Mengapa dan Bagaimana Berteologi

Berbicara tentang Allah, bisa dipastikan bahwa hal tersebut juga berbicara seputaran teologi, sadar atau tidak sadar begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam kehidupan kita, ntah itu di lingkungan bermasyarakat, pekerjaan maupun lingkungan akademisi yang mempertanyakan tentang Allah, apakah Allah itu baik, dapatkah Dia dipercayai, Allah yang mana dan bagaimana sebenarnya cara untuk mengenal-Nya? Pertanyaan tersebut selalu mengitari kehidupan kita dengan tidak memandang status sosial kita, sehingga dalam keseharian kita sebagai makluk ciptaan Tuhan yang mulia, secara langsung maupun tidak langsung semua dari kita sudah ataupun sedang berteologia. Paradigma kita memandang Allah mempengaruhi cara hidup kita, bagaimana kita memandang dan bertingkah-laku terhadap sesama, oleh karena itu penting sekali untuk diperhatikan kita harus mengadopsi teologi yang baik; teologi yang mencakup ibadah, pemikiran, perkataan, kasih, harapan, doa dan tindakan. Kita dituntut tidak hanya bertumbuh secara kognitif dalam pengenalan akan Allah yang benar sesuai kekristenan tetapi kita juga harus penuh kasih dalam tindakan dan perkataan. Orang lain dalam kehidupan kita bisa melihat kita sebagai teolog yang baik, pada saat hidup kita dan pandangan teologi kita bisa kita hidupi dengan berpadanan, kita dapat dibaca semua orang melalui cara hidup kita, sehingga sekitar kita bisa melihat bahwa kita adalah benar-benar seorang teolog Kristen yang baik dan menghidupi teologi tersebut.
Tantangan kehidupan teologis yang terbesar di zaman modern bukanlah patung-patung atau ball seperti pada zaman dulu. Kita berhadapan dengan fakta kehidupan yang tidak dapat dihindari, pengaruh arus zaman, kemajuan teknologi, media yang menjadi momok dalam berteologi yang bisa menjadi kekuatan maupun kelemahan. Sering kali kita terlena dengan hal-hal duniawi dengan mencari kepuasan jiwa. Kita terperangkap dalam dosa dan mengikuti ilah lain, dan kita menjadi Human pleasure bukan God Pleasure. Kita lebih sering mencari segala sesuatu yang baik menurut kehendak kita, segala hal yang berhubungan dengan kita, dan yang hal menyenangkan hati Tuhan sudah bukan prioritas dalam kehidupan kita lagi. Individualitas, konsumerisme, hedonisme adalah lumrah dan menjadi nomor satu dalam hidup kita. Kita lupa bahwa bahwa teologi bukan sekedar percakapan ataupun masalah pengetahuan faktual, tetapi bagaimana kita menghidupinya, mencari hikmat Allah dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya, dan bagaimana kita mewujudnyatakan Firman Allah dalam teologi yang kita pelajari dan bagaimana kita menyembah Allah dengan setia. Hendaknya demikian juga kita menikmati hadirat-Nya dalam setiap ibadah-ibadah yang kita lakukan sebagai bagian dari kita berteologia, ibadah tidak menuntut kita harus mengerti segala sesuatu tentang Allah dengan baik dan sempurna tetapi, bagaimana kita merespon terhadap pernyataan diri Allah tersebut dalam pewartaan Injil-Nya dan hidup berakar dalam Dia, dan bertumbuh dalam pengenalan akan Allah.
Kita harus berproses dan menjaga relasi yang intim dengan Allah, dosa merusak relasi kita dengan sesama dan khususnya merusak relasi kita dengan Sang Pencipta, sehingga kita harus menang dari dosa tersebut. Hanya hubungan yang Intim dengan Kristus yang dapat membebaskan kita dari hal yang mengikat dan mengahalangi kita untuk berteologia yang baik. Berserah dan berelasi yang berakar dengan-Nya memampukan kita berteologia, hidup dalam anugrah, dan kebenaran-Nya.
Teologi tidak hanya masalah pengejaran akan pengetahuan, tetapi juga bagaimana pengetahuan teologi yang kaya tersebut bisa memperkuat iman dan komitment kita dalam menapaki kehidupan ini bersama dengan dengan Allah dan bertumbuh dalam hikmat-Nya.
Calvin memulai tulisannya Institutes of the Christian Religion dengan kata ini: “Hampir semua hikmat yang kita miliki, maksudnya, hikmat yang benar dan sehat, terdiri dari dua bagian; Pengetahuan akan Allah dan akan diri sendiri, tetapi meski disatukan oleh banyak ikatan, yang mana yang mendahului dan menghasilkan yang lain tidak mudah untuk dibedakan”[1]
Bertumbuh dalam hikmat pengenalan akan Allah, akan mengubah cakrawala pemandangan kita terhadap segala sesuatu, termasuk pandangan kita terhadap Allah dan pandangan kita terhadap diri sendiri juga, sehingga kita tidak bersandar pada diri sendiri melainkan bersandar pada topangan kasih setia Allah, bersandar pada Firman-Nya. Kita selalu dibatasi oleh dua hal penting dalam perenungan teologis kita, dosa kita dan kefanaan kita, dan itu pengaruhnya sangat singnifikan dalam perenungan kita. Oleh karena itu kebergantungan pada Roh Kudus adalah hal yang paling utama yang mendasari perenungan teologis kita, sehingga Roh Kudus bisa menyingkapkan dan memateraikan Firman Allah ke dalam kehidupan kita, ke dalam hati kita, karena Ia tahu segala segala sesuatu, dan dosa tidak membatasi karya-Nya.
Dalam perenungan teologis, kita mengalami perjumpaan dengan kekudusan dan keindahan Allah, oleh karena itu dalam berteologia kita harus menjaga kekudusan hidup kita dari kecemaran, dalam pencarian kita berteologi kita dengan rendah hati harus bersandar penuh kepada-Nya dan mengutamakan relasi dengan-Nya, kita disadarakan bahwa kehidupan spritualitas kita tidak dapat dipisahkan dalam teologi dan akal budi kita yang harus dirangkul dan ditaklukkan untuk melayani-Nya. Sebelum masuk ke penggalian teologi, harus ada bagian yang cukup waktu bagi kita untuk menggali , seperti “pengantar” maksudnya adalah bagaimana kita bertindak, memeriksa segala sesuatunya lebih dulu, misalnya kajian ilmiah yang cukup, membahas tentang pertimbangan-pertimbangan yang harus dibicarakan dan diputuskan kemudian, hati dan iman yang siap untuk menelusuri segala sesuatunya. Sering kali orang mendatangi teologi dengan tidak siap, mereka datang dengan obsesi untuk menyingkapkan rahasia dan teki-teki yang ada, dan hasilnya mereka menemui kesukaran dan ada sesuatu yang direndahkan dalam hal tersebut, termasuk agama itu sendiri. Teologi kita dapat menjadi cemar karena kita lalai, tidak menjaga hidup kita, sebab teologi yang benar selalu harus merupakan spritualitas sejati. Bahwa, “kekudusan adalah haikiki bagi pengetahuan yang tepat akan hal-hal ilahi, dan adalah pengaman yang kuat terhadap kesalehan.”[2]. Di sini bukan berarti kita anti terhadap pencapain intlektualitas dalam berteologia, kita sadar pengetahuan kognitif mengambil porsi yang sangat penting dalam berteologia. Tetapi yang menjadi penekanan adalah relasi timbal balik antara berteologi dan bagaimana berpraktek, bagaimana tingkah laku kita, karena berteologi tidak serta merta menjadikan orang tersebut saleh. Pengetahuan akan intlektulitas teologi harus berpadanan dengan kehidupan spritualitas kita.
Seringkali orang yang berteologi terjebak dalam masalah besar, ketika Allah hanya sekedar dijadikan objek penelitian untuk studi, daripada dengan kerendahan hati memperlakukan Allah tersebut sebagai Tuhan dan Juruselamat yang harus diagungkan dan disembah dalam studi tersebut. Kita terlena dalam pengetahuan yang dicapai, terlena dengan logika dan akal budi kita, sehingga kita lupa bahwa ada Allah yang Esa yang  jauh lebih besar daripada kita.  Padahal harusnya, pengetahuan, akal budi dan logika kita harus takluk terlebih dahulu kepada Allah. Dalam teologi, tepatnya akal budi bekerja melayani iman dan karena itu, teologi yang setia tidak menyangkali perenungan rasional. “Ada gerak dua arah dalam teologi, iman dan pencarian pengertian (fides quaerens intellectum) dan iman yang mengerti (intellectus quaerens fidem). Intellectus tanpa fides membawa ke rasioonal; fides tanpa intelletus jatuh ke dalam emosionalisme.”[3] Pencapaian semua itu adalah karunia ilahi, karena Allah sangat mengasihi dan menolong kita dalam pengertian.
Komunitas iman yang aktif adalah lahan teologis yang tumbuh subur, dalam komunitas iman yang aktif ada rasionalitas dan keprihatinan terhadap sesama yang berkaitan erat dalam teologis. Bagaimana mungkin kita berkata bahwa kita mengenal Allah yang tidak kelihatan secara kasat mata sementara saudara-saudari kita, di sekeliling kita yang tampak dengan mata saja kita tidak sanggup perhatikan, dalam arti hati kita tergerak dan terlibat untuk menolong kehidupan mereka. Seorang teolog harus mencermimkan karakter Kristus yang penuh dengan kepedulian, penuh belas kasihan akan sesama dan berkorban bagi manusia. Banyak orang hanya bertumbuh secara pengetahuan teologis, tetapi mereka tidak semakin peka terhadap kehidupan orang di sekitarnya, sehingga kerap kali menjadi batu sandungan bagi orang lain. Teologi juga tidak bisa terlepas dari tradisi-tradisi yang ada, banyak tradisi-tradisi gereja yang sangat baik yang merupakan respon umat-Nya kepada Allah, tetapi harus diperhatikan adalah jangan sampe tradisi-tradisi yang ada justru menjadi hal yang utama, sehingga fokus diseret kepada tradisi tersebut, bukan fokus kepada Allah yang harus kita muliakan, dan semua tradisi-tradisi tersebut pada hakikatnya hanyalah untuk memuliakan Allah.
Setiap orang akan mengalami fase teologis dalam kehidupan mereka, ntah itu fase teologis awam maupun khusus. Bahkan tak jarang orang yang kita temui, sangat mumpuni dalam pengetahuan teologis tapi kehidupan pribadi mereka tidak berpadanan dengan pengetahuan mumpuni mereka. Teologi yang baik banyak mengubah kehidupan orang, tetapi pada prakteknya banyak juga teologi malah disalah gunakan, teologi dipakai untuk menghakimi orang lain, mengekang kehidupan orang lain, pelecehan dan mengakibatkan penderitaan. Kita tidak boleh memperlakukan teologi seenaknya saja dalam perjalanan kehidupan kita, karena kita sedang berespon dan membicarakan Allah yang hidup dan yang benar, oleh karena itu teologi merupakan ibadah. Teologi harusnya membebaskan teologi, kebenaran teologi yang baik harusnya memerdekakan kita. Teologilah perjalanan rohani kita, yang kita jalani dengan hidup dan berakar dalam Kristus dan untuk Kristus, dan kita juga mengalami transformasi spiritual di dalam Kristus Yesus, dengan kasih sayang Allah Bapa dan dengan persekutuan Roh-Nya yang kudus, memampukan kita untuk bergantung dan bersandar penuh pada-Nya, sehingga seluruh hidup kita, iman dan pencapaian intlektualitas kita tunduk kepada-Nya, sehingga kita dimampukan menjadi serupa dengan karakter Kristus dalam merespon pernyataan Allah bagi kita untuk berkarya bagi-Nya, mewartakan Injil-Nya dan melayani dunia-Nya.


 Sumber:
[1] John Calvin, Institutes of the Christian Religion, ed. John T. McNeil, ter. Ford Lewis Battle, 2 vol., Library of Christian Classic (Philadelphia: Westminster Press, 1960), 1.1.1-2. dalam Kelly M. Kapic Pedoman Ringkas Berteologi: Mengapa dan Bagaimana Berteologi (Waskita Publising. 2014) hlm. 17.
[2] Charles Hodge, “Lecture to Theological Students,” dalam Princenton Theology 1812-1921: Scripture, Science and Theological Method from Achibald Alexander to Benjamin Breckinridge Warfield (ed. Mark A. Noll (Grand Rapids: Baker Academic. 2011) hlm. 112. dalam Kelly M. Kapic, Pedoman Ringkas Berteologi: Mengapa dan Bagaimana Berteologi (Waskita Publising. 2014) hlm. 37-38.
[3] Carl E. Braaten, “First Locus: Prolegomena to Christian Dogmatics,” dalam Christian Dodmatics, ed. Carl E. Braaten dan Robert W. Jenkis (Philadelpia: Fortress. 1984). hlm. 18. dalam Kelly M. Kapic, Pedoman Ringkas Berteologi: Mengapa dan Bagaimana Berteologi (Waskita Publising. 2014) hlm. 43-44.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Sejarah Natal yang Menyejarah

Iman dan Rasionalitas