"Experience God"
Mengalami Allah yang dimaksudkan di sini adalah
bagaimana seseorang mengalami pengalaman akan Allah di dalam kehidupannya yang
tentu berbeda antara satu dengan yang lainnya, atau bahasa yang akrab dengan
kita adalah Spiritualitas.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa perkembangan zaman yang
diiringi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat manusia dari masa
ke masa lebih mengedepankan kecerdasan intlektual, lebih mengutamakan
penggunaan pikiran. Dan akibatnya lama kelamaan orang-orang pun mengalami
kekeringan spiritualitas. Karena manusia lebih banyak berpikir daripada merasa.
Apakah berpikir salah? Tentu tidak. Namun, kita perlu hati-hati, karena jika
terlalu mengandalkannya, bisa jadi kita mengesampingkan yang lain. Dan
bisa-bisa, kehidupan beriman kita pun hanya ada di dalam pikiran saja. Dengan
kata lain, kita tidak pernah mengalami Allah, bahkan gambaran Allah yang kita
pahami adalah Allah yang ada di dalam pikiran kita saja, berasal dari banyaknya
pemahaman, kata-kata yang kita terima dan pelajari sebagai gereja Protestan.
Hal ini pun menyebabkan banyak orang merasa kekeringan spiritualitas, karena
tidak pernah mengalami Allah.
Jika kita merujuk kepada nabi-nabi di dalam PL
maupun kekeristenan mula-mula, mereka tidak hanya membawa perkataan Allah,
namun terlebih dahulu mereka mengalami pengalaman perjumpaan dengan Allah. Itu
yang mereka bagikan dan warisakan. Namun, agaknya yang terjadi sekarang ini
berbeda. Banyak orang berbicara tentangNya tanpa pernah mengalaminya, dan
parahnya lagi perkataan (konsep) tentang Allah itu sendiri sering dianggap
sebagai Allah. Sehingga tidak mengherankan, kehidupan spiritualitas yang
harusnya membawa transformasi, menjadi daya dorong, menghidupkan, memotivasi
sehingga memiliki daya potensi, malah terjadi sebaliknya—kehidupan menjadi
lesu, menjenuhkan, bahkan doa pun terasa semakin hambar dan membosankan. Hal
ini pun berpengaruh kepada bagaimana kemudian orang menjalani dan memaknai
kehidupannya, yang seharusnya penuh harapan dan kebahagiaan, menjadi kehidupan
yang pesimis dan menyuramkan.
Salah satu alasan mengapa terjadi kekeringan
spiritual adalah karena orang tidak lagi menghidupi kehidupan spiritualitasnya,
tidak lagi menikmatinya, hanya karena salah kaprah menerjemahkan kepribadiannya
atau memang karena model-model spiritualitas yang ia geluti benar-benar tidak
cocok dengan kepribadiannya. Mungkin saja peribadatan, iman, maupun model
spiritualitas yang ia terima merupakan warisan. Oleh karena itu, usaha untuk
mengenal kepribadian secara terus menerus adalah sebuah keniscayaan, sehingga
kehidupan spiritualitas dapat dikembangakan dan tentunya menyenangkan.
Yohanes
4: 21-24 yang berbicara mengenai kisah Perempuan Samaria mungkin sudah sering
kita dengar. Di mana karena perjumpaan Perempuan ini dengan Sang Yesus,
hidupnya diubahkan, ia mengalami Allah, dan pengalamannya akan Allah itu
kemudian ia bagikan kepada orang-orang Samaria dan terjadi pertobatan luar
biasa di sana. Kali ini kita akan lihat teks ini sedikit berbeda dari biasanya.
Melihat teks dengan cara pandang spiritualitas—pengalaman-pengalaman akan
Allah.
Dale
Canon, salah satu ahli spiritualitas, membagi jalan atau cara-cara orang
mengalami Allah menjadi 6 yakni: sacred
rites, right action, fervent devotion, shamanic mediation, ascetic and
meditative disciplines, and rational dialectical inquiry. Pertama adalah Ways of sacred rite, sebuah jalan
spiritualitas yang merujuk kepada sebuah tata cara, kegiatan agama dengan
simbol ketika berinteraksi dengan Allah. Cara ini dapat ditemukan pada
pelaksanaan ritus gereja yang memakai simbol-simbol tertentu sebagai perwujudan
yang penuh makna dalam pelaksanaan ritualnya.
Kedua adalah Ways of right action,
sebuah jalan spiritualitas yang lebih menekankan kepada tindakan, hubungan yang
bersifat horizontal yaitu kepada sesama, bagaimana hidup dengan sesama dan TUHAN,
bagaimana menghidupkan segala macam ritual dalam suatu agama dalam kehidupan
riil seseorang.
Ways of devotion
model ini merujuk kepada bagaimana sikap dengan ketaatan dan hati yang tulus
untuk memuji Allah, di mana kesungguhan dan rasa cinta devosi tersebut membawa
diri pada pengakuan dan penyerahan total kepada-Nya. Keempat, Ways
of Shamanic Mediation, merupakan jalan spiritualitas di mana seseorang terhubung
dengan Allah dengan melakukan berbagai macam sumber-sumber supranatural sebagai
medianya misalnya dukun ataupun orang pintar, sehingga seseorang memperoleh
akses ke dunia roh melalui apa yang bisa disebut imajinasi mendalam dalam
keadaan tidak disadari ataupun dalam kondisi kesadaran yang berubah.
Kelima adalah Ways
of mystical, merupakan jalan spiritualitas dengan menaruh perhatian kepada
sikap batin dan pengalaman tersendiri dengan Allah, melalui jalan mistik,
dengan disiplin rohani tertentu berupa cara hidup asketis maupun
meditatif. Terakhir adalah Ways of Reasoned Inquiry, merupakan
jalan spiritualitas yang mendekati Allah melalui akal dan segala sesuatu yang
terhubung dengannya, biasanya membutuhkan penuntun, baik guru, orang-orang
bijak, teks-teks suci, dan sebagainya.
Dari
Yohanes 4: 16-26 kita dapat melihat bahwa, cara atau jalan spiritualitas
perempuan Samaria ini adalah Ways of
Reasoned Inquiry. Wanita ini mengalami Allah yang merubahkan dan membaharui
hidupnya melalui pembelajaran yang ada, melalui rasionalitasnya. Kalau ditarik
kepada spiritualitas zaman sekarang, perempuan Samaria ini adalah tipe
orang-orang yang suka berpikir dan belajar. Ia merasa mengalami Allah lewat
pengetahuan yang ia terus gali dan usahakan. Dari awalnya problem spiritualitas
sudah tercium dengan jelas di dalam pembicaraan TUHAN Yesus dan Perempuan ini.
Dari pembicaraan awal di mana pembicaraan itu terjadi dengan alot, bahkan
seakan perempuan ini tidak mengerti mengenai topik yang mereka bicarakan,
padahal pembicaraan mengenai air kehidupan bukanlah topik yang asing ketika itu
sebagai orang yang sama-sama percaya kepada kedaulatan Taurat. Sehingga TUHAN
Yesus harus berterus terang kepadanya dengan berkata, “pergilah panggilah
suamimu dan datang ke sini” (ay. 16). Mungkin sebagaian dari kita berpikir,
“kok aneh ya, pembicaraan tentang air kehidupan, kok tiba-tiba disuruh panggil
suami, seriously! Hubungannya apa?”. Ditambah lagi, statement perempuan ini
yang mungkin membuat kita tercengang di ayat berikutnya yang mengatakan “nenek
moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalem lah
tempat menyembah” (ay. 20). Memang di bagian mana Yesus pernah berkata
demikian—Tidak ada (sebelum ayat 21). Artinya apa, artinya sebenarnya mereka
saling mengerti apa yang mereka bicarakan, perempuan samaria ini bukanlah
perempuan yang tidak tahu apa-apa, wong,
ketika ia melihat Yesus saja ia langsung tahu kalau ia seorang Yahudi, seorang
Rabi pula. Mereka sama-sama mengerti apa yang mereka bicarakan, yakni tentang
air kehidupan, tentang Allah yang benar.
Lima suami yang yang dibicarakan, tidak hanya berbicara
masalah moralitas si perempuan, namun 5 suami juga merupakan metafora yang
digunakan Yesus, yang mau menunjukkan 5 dewa sesembahan orang Samaria (2
Raja-raja 18:33-34). Di mana sesembahan itu pun telah ditinggalkan perempuan
itu, dan sesembahannya sekarang pun bukanlah Allah yang benar. Sehingga Yesus
berkata kepadanya, “Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa
penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam Roh dan kebenaran” (ay.
23). Di sini Yesus menetapkan satu pondasi dasar yang kuat mengenai kehidupan
peribadatan, mengenai kehidupan spiritualitas yang kita warisi sampai sekarang
ini. Yesus hendak menunjukkan bahwa masalah spiritualitas, mengalami Allah bukanlah
masalah lokasi (tempat), tetapi bagaimana seseorang menyembah dalam Roh dan
kebenaran. Jika dibahasakan kepada zaman sekarang ini, masalah ibadah bukan
hanya di gedung gereja, namun bagaimana kehidupan kita, bagaimana sikap hidup
kita yang terus mau belajar kebenaran Firman TUHAN, kita menyembah di dalam Roh
dan kebenaran. Artinya sebuah peribadatan tidaklah melulu dibatasi oleh
ruangan, kita pun sedang beribadah saat ini, TUHAN itu hadir karena ia adalah
Roh. Ia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, ia juga hadir secara virtual.
Peribadatan dan kehidupan spiritualitas mestinya berakar kepada sikap hidup
umat yang dipimpin dan digerakkan oleh Roh, melakukan apa yang benar, yang
sesuai dengan perkenanan TUHAN.
Perempuan
Samaria memiliki jalan spiritualitas, cara mengalami Allah lewat akal dan
pengetahuan, lewat pembelajaran. Bagaimana dengan kita sekalian, mari kita
renung-renungkan, kira-kira jalan spiritualias kita yang condong yang mana?
Kita perlu tahu bahwa seseorang tidaklah mesti memiliki hanya satu saja jalan
spiritualitas. Saya pun setidaknya memiliki 3 jalan spiritualitas, devosi,
reasons inquiry, asketis meditatif. Jika kita sudah tahu bahwa Allah pun hadir
melalui ibadah daring dan yang bukan daring,
maka kita pun bisa menyiapkan tatanan ibadah yang sesuai dengan jalan
spiritualitas kita. Jika kita adalah seorang yang sacred rites, maka ketika
ibadah Minggu kita harus persiapkan terlebih dahulu tempat ibadah kita di
rumah. Mempersiapkan simbol-simbol tertentu, salib, lilin, dsb. Sehingga kita lebih memaknai peribadatan kita.
Jika kita adalah seseorang yang memiliki jalan spiritualitas devosi. Maka,
ketika ibadah online, kita juga bisa mengatur ruangan dengan sound system yang
baik, sehingga kita pun nyaman dan menikmatinya.
Dalam
kesempatan ini kita akan menggali sedikit mengenai jalan spiritualitas asketis
meditatif (latihan rohani membaktikan diri pada Allah dengan jalan meditatif). Karena
belakangan ini istilah ini cukup populer kita dengar karena pandemi ini, karena
banyak orang banyak beraktifitas dari rumah, sehingga memiliki banyak waktu
untuk melakukan latihan spiritual ini. Jalan spiritualitas model ini, salah
satunya dapat kita temui di dalam Mazmur 1:2 di mana di sini dikatakan bahwa
orang yang berbahagia adalah orang yang merenungkan Taurat siang dan malam.
Kata “merenung” diterjemahkan oleh NIV, KJV, NLT, dan banyak terjemahan lainnya
dengan kata “meditating/meditates”, yang mestinya lebih tepatnya diterjemahkan
menjadi “meditasi’. Namun, sayang sekali kata meditasi cendrung dipahami secara
negatif—mengosongkan diri, bukan tradisi Kristen, dsb. Padahal jelas tidak
demikian. Bapa-bapa gereja banyak melakukan latihan rohani yang demikian,
misalnya Benediktus, Ignatius, dsb.
Dalam
Spiritualitas asketik meditatif ini ada beberapa istilah yang mungkin pernah
kita dengar yakni Solitusi, meditasi dan kontemplasi. Ketiga istilah ini
memiliki persamaan dan juga perbedaan. Solitusi dapat diartikan sebagai latihan
rohani di dalam keheningan, kesendirian. Seseorang menarik diri dari keramaian
untuk menemukan Allah. Sedangkan meditasi meditasi dan kontemplatif kebanyakan
memang dilakukan dengan cara solitusi, menyendiri. Namun bisa juga dilakukan di
dalam keramaian. Meditasi dapat diartikan bagaimana seseorang menyadari
kehadiran dirinya pada saat itu juga, cara seseorang member-“Ada”-kan diri di
dalam saat tertentu. Dan ketika seseorang dapat merasakan kehadiran diri
terlebih dahulu, maka ia pun dapat merasakan kehadiran yang lain, kehadiran
Allah, ini disebut kontemplasi.
Di dalam Mazmur 1:2, pemazmur mengatakan merenungkan
“memeditasikan” Taurat (Firman) TUHAN siang dan malam. Dengan kata lain, seseorang menghadirkan diri,
berdoa, dengan dipandu Firman TUHAN. Di dalam latihan kita itu, kita tidak
pergi kemana-mana; tidak pergi ke masa lalu, tidak juga ke masa depan, namun
hadir dengan keseluruhan dan keuTUHAN diri kita saat itu, sedang menyapa TUHAN
di dalam kekinian, kita merasakan dan mengalami TUHAN, bukan hanya
memikirkannya. Sebagai contohnya, sekarang saja ajak saudara untuk meditasi;
saudara terlebih dahulu fokus merasakan kehadiran saudara; sedang berada di
mana, bagaimana suhu di tempat saudara, dsb. Dalam keterfokusan ini, saudara
ingat salah satu Firman TUHAN, misalnya Kej 2: 7 yang mengatakan bahwa manusia
dibentuk dari debu tanah dan TUHAN menghembuskan nafas melalui lobang hidung
kita sehingga kita menjadi mahluk hidup. Sekarang fokuslah kepada pernafasan
saudara, bahwa lewat saudara bernafas saudara terhubung dengan TUHAN, karena
memang demikian. Lakukan latihan ini terus menerus. Ini merupakan salah satu
metode saja, kalau tertarik dengan metode ini di lain kesempatan kita bisa
membicarakannya lagi. kiranya TUHAN menolong setiap kita.
Komentar
Posting Komentar