Spiritualitas Personal: Spiritualitas ESFJ


Pendahuluan
Spiritualitas tidak pernah lahir dari ruang yang hampa, namun terbentuk dari realitas pengalaman yang ada, pengalaman akan Allah dan berkaitan dengan transformasi kesadaran serta hidup sebagai hasil pengalaman itu, sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan spiritualitas melibatkan keseluruhan pribadi dalam totalitas eksistensinya baik raga, jiwa, pikiran, tempat, serta relasi-relasi-dalam kaitannya dengan seluruh ciptaan.[1] Dengan kata lain, corak kepribadian seseorang akan menentukan bagaimana model spiritualitasnya.         
Pada kenyataannya, banyak orang kemudian jatuh kepada kekeringan spiritual.  Kehidupan spiritualitas yang harusnya membawa transformasi, menjadi daya dorong, menghidupkan, memotivasi sehingga memiliki daya potensi, malah terjadi sebaliknya—kehidupan menjadi lesu, menjenuhkan, bahkan doa pun terasa semakin hambar dan membosankan. Hal ini pun berpengaruh kepada bagaimana kemudian orang menjalani dan memaknai kehidupannya, yang seharusnya penuh harapan dan kebahagiaan, menjadi kehidupan yang pesimis dan menyuramkan. Terkadang hanya satu alasanya mengapa terjadi demikian, yakni orang tidak lagi menghidupi kehidupan spiritualitasnya, tidak lagi menikmatinya, hanya karena salah kaprah menerjemahkan kepribadiannya atau memang karena model-model spiritualitas yang ia geluti benar-benar tidak cocok dengan kepribadiannya. Oleh karena itu, usaha untuk mengenal kepribadian secara terus menerus adalah sebuah keniscayaan, sehingga kehidupan spiritualitas dapat dikembangakan dan tentunya menyenangkan.
Dulu saya sempat berpikir, jika pengetahuan (pengenalan) seseorang terhadap  Tuhan telah sampai pada “titik tertentu”, maka orang tersebut tidak lagi peduli mengenai model-model spiritualitas, sebab orang itu telah sampai kepada “high level”, sehingga model-model maupun cara, apalagi keadaan diri, termasuk corak pribadi, tidak lagi menjadi faktor penentu baginya, karena yang terpenting baginya adalah sumber, yakni Tuhan. Kemudian saya menemukan bahwa, pemikiran tersebut berasal dari pengalaman masa lalu saya yang dipenuhi dengan dunia mistik, sebelum bahkan setelah saya mengenal Kekristenan unsur-unsur tersebut masih begitu kuat dalam diri saya. Dalam menapaki peziarahan hidup ini, saya semakin menyadari bahwa kehidupan spiritualitas seseorang benar-benar tidak bisa dipisahkan dari tipe-tipe kepribadiannya. Memang, sumber sangatlah penting, namun tipe kepribadian tak kalah pentingnya juga. Oleh karena itu, Charles J. Keating dalam bukunya Doa dan Kepribadian dengan tegas mengatakan bahwa apabila kehidupan rohani seseorang tidak sejalan dengan corak kepribadiannya, maka ia tidak akan bisa mendengar panggilan Allah dengan jelas sebagaimana mestinya.[2] Sehingga menjadi jelas, bahwa analisis-analisis kepribadian seperti MBTI (Myers-Briggs) maupun Enneagram sangat diperlukan.
Dokumen Kehidupan: Spiritualitas Personal
Dale Cannon dalam bukunya Six Ways of Being Religious: A Framework For Comparative Studies of Religions  mengatakan bahwa cara menjadi religius adalah sebuah abstraksi yang berasal dari pola-pola tertentu, tipe umum yang merupakan ekspresi tertentu dari setiap agama berhubungan dengan relasinya dengan The Ultimed Reality (Realitas Mutlak), sehingga memungkinkan ada kemiripan ekspresi antara agama yang satu dengan agama yang lainnya.[3] Cannon kemudian membagi praktik ataupun ekspresi keagamaan tersebut menjadi 6 jalan spiritualitas yakni sacred rites, right action, fervent devotion, shamanic mediation, ascetic and meditative disciplines, and rational dialectical inquiry,[4] di mana masing-masing jalan spiritualitas tersebut tidaklah eksklusif maupun hierarki, namun bergantung kepada corak kepribadian seseorang, sehingga ke-6 cara tersebut sebenarnya dapat ditemukan dalam semua agama-agama di dunia. Ke-6 cara tersebut memiliki kerangka dasar umum bagaimana menjadi religius yang disebut religious common sense, yang menunjuk pada dasar umum, membantu orang menemukan makna dan kedewasaan dalam kehidupan beragama mereka, sebagai dasar yang mendampingi dan melengkapi norma spesifik dari wujud sebuah agama dalam Kitab Suci maupun tradisi yang otoritatif.[5]
Pertama adalah Ways of sacred rite, sebuah jalan spiritualitas yang merujuk kepada sebuah tata cara, kegiatan agama dengan simbol ketika berinteraksi dengan Sang Realitas Mutlak, cara ini dapat ditemukan pada pelaksanaan ritus gereja maupun agama lainnya yang memakai simbol-simbol tertentu sebagai perwujudan yang penuh makna dalam pelaksanaan ritualnya.[6] Kedua adalah Ways of right action, sebuah jalan spiritualitas yang lebih menekankan kepada tindakan, hubungan yang bersifat horizontal yaitu kepada sesama, bagaimana hidup dengan sesama dan Tuhan, bagaimana menghidupkan segala macam ritual dalam suatu agama dalam kehidupan riil seseorang.[7]
Ways of devotion merupakan jalan spiritualitas ketiga yang ditawarkan oleh Cannon, model ini merujuk kepada bagaimana sikap dengan ketaatan dan hati yang tulus untuk memuji Realitas Mutlak, di mana kesungguhan dan rasa cinta devosi tersebut membawa diri pada pengakuan dan penyerahan total kepada-Nya.[8] Keempat, Ways of Shamanic Mediation, merupakan jalan spiritualitas di mana seseorang terhubung dengan Realitas Mutlak dengan melakukan berbagai macam sumber-sumber supranatural sebagai medianya misalnya dukun ataupun orang pintar, sehingga seseorang memperoleh akses ke dunia roh melalui apa yang bisa disebut imajinasi mendalam dalam keadaan tidak disadari ataupun dalam kondisi kesadaran yang berubah.[9]
Kelima adalah Ways of mystical, merupakan jalan spiritualitas dengan menaruh perhatian kepada sikap batin dan pengalaman tersendiri dengan Realitas Mutlak, melalui jalan mistik, dengan disiplin rohani tertentu berupa cara hidup asketis maupun meditatif.[10] Terakhir adalah Ways of Reasoned Inquiry, merupakan jalan spiritualitas yang mendekati Realitas Mutlak melalui akal dan segala sesuatu yang terhubung dengannya, biasanya membutuhkan penuntun, baik guru, orang-orang bijak, teks-teks suci, dan sebagainya.[11]
Ketika dibaptis pada Oktober 2005 yang lalu sampai dengan sekarang ini, saya merasakan setidaknya ada 3 jalan spiritualitas yang Cannon tawarkan dominan dalam diri saya, yakni the ways of devotion, ways of Reasoned Inquiry, dan ways of mystical. Dari ketiga jalan spiritualitas ini, kelihatannya the way of devotion adalah yang dominan. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh model gereja dan cara penginjilan yang saya jumpai dalam perjalanan kehidupan saya.
Setelah tamat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada tahun 2003, setahun kemudian saya merantau ke Pulau Batam dan di sana Tuhan mengirimkan seorang penginjil untuk memberitakan Kabar Baik itu kepada saya, sehingga saya pun kemudian tertarik kepada Kekristenan dan dibaptis. Oleh karena itu, warna spiritualitas saya pun dipengaruhi kuat oleh warna gereja Kharismatik tersebut, berupa devosi lewat pujian dan penyembahan. Bahkan untuk ibadah minggu saja, saya cendrung mencari model gereja yang Kharismatik atau paling tidak sejenisnya untuk beribadah, di mana saya bisa tenang, puas menyembah, dan merasakan hadirat Tuhan. Namun, belakangan ini, agaknya jalan spiritualitas devosi tersebut sedikit memudar dalam diri. Entah mengapa, saya cendrung menikmati ways of Reasoned Inquiry, di mana saya begitu menikmati studi saya dan rasa-rasanya sangat enjoy dan seakan menemukan Realitas Mutlak itu di sana. Saya semakin yakin dan puas ketika membaca buku-buku, terkhususnya buku-buku teologi yang mencerahkan, terlebih lagi buku-buku yang berbau spiritualitas, psikologi maupun mistik dalam hubungannya dengan teologi. Padahal, saya sadar betul bahwa dahulu saya tidak suka membaca, sekarang pun sebenarnya demikian, sebab saya masih selektif yakni hanya suka membaca buku-buku tertentu saja.  
Setahun terakhir ini, saya malah kecantol dengan model-model spiritual yang solitusi-meditatif yang jika dikategorikan kepada  Six Ways of Being Religious-nya Cannon, maka lebih mendekat kepada ways of mystical. Dari kunjungan ke pertapaan para Rubiah di Gedono beberapa bulan yang lalu, saya kemudian sering melanjutkan model-model doa solitusi-meditatif tersebut di rumah dan bahkan di mana-mana sesuai dengan kondisi. Lagi, pada bulan November lalu, ada kesempatan berkunjung ke pertapaan Rowosenang, saya semakin menyadari jikalau model kontemplatif tersebut merupakan salah satu ciri jalan spiritualitas yang cocok dengan saya. Sehingga semakin lama, saya semakin tertarik kepada model spiritualitas itu, saya juga semakin enjoy dan merasa disegarkan ketika berdoa.
Dari dinamika jalan spiritualitas yang bergerak berubah dalam diri, maka timbul pertanyaan, “apakah diri saya yang mencocokkan model spiritualitas secara kondisional atau memang selama ini, saya belum menemukan jalan spiritualitas yang cocok dengan kepribadian saya, atau kah memungkinkan seseorang memiliki jalan spiritualitas yang banyak di dalam dirinya?”. Pertanyaan-pertanyaan ini masih saya simpan sampai sekarang ini, sebab saya merasa bahwa di dalam diri saya terdapat lebih dari satu jalan spiritualitas, meskipun jalan spiritualitas tersebut ada yang dominan dan ada juga yang tidak. Saya juga menyadari bahwa banyak hal-hal yang telah terjadi yang kemudian berpengaruh kepada pembentukan kepribadian saya sehingga hal itu pun menentukan jalan spiritualitas saya. Secara tipe kepribadian saya adalah ESFJ sehingga tidak mengherankan, ketika pertama sekali mengenal Kekristenan melalui lingkungan Kharismatik yang sangat menekankan komunitas, maka saya pun bertumbuh dan menghidupi nilai-nilai termasuk jalan spiritualitas yang ada di sana berupa devosi, lewat pujian dan penyembahan serta menekankan kehidupan yang saleh, sebab seorang ESFJ sangat dipengaruhi oleh lingkungan ataupun komunitasnya.[12]
ESFJ adalah tipe kepribadian Extraversion (Ekstrover), Sensing (Pengindra), Feeling (Perasa), dan Judging (Penilai).[13] Keempat karakteristik kepribadian inilah yang mendasar, mendominasi corak kepribadian saya, yang berkembang membentuk karakter-karakter sesuai kualitas masing-masing yang terbentuk karena berbagai hal sehingga menjadikan saya sebagaimana adanya saya saat ini. Seiring dengan itu juga menentukan jalan ataupun model spiritualitas apa yang cocok, yang benar-benar bisa dinikmati serta menimbulkan “kesenangan”, bisa juga ketenangan ketika melakukannya.
Dr. Charles J. Keating, dalam bukunya Doa dan Kepribadian mengatakan bahwa seorang Ekstrover adalah mereka yang menampilkan diri apa adanya, Pengindra adalah seseorang yang memiliki kepekaan indrawi, yang dengan segera memahami keadaan sekitarnya.[14] Sedangkan Perasa adalah orang yang ketika mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan terhadap perasaan, Penilai adalah orang yang tahu apa yang akan dikerjakan dan kapan itu dikerjakan, menyukai jadwal dan aturan.[15] Keating seakan-akan membicarakan diri saya secara garis besar. Gambaran ESFJ sebagaimana yang dikatakannya benar-benar saya alami. Sampai sekarang pun saya lebih menyukai tampil apa adanya.
Sebagai seorang Pengindra yang memiliki kepekaan indrawi, justru terkadang bukan menjadi berkat malah mendatangkan problem. Beberapa tahun yang lalu saya menjadi pemerhati di dalam gereja, di mana saya akan mem-follow-up, menindaklanjuti jemaat-jemaat yang baru datang, sehingga mereka merasa at home di tempat yang baru. Namun, karena saya selalu memperhatikan, mengajak jalan, makan, dan sebagainya, akhirnya orang-orang yang saya follow-up tersebut curiga, bahwa saya memiliki tujuan tertentu sehingga saya mendekai mereka.
Rasa-rasanya kepekaan ini tidak muncul begitu saja. Jika melihat ke masa lalu, saya memang dibesarkan dengan penuh kasih sayang, bahkan terkesan dimanjakan. Namun, kerasnya kehidupan juga tidak bisa dihindari, sebab keluarga saya adalah keluarga gembala. Bahkan, saya juga seorang gembala. Gembala, ya gembala kerbau dan lembu. Saya ingat dengan jelas, bagaimana saya menuntun puluhan ekor kerbau dan lembu tanpa tali ke hutan belantara, dan mereka pun seakan menjadi teman saya.
Ketika lanjut ke sekolah menengah atas, saya pun merantau tinggal bersama dengan orang lain. Tinggal bersama dengan orang lain di masa-masa remaja tidaklah mudah. Pergumulan identitas dalam pencarian akan jati diri, ditambah harus menyesuaikan dan pandai-pandai menempatkan diri karena tinggal dan hidup bersama orang lain menjadi bagian hidup yang tidak terelakkan. Saya harus belajar peka dan bagaimana bersikap, melakukan kegiatan-kegiatan rutin; pulang sekolah ke kebun, memasak, mencuci, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman tersebut membuat saya menjadi peka akan keadaan sekitar. Harus menjaga perasaan orang lain, dan mengatur semua jadwal dengan baik. Sehingga, sampai sekarang pun saya lebih menyukai keteraturan, serta mengikuti jadwal dengan baik. Di mana kemudian, semua hal itu membentuk kepribadian saya menjadi seorang ESFJ. Walaupun, sebenarnya, bibit-bibit corak kepribadian tersebut memang sudah ada dalam diri saya sejak dari dulunya.
Pertengahan tahun 2003 sampai pertengahan tahun 2004, saya sempat menjajaki dunia kebatinan dan premanisme, termasuk juga menkonsumsi banyak narkoba karena pengaruh dari profesi tersebut. Kehidupan ini saya jalani kurang lebih satu tahun, sehingga, karena takut terjerumus terlalu dalam, saya memutuskan untuk mengakhirinya dan merantau ke Batam. Di pulau Batam saya kemudian mendapatkan kehidupan yang normal, “ditanggkap” Kristus, sehingga saya harus melepaskan dan membuang semua “pegangan”, yang selama ini saya gunakan. Menurut saya, karena inilah, saya pun sedikit memiliki dan menyukai jalan spiritualitas mistik.
Pertama kali membaca kisah hidup Ignatius dari Loyola, saya langsung tertarik dengan tokoh ini, bukan karena sama-sama anak bungsu, namun karena kisah pertobatannya yang tidak terlalu jauh berbeda dengan saya. Jika ia bertobat dengan mendalam pada masa penyembuhannya dari luka peperangan yang ia alami, sehingga dari refleksi berdasarkan bacaan-bacaan karya rahib Kartusian itu, ia pun kemudian memutuskan untuk pergi ke Yerusalem (1523), belajar, mengumpulkan banyak orang, dan memenuhi jalan panggilan-Nya,[16] sementara saya bertobat karena peristiwa kehidupan yang mengarahkan saya pada-Nya lewat berbagai peristiwa. Bedanya, jika Ignatius pada awalnya sudah akrab dengan dunia Kekristenan, saya sebaliknya. Jika berbicara masalah spiritualitas, saya juga melihat terdapat resonansi yang begitu kental antara jalan spiritualitas saya dengan Ignatius. Hal ini juga dijelaskan oleh Keating yang menyematkan bahwa Doa dan Spiritualitas St. Ignatius Loyola cocok dan sungguh-sungguh efektif bagi mereka yang memiliki kepribadian ESFJ.[17]
Model spiritualitas meditatif yang kemudian beralih kepada kontemplasi Ignatius,[18] rasa-rasanya memang sesuai dengan diri saya. Hal ini mungkin karena, ketika saya belajar kebatinan dulu, saya juga melakukan model latihan kebatinan sejenis itu, hanya bedanya pada waktu itu saya menggunakan mantra ataupun sering disebut rapalan, di mana ketika melakukannya rasa-rasanya saya mengalami “ekstase”, dan beberapa lama sekali saya harus mengulanginya lagi, sehingga memori itu pun sampai sekarang terekam kuat dalam diri. Menurut A. Heuken dalam bukunya Spritulitas Kristiani: Pemekaran Hidup Rohani Selama Dua Puluh Abad, mengenai meditasi, Ignatius mengingatkan bahwa harus juga memakai metode-metode meditasi secara selektif, sebab oleh orang-orang yang belum berpengalaman dan tanpa bimbingan akan sangat berbahaya.[19] Karena tanpa adanya pengarahan akan menyebabkan terjadinya kekacauan mental yang sukar disembuhkan, bahkan mengakibatkan semacam keterasingan dari Tuhan.[20]
Menurut Keating, setidaknya terdapat dua alasan penting mengapa spiritualitas Ignatius cocok kepada orang yang memiliki kepribadian ESFJ. Pertama, awalnya model ini menawarkan gambaran detail atau imajinasi suatu masalah, kemudian berlanjut dengan menghadapkan masalah itu secara konkret, bukan hanya imajinatif, sehingga cocok dengan pengindra maupun perasa ESFJ, di mana indrawi; sentuhan, penglihatan, pendengaran, rasa, dan penciuman mengambil peranan yang sangat penting dalam lakon spiritualitasnya.[21] Apa yang Keating kemukakan benar-benar saya rasakan. Saya akan susah sekali mengikuti jalan spiritualitas yang susah di-indrai. Oleh sebab itu saya sangat menikmati berdoa dalam keheningan, dengan suara musik yang lembut, dengan wewangian tertentu bahkan dengan gemercikan air dan juga kicauan burung. Saya masih ingat kesan yang begitu mendalam ketika berdoa dengan kontemplatif di Rowoseneng beberapa waktu yang lalu. Berdoa dengan suara angin dan pepohonan yang bersahut-sahutan begitu menyegarkan jiwa. Demikian juga sebaliknya, saya justru akan sangat terganggu dengan keributan maupun aroma yang tidak karuan ketika sedang berdoa.
Kedua, spiritualitas Ignatius ini menarik kepada orang yang punya kepribadian penilai ESFJ, sebab model spiritualitas ini memiliki struktur serta aturan mendetail.[22] Hal ini pun sesuai dengan corak spiritualitas yang saya dambakan. Tidak tahu dari mana itu datang, namun tanpa struktur maupun aturan dalam jalan spiritualitas menurut saya bisa kacau. Hal ini bukan berarti saya menyukai model spiritualitas yang kaku. Menurut saya spiritualitas yang tidak beraturan justru akan sangat berbahaya dan liar. Tentu banyak alasan dibaliknya yang menjelaskan mengapa demikian. Namun  dari kepribadaian Penilai itu, saya justru harus intropeksi diri, dari mana datangnya skor Penilai yang begitu tinggi. Sebab saya sadari sendiri, saya tidak se-kaku itu. Dalam perenungan saya, kemungkinan besar yang menyebabkannya adalah pekerjaan saya yang dahulu yang penuh dengan deadline dan aturan. Sebagai seorang atasan, saya berprinsip bahwa saya membuat peraturan dan juga deadline tugas-tugas untuk bawahan, dan saya juga mesti tunduk kepada aturan itu, sehingga menjadi contoh yang baik dan perusahaan berjalan dengan lancar. Jika tidak terjadi seperti yang telah disepakati, maka sanksi yang akan berbicara. Tidak terasa, seiring berjalannya waktu, kerangka pemikiran itu pun rasanya menulari saya, bahkan sampai sekarang ini. Parahnya lagi, bahkan hal tersebut berpengaruh ke dalam model spiritualitas saya.
Jika merujuk kepada tipe Enneagram maka saya adalah tipe-2 dengan skor 6, sementara Hidden Personality adalah 1, 3, dan 9 dengan skor 5, dan sayap adalah 1 dan 3. Menurut The Enneagram Institute tipe-2 merupakan tipe seorang penolong, yang empatik, tulus, ramah, murah hati, dan rela berkorban, tetapi juga sentimental, menyanjung, dan menyenangkan orang.[23] Tipe-2 bermaksud baik dan terdorong untuk menjadi dekat dengan orang lain, tetapi dapat melakukan hal-hal untuk orang lain agar ia merasa dibutuhkan oleh orang tersebut, ia juga posesif dan berterus terang mengakui kebutuhannya, ia  tidak mementingkan diri sendiri bahkan altruis, memiliki cinta tanpa syarat untuk orang lain.[24] Dengan kata lain tipe-2 adalah orang yang afektif, tertuju kepada kebutuhan orang lain, di mana segala tindakannya berdasarkan hati dan perasaan. Hal ini mirip dengan tipe MBTI saya, yang terbuka, perasa serta pengindra. Sehingga seseorang dengan tipe ini akan sangat bergumul jika dihadapkan dengan rekan kerja yang tidak seirama: teratur dengan jadwal, berkeinginan menolong tapi takut terkesan mengatur. Tidak hanya itu, Hidden Personality yang adalah 1, 3, dan 9 membuat saya semakin bergumul. Bagaimana tidak, tipe-1 membuat saya melihat segala sesuatu dengan ideal, sempurna, tipe-3 membuat saya melihat segala sesuatu dengan praktis, obyektif, dan tipe-9 menandakan bahwa saya tidak suka konflik, cinta damai.
Mengingat bahwa ketiga Hidden Personality tersebut hanya selisih satu point dengan tipe kepribadian Enneagram saya, maka Hidden Personality tersebut cukup dominan berpengaruh dalam diri saya, sehingga bekerjasama dengan kelompok yang terdiri berbagai macam orang akan sangat kesulitan. Saya rasakan sendiri selama ini, beberapa kali saya harus mengusap dada karena ke-apatisan rekan sekerja dalam mengerjakan tanggung jawab bersama.
Jika diolah dengan seksama, sebenarnya spiritualitas Enneagram tipe-2 dapat bertumbuh melalui memperhatikan kebutuhan orang lain, dengan memberi kesempatan pada diri untuk bekerja dengan baik, serta bertumbuh melalui persahabatan, namun tipe-2 harus hati-hati sebab gampang terjerumus kepada kesombongan. Sehingga dalam kehidupan spiritualitas tipe-2 membutuhkan waktu sendiri, waktu untuk peduli terhadap diri sendiri, meniru Tuhan dalam mengasihi.
Jika ditelisik lebih mendalam, maka terlihat bahwa kehidupan spiritualitas yang ditawarkan Enneagram dengan MBTI tidak terlalu jauh berbeda, keduanya sama-sama berbicara mengenai waktu untuk diri sendiri, bahkan Enneagram lebih jauh mengatakan waktu untuk peduli terhadap diri sendiri, dalam bahasa MBTI sebagaimana dibahas sebelumnya adalah dengan cara meditasi maupun kontemplasi. Apa yang dikatakan Enneagram berkenaan dengan spiritualitas tersebut adalah benar, sebab karena ingin menyenangkan orang lain, seringkali saya mengorbankan diri sendiri, karena susah berkata tidak. Sehingga akhirnya saya jatuh kepada human pleasure bukan lagi menyenangkan Tuhan, celakanya lagi, saya merasa capek sendiri. Takutnya suatu hari nanti, karena perasaan menyenangkan orang lain sedemikiannya, maka saya akan jatuh kepada sikap bahwa orang lain mesti melakakukan hal yang sama, paling tidak melakukan sesuatu seperti yang telah saya lakukan, dan ini tidak benar.
Spiritualitas Pengindra, Perasa, dan Penilai ESFJ sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya rupanya lebih mengarah ke dalam diri dan itu penting sekali. Namun, menurut Keating itu saja tidak cukup, sebab ESFJ juga memiliki corak kepribadian Ekstrover, corak kepribadian ini tidak hanya menampilkan diri apa adanya, corak kepribadian ini membutuhkan sarana untuk menyalurkan perasaannya, tidak cukup hanya dengan imajinasi dan berdoa.[25] Saya pun merasakannya demikian, saya merasakan bahwa tidak hanya cukup dengan meditasi dan kontemplasi, terkadang saya juga menyukai devosi, kemegahan, pujian dan penyembahan dengan dentuman musik yang keras dan menggelegar. Jika merujuk kepada bahasa jalan spiritualitas Cannon, tidak hanya ways of mystical, namun juga ways of devotion. Namun, saya rasakan sendiri, bahwa sebagai seorang Ekstrover, saya sangat membutuhkan komunitas yang sehat, sebagaimana seorang ESFJ tidak bisa terlepas dari sebuah komunitas jika ingin bertumbuh secara spiritual,[26]
Spiritualitas Pengindra ESFJ tidak hanya menekankan kepekaan indrawi lewat sentuhan, penglihatan, pendengaran, rasa, dan penciuman, namun spiritualitas ini juga memiliki kontak langsung dengan masa kini melebihi orang lain, sehingga spiritualitas ini sangat serius  menanggapi kebobrokan moral kemanusiaan dan ketidaksetiaan.[27] Hal ini menyebabkan bahwa seorang pengindra akan kerasan bersama dengan orang-orang yang mempunyai sifat-sifat serupa dengan dirinya.[28] Merujuk ke dalam diri, terkadang saya juga heran, mengapa tidak terlalu memikirkan masa depan, apalagi memikirkan hal-hal yang berbau eskatologis. Sudah sering teman maupun saudara-saudara bertanya tentang, “bagaimana kehidupan ke depannya, bagaimana ini dan itu”. Dan biasanya jawaban saya adalah, “biar saja mengalir yang penting kita memberikan yang terbaik”. Hal ini menyebabkan seringkali mereka lebih khawatir daripada saya mengenai berbagai hal. Jika direnungkan, saya pun tidak tahu dari mana asalnya model kepribadian tersebut, salah satu yang memungkinkan terbentuknya kepribadian tersebut adalah dari masa lalu, ketika saya berada di dunia premanisme dan juga dunia kebatinan. Sebab, ketika itu saya tidak pernah berpikir panjang.
Di sisi lain, sebagaimana dijelaskan mengenai spiritualitas Pengindra ESFJ yang tidak tahan melihat kebobrokan moral dan ketidaksetiaan, saya juga mengalaminya. Saya tidak tahu darimana asalnya sehingga hati saya mudah berbela rasa dengan kejadian yang tidak adil, apalagi melihat ada ketidakadilan dan ketidaksetiaan. Saya selalu berpikir, bagaimana jika kejadian tersebut terjadi pada saya sendiri. Bahkan, parahnya lagi, jika ketidakadilan ataupun ketidaksetiaan itu memiliki kerterkaitan dengan diri sendiri, akan timbul pertanyaan dalam hati; “apakah hal itu terjadi karena saya, jangan-jangan saya yang bersalah sehingga terjadi demikian?”.
Karena seorang Ekstrover membutuhkan orang lain, namun juga di sisi lain Hidden Personality Enneagram saya yang adalah tipe-9 yang tidak menyukai konflik, saya pun akhirnya memilih teman maupun komunitas yang selaras dengan kepribadian saya atau paling tidak, memiliki nilai-nilai maupun sikap yang serupa dengan saya. Sebelumnya saya tidak sadari mengapa saya cendrung menghindari orang-orang tertentu hanya karena mereka berbeda dengan saya. Namun sekarang saya melihat dengan jelas bagaimana sikap tersebut dikonstruksi dalam diri saya bahkan membentuk kepribadian. Namun, jika sikap ini terus dipertahankan bagaimana saya mengembangkan spiritualitas! tentu akan terjadi terus ketegangan dalam diri ketika melihat ketidakadilan, namun di sisi lain terdapat unsur subyektifitas yang kuat di sana, di tambah lagi saya akan susah bekerjasama dengan orang-orang yang pemikiran maupun sikapnya tidak serupa dengan saya. Ini merupakan masalah besar yang harus diatasi sehingga terjadi transformasi diri.
Keating melanjutkan bahwa spiritualitas Perasa ESFJ bukan hanya kena-mengena ketika mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan terhadap perasaan, namun seorang Perasa menganggap bahwa Allah adalah teman sekerja baginya, dan Allah menghendakinya untuk hidup saleh.[29] Hal demikian pun terjadi kepada saya, di mana saya selalu menganggap bahwa Allah adalah sahabat saya dan Ia turut bekerja dalam diri dan karya saya. Hal ini mungkin aneh bagian sebagian orang, namun itulah saya. Beberapa kali doa imajinasi maupun doa keterpusatan, dalam doa tersebut selalu muncul Yesus sebagai seorang sahabat. Bahkan, dalam beberapa kesempatan saya seakan bercakap-cakap dengan-Nya dalam kehidupan nyata. Namun, di sisi lain, ketika saya tidak menjadi sahabat yang baik, saya juga tertekan dan tidak berani mencari-Nya. Oleh karena itu, saya beberapa kali juga jatuh ke dalam kejenuhan rohani. Saya akan merasa baik-baik saja, ketika kehidupan saya berada dalam kesalehan sebagaimana yang Allah kehendaki dan pada saat itulah saya sangat menikmati doa maupun pujian maupun sejenisnya, jalan-jalan spiritualitas yang telah disebutkan sebelumnya.
            Keating mengatakan bahwa, bagi Perasa, doktrin dan moralitas saja tidak cukup, Perasa membutuhkan dinamika emosional yang kuat bagi pertumbuhan rohaninya, sebab Perasa memerankan perasaan mereka; apa yang mereka rasakan tentang orang lain adalah perasaan, apa yang mereka katakan adalah perasaan, sehingga kurang menghargai logika.[30] Saya setuju dengan apa yang Keating katakan bahwa doktrin dan moralitas saja memang tidak cukup. Saya melihat, hal itu memang sangat penting, namun menurut pengalaman saya selama ini, hal tersebut bukan yang utama, saya justru melihat bahwa kehidupan spiritualitas harus lebih diutamakan, karena hal itu membentuk karakter seseorang, namun juga harus diimbangi dengan doktrin maupun kegiatan-kegiatan moral, di mana doktrin dan moralitas sebagai panduan. Tentu sebagai seorang Perasa, melalui kegiatan-kegiatan yang ada, dinamika emosional turut ambil bagian, sebab bagaimanapun unsur-unsur perasaan sangat membantu. Hal-hal yang abstrak akan sangat menyusahkan seorang Perasa untuk bertumbuh secara spiritualitas, karena hampir segala sesuatu mereka rasakan, bahkan terkadang berpikir pun dengan perasaan. Namun, saya tidak begitu setuju dengan Keating yang mengatakan bahwa Perasa tidak menghargai logika. Mungkin saya subyektif, atau mungkin juga karena skor Perasa saya cukup ekstrem yakni hanya 1. Sehingga unsur perasaanya tidak terlalu kuat. Saya juga heran mengapa skor Perasa serendah itu padahal unsur Pengindra cukup tinggi yakni 29. Memang, di setiap test MBTI skor Perasa sangat kecil, namun tidak pernah sekecil sekarang ini. Kemungkinan besar adalah karena berkembangnya faktor intlektualitas selama studi ditambah lagi ke-apatisan lingkungan di mana saya berada. Sebab lingkungan sangat mempengaruhi seorang ESFJ sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Saya merasakan sendiri, meskipun seorang Perasa, namun logika juga cukup berpengaruh dalam diri saya. Hal ini mungkin karena pengaruh pendidikan dan juga pekerjaan dahulu.
            Dalam perenungan saya ketika menuliskan refleksi ini, munculnya jalan spiritualitas Ways of Reasoned Inquiry belakangan ini menurut saya bukan kebetulan, bukan hanya karena berkembangnya intlektulitas selama studi ini, namun juga karena bibit-bibitnya juga memang telah ada di dalam diri. Saya berpikir, jangan-jangan ekstremnya skor Perasa dalam diri saya karena kuatnya logika di dalamnya. Terkadang jika pergi ke suatu tempat, saya masih berpikir dan bertanya dalam hati; “bagaimana rangkaian listriknya tempat ini, bagaimana pembagian beban per phase, jenis kabel seperti apa yang digunakan, dan sebagainya”. Bahkan, terkadang jika proyektor maupun speaker tidak menyala di dalam kelas, secara otomatis saya langsung menganalisa di mana kira-kira problemnya.
             Sebelumnya telah dibicarakan mengenai pribadi Penilai ESFJ yakni seseorang yang menyukai struktur serta aturan mendetail, disiplin dan cendrung melihat semua pada tempatnya, serta tampil apa adanya baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Para penilai juga menemukan Allah dengan cara-cara yang berbeda, entah ia Introver maupun Ekstrover. Penilai bisa salah menilai tetapi bukan karena kepribadian dasarnya, bisa karena berbagai hal yang mengungkungnya, mengondisikannya seperti demikian, misalnya tumpukan kerangka, kebiasaan-kebiasaan, dan asumsi-asumsi yang dipelajari menindih kepribadian dasar tersebut.[31] Hal ini pernah saya alami sendiri ketika mewawancarai seseorang untuk masuk kerja. Dari pembicaraan kami, saya yakin kalau orang yang mencari kerja tersebut orangnya baik, namun ketika mempelajari gesture, latar belakangnya, dan sebagainya saya jadi berubah. Sikap ini tentu tidak baik karena tidak saja merugikan orang lain, namun juga menimbulkan perasangka dalam diri, dan prasangka tidak sesuai dengan sikap spiritualitas ESFJ. Meskipun ESFJ menemukan Allah dengan cara yang unik karena memiliki model spiritualitas di dalam dan di luar diri, namun tidak akan mungkin menemukan Allah di dalam prasangka.
            Keating juga menegaskan bahwa spiritualitas Penilai sulit menghadapi ambiguitas dan tidak jarang Penilai mengikuti spiritualitas yang sebenarnya tidak cocok bagi mereka, sehingga mereka pun sering memulai sesuatu dengan langkah yang salah. Saya melihat apa yang dikatakan oleh Keating terjadi pada diri saya yang terdahulu. Di mana saya harus benar-benar yakin dan tidak memberikan ruang kepada ambiguitas. Namun, sekarang saya merasakan berbeda. Mungkin karena faktor berkembangnya pemahaman saya dalam melihat kehidupan terkhususnya juga kepada jalan-jalan spiritualitas. Sehingga, saya pun tidak takut untuk salah jalan dalam mengambil langkah tertentu.
Meskipun seorang ESFJ Penilai membutuhkan waktu sendiri, ia juga membutuhkan komunitas, sebab pertumbuhannya secara pribadi sedikit banyak tergantung pada nilai-nilai dan kultur gerejawi atau organisasi spiritual yang dengannya seorang Penilai mengasingkan diri.[32] Sehingga tidak mengherankan seorang penilai cendrung menciptakan model spiritualitas sendiri dan walaupun komunitas sangat menentukan, kadang-kadang mereka menyadari bahwa mereka harus menemukan Allah dan spiritualitas dalam keterasingan.[33] Saya menyadari sendiri bahwa saya sangat membutuhkan komunitas rohani, karena saya banyak belajarnya darinya. Namun, saya juga memerlukan waktu sendiri, bahkan terkadang saya mengasingkan diri, menikmati kesendirian, menikmati alam, rintikan hujan, dan sebagainya, sebab saya merasa menemukan Allah di sana. Saya suka menjajali jalan spiritualitas yang baru, yang sekiranya dengan pertimbangan tertentu, model spiritualitas tersebut memungkinkan cocok dengan saya. Salah satunya yang saya coba belakangan ini adalah model berdoa dengan menggunakan prayer beads, dan ternyata model tersebut cocok. Mungkin karena model doa tersebut masih berupa meditasi dan kontemplatif sehingga dengan sendirinya cocok dengan saya, ditambah lagi model tersebut memang melibatkan indrawi, melibatkan perasaan melalui sentuhan, yang cocok menjadi salah satu jalan spiritualitas bagi orang yang memiliki karakter kepribadian ESFJ seperti saya.
Corak kepribadian ESFJ dalam diri saya, banyak mempengaruhi corak spiritualitas yang selama ini saya jalani maupun dambakan. Ketika menelusuri corak kepribadian itu, saya semakin menyadari apa yang terjadi selama ini dengan spiritualitas diri saya, mengapa terkadang saya merasa spiritualitas naik-turun, berubah dari jalan spiritualitas yang satu ke yang lainnya, dari jalan spiritualitas yang heboh menjadi spiritualitas yang hening, dan sebagainya. Akhirnya saya menemukan bahwa saya mempunyai karakter kepribadian dasar yang lebih luas dari ESFJ yang harus saya kenali dan gali terus menerus, sehingga mencapai pertumbuhan spiritual yang menghidupkan dan menggairahkan.
Penutup
 Usaha untuk mengenal lebih baik diri sendiri melalui MBTI maupun Enneagram serta menemukan jalan spiritualitas yang tepat untuk dijalani merupakan sebuah proses yang harus terus dilakukan. Dalam analisis maupun refleksi spiritualitas personal di atas, saya semakin menyadari bahwa kepribadian dasar tidak dapat dibatasi pada keenam belas corak menurut Myers-Briggs dan sesungguhnya kita pun tidak dapat membatasi model-model spiritualitas yang ada dengan definisi tersebut, sebab model-model spiritualitas sangatlah luas dan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dalam diri maupun dari luar diri sendiri. Sehingga tidak ada rumusan-rumusan, kecuali semakin baik kita mengenal diri sendiri, semakin produktiflah pilihan kita akan spiritualitas.[34]  Hal yang sama pun terjadi kepada saya, tiga jalan spiritualitas yang saya rasakan dominan dalam diri saya yakni the ways of devotion, ways of Reasoned Inquiry, dan ways of mystical, ternyata tidaklah kaku dan tidak muncul secara instan, dalam perjalanannya begitu banyak hal yang mempengaruhinya sehingga terbentuk demikian. Pengalaman-pengalaman positif maupun negatif masa lalu turut membentuk corak kepribadian yang kemudian membentuk juga jalan spiritualitas. Jika mengenalnya lebih baik maka kita akan bisa mengolahnya dengan lebih baik. Hal-hal yang demikian harus ditemukan dan diolah, salah satunya melalui analisis diri, sehingga kita pun menemukan model spiritualitas yang tepat yang akan menentukan bagaimana kita memandang dan memaknai kehidupan.
Saya sadari bahwa menemukan corak kepribadian yang cocok dengan corak spiritualitas adalah sebuah proses yang harus dijalani dan diusahakan terus menerus. Sebab semua pribadi adalah gambar dan rupa Allah, yang indah dalam keunikan masing-masing. Artinya Allah bekerja lewat setiap pribadi yang ada, sehingga melalui pengenalan kepribadian kita masing-masing kita dapat mengalami Allah dengan caranya masing-masing. Sebagai seorang ESFJ, sebagaimana telah panjang lebar dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya—saya memiliki corak spiritualitas meditatif-kontemplatif, namun saya juga tidak bisa sendiri, sebab saya memerlukan komunitas rohani. Saya keliru, jika selama ini saya berpikir bahwa jalan spiritualitas itu tidak ada hubungannya dengan komunitas. Jika ingin bertumbuh secara sehat, seseorang mesti menemukan komunitas, menemukan persahabatan, sembari memelihara kehidupan spiritualitas dengan corak keheningan yang memang bersemayam di dalam diri.
Melalui pengenalan diri kita akan menemukan kerangka diri, kepribadian dasar yang merupakan akar panjang dari kehidupan rohani lebih daripada corak kepribadian yang selama ini terbentuk dari berbagai macam hal; pengalaman, lingkungan, keluarga, ketersediaan sumber-sumber spiritual ketika itu, dan sebagainya.[35] Oleh karena itu, menurut saya, sebenarnya diperlukan lebih banyak penelitian corak kepribadian, karena diri kita jauh lebih kompleks dibandingkan pemaparan-pemaparan oleh suatu alat test kepribadian tentang diri kita. Alat-alat test kepribadian sangat baik dan berguna, ibarat sebuah kunci, ia membantu kita untuk menemukan diri dengan lebih baik, dan dengan terbuka terhadap Allah dan mengikuti model spiritualitas yang cocok dengan corak kepribadian, maka kita akan mengalami perkembangan hidup rohani.




Daftar Pustaka
Buku:
Cannon, Dale. 1996.  Six Ways of Being Religious: A Framework For Comparative Studies of Religions. United States of America: Thomson Publisisng.
De Mello, Anthony. 2013. Mencari Tuhan Dalam Segala: Refleksi Atas Latihan Rohani St.  Ignatius Loyola, Terj., Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Heuken, Adolf. 2002.  Spritulitas Kristiani: Pemekaran Hidup Rohani Selama Dua Puluh Abad. Terj., Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
Keating, Charles J. 2001. Doa dan Kepribadian. Terj., Yogyakarta: Kanisius.
McGrath, Alister. 2007. Spritulitas Kristen: Sebuah Introduksi. Terj., Medan: Bina Media Printis,

Internet:
Day, Deborah Day. 2011-2019. Kepribadian Konsul ESFJ-A/ESTJ-T. Diakses dari https://www.16personalities.com/id/kepribadian-esfj pada 12 Desember 2019.
The Enneagram Institute. 2019.  The Helper: Enneagram Type Two. Diakses dari https://www.enneagraminstitute.com/type-2 pada 14 November 2019




[1] Alister E. McGrath, Spritulitas Kristen: Sebuah Introduksi, Terj., (Medan: Bina Media Printis, 2007), 5
[2] Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 14
[3] Dale Cannon, Six Ways of Being Religious: A Framework For Comparative Studies of Religions, (United States of America: Thomson Publisisng,  1996),  39
[4] Dale Cannon, Six Ways of Being Religious: A Framework For Comparative Studies of Religions, (United States of America: Thomson Publisisng,  1996),  40
[5] Dale Cannon, Six Ways of Being Religious: A Framework For Comparative Studies of Religions, (United States of America: Thomson Publisisng,  1996),  43
[6]Dale Cannon, Six Ways of Being Religious: A Framework For Comparative Studies of Religions, (United States of America: Thomson Publisisng,  1996),   51-55
[7]Dale Cannon, Six Ways of Being Religious: A Framework For Comparative Studies of Religions, (United States of America: Thomson Publisisng,  1996),   55-57
[8]Dale Cannon, Six Ways of Being Religious: A Framework For Comparative Studies of Religions, (United States of America: Thomson Publisisng,  1996),   57-59
[9]Dale Cannon, Six Ways of Being Religious: A Framework For Comparative Studies of Religions, (United States of America: Thomson Publisisng,  1996),   60-62
[10]Dale Cannon, Six Ways of Being Religious: A Framework For Comparative Studies of Religions, (United States of America: Thomson Publisisng,  1996),   63-65
[11]Dale Cannon, Six Ways of Being Religious: A Framework For Comparative Studies of Religions, (United States of America: Thomson Publisisng,  1996),   65-68
[12] Deborah Day, Kepribadian Konsul ESFJ-A/ESTJ-T. Diakses dari https://www.16personalities.com/id/kepribadian-esfj pada 12 Desember 2019.
[13] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 22
[14] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 23-25
[15] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 27-30

[16] Antony De Mello, Mencari Tuhan Dalam Segala: Refleksi Atas Latihan Rohani St. Ignatius Loyola, Terj., (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013), xii-xiii
[17] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 43-45
[18] Antony De Mello, Mencari Tuhan Dalam Segala: Refleksi Atas Latihan Rohani St. Ignatius Loyola, Terj., (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013), xiv
[19] Adolf Heuken, Spritulitas Kristiani: Pemekaran Hidup Rohani Selama Dua Puluh Abad, Terj., (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2002), 129
[20] Adolf Heuken, Spritulitas Kristiani: Pemekaran Hidup Rohani Selama Dua Puluh Abad, Terj., (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2002), 129

[21] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 44-45
[22] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 44-45
[23] The Enneagram Institute, The Helper: Enneagram Type Two. Diakses dari https://www.enneagraminstitute.com/type-2 pada 14 November 2019
[24] The Enneagram Institute, The Helper: Enneagram Type Two. Diakses dari https://www.enneagraminstitute.com/type-2 pada 14 November 2019
[25] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 76

[26] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 80-81
[27] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 97
[28] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 104

[29] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 121
[30] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 122-123

[31] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 142-143

[32] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 151
[33] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 152

[34] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 152
[35] Dr. Charles J. Keating, Doa dan Kepribadian, Terj., (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 174-178

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Sejarah Natal yang Menyejarah

Iman dan Rasionalitas