Liquid Church Sebagai Eklesiologi yang Relevan Pada Zaman Sekarang Ini
Bagaimana Gereja mendisrupsi dirinya melalui penegasan rohani terus menerus?” Pertanyaan ini sangatlah relevan diajukan kepada siapa pun yang merasa bagian dari Gereja, terkhususnya kepada Gereja pada zaman sekarang ini, di mana Gereja terkungkung dalam zona nyaman serta sibuk dengan kegiatan institusionalnya. Gereja tidak lagi peka terhadap disrupsi sehingga tidak lagi menerima kebaruan, apalagi menjalankan tugasnya sebagai pewarta! Menurut saya salah satu gambaran Gereja jelas terlihat melalui Amanat Agung Tuhan Yesus yang terdapat dalam Matius 28:19-20. Kekristenan awal jelas telah berhasil mewartakan amanat itu, sekarang tinggal bagaimana mempertahankan serta mengembangkannya merupakan tugas kita bersama.
Rhenald Kasali mengatakan bahwa Disrupsi adalah masalah bagi lembaga-lembaga besar, entah itu bisnis atau lembaga negara. Saya yakin rata-rata orang Kristen pasti setuju bahwa Gereja adalah lembaga besar, sehingga hal yang sama juga berlaku baginya. Namun, kenyataannya tiada yang tidak berubah, jika ingin bertahan apalagi berkembang maka disrupsi tidak terelakkan. Dengan segala konsekuensinya, Gereja harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang ada, tiada cara lain selain Gereja harus mendisrupsi diri dengan inovasi-inovasi, dan inovasi tidak akan bisa berhasil ketika Gereja tidak menjadi liquid church—Gereja yang dinamis, di mana partisipasi dan keterlibatan sangat menentukan, Gereja yang menitikberatkan keanekaragaman, hibriditas, global-lokal, namun tetap cair. Di mana pemimpin menjadi teman seperjalanan, di mana terjadi pendidikan kritis maupun penegasan rohani terus menerus, dibarengi dengan pengalaman doa (mistik) serta aksi.
Disrupsi memang tidak lepas dari konsekuensi, sebab banyak orang akan terbentur pola pikir lama, dikarenakan sebagian orang memang masih tinggal di masa lalu, sedangkan sebagian lagi sudah hidup di masa depan. Walaupun demikian, kita harus tetap tenang, bersabar, sebab kita sudah berada di dunia baru, yang begitu luas, tidak terbatas garis pantai atau patok batu. Dunia yang tidak bisa diatasi dengan egoisme yang sempit dan picik, dunia yang senantiasa membutuhkan sinkronisasi, sehingga dapat dikatakan sebagai dunia yang cair, sehingga relevan didekati dengan Gereja yang cair pula.
Komentar
Posting Komentar