderitaan hanya karena merupakan ciptaan Allah?” Atau “Jika ciptaan Allah itu baik, mengapa masih ada penderitaan atau bencana yang terjadi di dalam proses itu?”. Menurut pandangan  Leibniz, “Allah selalu bermaksud dan bertindak baik” sehingga dunia kitas sekarang ini adalah yang terbaik dari ciptaan Allah.
            Teologi bencana dalam perkembangannya memiliki 2 sifat: pertama, teologis, manusia mempertanyakan kehadiran Allah (baik sebagai subyek ataupun posisi-Nya) ketika dan setelah bencana tersebut terjadi. Kedua, sosial-antropologis, bahwa di dalam peristiwa dan akibat bencana manusia cenderung memiliki rasa solidaritas yang tinggi untuk saling menolong tanpa memandang latar belakang mereka (perilaku manusia dalam menghadapi bencana), dan letak menariknya adalah di dalam sifat ini.
            Menurut Harold Kushner, “Penderitaan memang termasuk di dalam kemanusiaannya manusia” atau yang artinya manusia tidak mungkin bisa terlepas total dari penderitaan. Jika ditarik persamaannya dengan alam maka, bencana merupakan bagian dari kealamannya alam. Sehingga A. Yewangoe mengusulkan teologi hukuman sebagai alternatif di mana di dalamnya dikembangkan teologi penderitaan Allah. Teologi ini akan membantu Si Penderita memahami bencana bukan sebagai akhir kehidupan melainkan awal untuk memulai suatu kehidupan baru. Jika ditarik ke dalam teologi Kristen hal ini dapat diaplikasikan sesuai dengan Peristiwa Agung Inkarnasi, di mana kerendahan hati Allah untuk menjadi serupa manusia dalam diri Yesus dan rela mati di atas kayu salib.  Okke Jager berpendapat bahwa manusia itu rentan di dalam dirinya sendiri yang telah rentan terlebih dahulu. Sehingga diperlukannya teologi bencana untuk membangun diri melalui cara pandang dengan perspektif yang berbeda di dalam penghayatannya tentang penderitaan Yesus di atas Kayu Salib.
PENUTUP
Melalui teologi bencana yang telah dipaparkan panjang lebar di atas kita bisa belajar dan mendapatkan begitu banyak manfaat sebagai olahan teologis, bahkan filosofis maupun eksistensial: menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang bencana-bencana yang mengakibatkan penderitaan, di mana penderitaan tidak lah melulu dipandang berkaitan dengan Allah, namun bagaimana melalui bencana-bencana tersebut kita dapat belajar untuk berefleksi dari semua hal yang terjadi dan menjadikannya awal yang baru untuk sebuah perubahan.
Bencana bisa menjadi titik tolak atau jeda untuk merefleksikan diri, bertransformasi dari kehidupan lama kepada kehidupan yang baru: jadi olahan-olahan yang  membukakan suatu kesempatan yang baru atau hal-hal yang baru. Karena manusia bagaimanapun tidak lekang dari yang namanya bencana dalam bentuk apa pun dan mungkin dengan cara seperti apa pun. Tetapi dari bencana tersebut ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa diperoleh yakni manusia akan sekuat mungkin untuk mendapatkan hal yang lebih dari rasa kehilangan yang sebelumnya atau yang kedua jika dikaitkan dengan spiritualitas; maka Allah hendak memberikan balasan yang setimpal dari bencana-bencana tersebut. Ataupun ketika kita masih bisa merasakan penderitaan pun adalah sesuatu yang patut disyukuri, mungkin kita tidak sanggup membayangkan bagaimana jika kita hidup namun tidak lagi mampu untuk merasakan penderitaan, bukankah itu sama saja dengan kematian? Bencana bisa saja muncul setiap saat, entah bagaimana pun ceritanya, namun terkadang bukan bencana tersebut yang menjadi masalah utama; toh bagaimana pun ia akan tetap datang, namun bagaimana merespon terhadap suatu bencana harus juga menjadi perhatian yang utama.      
Terakhir namun bukan akhirnya yang mungkin patut kita renungkan adalah; ketika Allah menciptakan alam semesta, maka dari penciptaan tersebut pastilah ada konsekuensi. Ada konsekuensi dari tatanan alam; gravitasi memang sangat baik sehingga kita semua orang bisa hidup tanpa melayang, namun di saat yang sama gravitasi juga “tidak baik” jika oleh karenanya orang juga bisa terjatuh  dari motor, ataupun pesawat bisa jatuh dari ketinggian yang memakan korban ribuan jiwa. Segala sesuatu ada konsekuensinya, kealamannya alam memiliki cara kerja sendiri yang tidak mungkin terus dintervensi, sebab sesuatu pasti menyebabkan yang lain, dan demikian seterusnya.
Ketika manusia jatuh memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat, maka manusia memiliki pengetahuan yang baik dan yang jahat, kita memiliki kehendak bebas untuk memilih, dan kita sebagian besar selalu memiliki itu. Ada yang memilih untuk melakukan hal yang jahat, ada pula yang memilih yang baik, semua itu tergantung pilihan manusia yang kadang berdampak dalam pergolakan hidup bersama dengan yang lain. Namun, semua hal tersebut tidak lah berpengaruh kepada eksistensi Allah. Mungkin ada orang yang karena kepahitan kemudian menyalahkan Allah, namun apakah semua itu selesai dengan menyalahkan seperti dengan demikian? Apakah orang itu merasa lebih baik, kalau tidak berarti bukan itu masalahnya.
Memang tidak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyaan mengenai teodise: kemahakuasaan Allah, kebaikan, kejahatan dan penderitaan. Tidak hanya jawaban yang jelas mengenai pertanyaan tersebut, namun istilah dari pertanyaan-pertanyaan tersebut juga bersifat ekuivokal. Namun, yang menjadi penekanan penting adalah bagaimana memaknai penderitaan akibat bencana-bencana tersebut, sehingga kita melihat bahwa Allah juga bersolidaritas, berbela rasa,  sehingga kita juga bisa berbuat demikian dengan ikut merasakan penderitaan tersebut. Juga mengingatkan kita, bahwa solidaritas Allah lebih dari sekedar empati, namun meliputi aksi nyata yang mendorong kita untuk bersolidaritas terhadap penderitaan sesama, melalui pemberian diri, keluar dari zona nyaman memperjuangkan kemanusiaan dalam karya kita sebagai orang-orang yang meneladani Allah yang juga menderita bagi kita.


2. Zakaria J. Ngelow, dkk, Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan   Bencana Sosial, Makasar: Oase Intim, 2006
3. Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, Maumere: Ledalero, 2002
4. C. S. Lewis, The Problem of Pain, Bandung: Pioner Jaya, 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Sejarah Natal yang Menyejarah

Iman dan Rasionalitas