Self Awareness


Adakah di antara kita yang ketika sedang berdoa, ‘pergi kemana-mana’; ia sedang berdoa tapi yang ia pikirkan orang lain, pekerjaannya, tugas-tugasnya, pergi ke masa lalu mengingat semua kenangan yang indah/pahit, pergi ke masa depan dan tinggal di sana beberapa saat, bahkan ketika sedang berdoa baru ia ingat bahwa rumahnya belum dikunci, kompor belum dimatikan, dsb? Menurut saudara mengapa terjadi demikian?
Hal yang sama dalam versi yang berbeda pun terjadi kepada kehidupan Among. Pada suatu pagi Papa Among mengetuk kamarnya, katanya, “Bangun!” Among menjawab, “Aku tidak mau bangun, ayah.” Ayahnya berteriak, ‘Bangun, kamu harus pergi ke sekolah!” Among menjawab, “Aku tidak mau pergi ke sekolah.” “mengapa tidak?” tanya ayahnya. “Ada tiga alasan” kata Among. “Pertama karena sekolah membosankan; kedua, anak-anak sering mengolok-olok saya, dan ketiga aku benci sekolah.” Dan kemudian ayahnya menjawab, “Baik, aku akan mengajukan tiga alasan mengapa kamu harus pergi ke sekolah. Pertama, karena itu adalah kewajibanmu; kedua, karena umurmu 40 tahun; dan ketiga, karena kamu adalah kepala sekolah.”
Terlepas disadari ataupun tidak, dalam menjalani kehidupan, seringkali seseorang tidak hadir secara utuh di dalam kehidupannya, sebab ia hanya memerankan kehidupannya dan tidak menghidupinya; sebagian dirinya ditawan masa lalu, sebagian lagi ditawan masa depan, bahkan ketika seseorang berada di suatu tempat, ia tidak benar-benar berada di situ, pikirannya kemana-mana. Sebab, jika ia benar-benar berada di suatu tempat, maka ia akan benar-benar merasakan dirinya di tempat itu; jika Anda sekarang benar-benar hadir di suatu tempat misalnya ketika duduk, maka anda akan merasakan dinginnya kaki Anda menyentuh lantai, hangatnya sentuhan tangan Anda ketika jari-jemari bercengkarama antara satu dengan yang lainnya, Anda akan merasakan (bukan memikirkan) indahnya lukisan (foto) yang tergantung di dinding itu. Inilah Self Awareness. Namun, seringkali kita ‘tertidur’ dalam kehidupan kita. Kita terkondisi dalam keadaan tertidur: hidup, bekerja, makan, kuliah, menikah, membesarkan anak, bahkan berjalan dan mati pun dalam keadaan tertidur. Oleh karena itu, kita mesti tersadar dan bangun, “ber-‘ada’ dan sungguh-sungguh hadir” dalam kekinian, sehingga kita bisa menikmati hidup kita, menikmati karya, menikmati pelayanan kita, dan menikmati saat-saat berdoa kita dengan Tuhan. Jika tidak, kemungkinan kita akan sangat menderita di saat-saat seperti ini, saat-saat kita begitu banyak memiliki waktu sendiri dikarenakan semakin merebaknya wabah pandemi ini. Padahal dengan melatih self awareness, kita justru akan sangat menikmati saat-saat seperti ini, bahkan saat seperti ini merupakan satu kesempatan untuk kita menuju suatu perubahan. Tentu kita juga akan lebih bisa menikmati ibadah daring yang biasa kita lakukan, sebab kita menyadari kehadiran diri kita, menyadari kenyataan hidup, sehingga kita juga dapat menyadari kehadiran dan sapaan Tuhan melalui ibadah tersebut.
Sebaliknya, ketiadaan self-awareness membuat kerohanian kita semakin kering dan tandus, karena kita tidak benar-benar mampu bersyukur dan tidak benar-benar hidup secara penuh untuk saat ini. Masa-masa diterapkannya Phisycal Distancing yang seharusnya memberikan kesempatan kepada kita untuk memperdulikan diri sendiri, memperluas pengalaman akan Allah, memperteguh iman: evaluasi diri, melatih diri, olah batin, berdoa, menemukan hal-hal yang baru, semua ini yang seharusnya mampu mendongkrak pertumbuhan iman kita hanya berakhir dengan kehambaran dan kebosanan.
Kekeringan tersebut disebabkan karena kita sering kali tinggal dalam romantisme masa lalu__tinggal dalam kepahitan, penyesalan sakit hati, kehebatan, bahkan prestasi-prestasi sekalipun, dan tinggal di masa depan__dalam angan-angan, perencanaan, mimpi-mimpi bahkan kekuatiran. Kita tidak hidup di sini__saat ini, kita tidak menyadari kegiatan-kegiatan yang kita lakukan. Dengan kata lain, kita hanya menyadari hal-hal yang berkeliaran di kepala dan tidak menekankan pada indra dan rasa, bahkan waktu beribadah dan berdoa pun pikiran kita mengawang-awang kemana-mana menjelajah ke berbagai tempat, waktu, dan situasi. Mengenang masa lampau untuk mengambil manfaat, menikmatinya, dan melihat hari depan, menyusun rencana memang berguna. Namun, kita tidak boleh larut di situ, sebab untuk sadar secara penuh, mutlak memerlukan pengembangan kontak dengan masa sekarang dan mau tinggal di situ pula.
Kesadaran diri atau self-awareness memang topik psikologis yang sering kita dapati di berbagai media. Namun, kesadaran diri ternyata banyak tersirat dalam Alkitab, baik di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru (Mazmur 51: 1-10 dan 1 Tes. 5: 1-8). Ini membuktikan kesadaran diri terkait erat dengan kerohanian, bukan hanya psikologis semata. Jadi, alangkah penting bagi seorang Kristen untuk memahami kesadaran diri agar dapat menumbuhkan kehidupan imannya. Salomo, tokoh Alkitab yang penuh hikmat, mengatakan bahwa orang berhikmat memiliki kesadaran diri, lewat ungkapan ‘mengerti jalannya sendiri’ (Amsal 14:8). Hal ini juga terlihat dalam kisah Daud,  Mazmur 51: 1-10, Mazmur ini mengisahkan Daud  yang ditegur nabi Natan. Daud kemudian sadar akan dosa dan pelanggarannya, karena menghampiri Betsyeba. Melalui kesadaran itu, Ia memohon Allah agar membersihkan, mentahirkan dosanya. Di sini kata sadar yang digunakan adalah אֵדָע (eda) yang merupakan kata kerja, suatu usaha yang berkesinambungan dan harus dilakukan terus-menerus mulai dari dan dalam diri sendiri. אֵדָע (eda) secara literal berarti acknowledge, be aware, awares, consider, understanding, discern, feel, have knowledge. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kesadaran diri (self-awareness) adalah suatu kenyataan saat ini, pengakuan dari dalam diri tentang diri sendiri, kewaspadaan, pengetahuan/pengertian/olah rasa—untuk melihat ke dalam dan memahami diri, sehingga kita sadar dengan sepenuhnya diri dan keberadaan kita. Kesadaran diri merupakan dasar utama kecerdasan emosi, kemampuan untuk mengetahui, menyadari, serta memonitor inner world kita yang meliputi pikiran (nilai, ide, paham), emosi (perasaan, keinginan, intuisi), perilaku (kecenderungan, karakter, motif), serta dampaknya (bagi orang lain dan diri sendiri).
Di dalam kisah Daud, Daud melihat ke dalam dirinya (inner world ) dan sadar bahwa dirinya lemah dan berdosa, sehingga ia memohon pertolongan kepada Allah, dan ia kemudian mengalami sukacita dan kegirangan—ia mengalami Tuhan. Menurut Mazmur 51: 1-8, kesadaran diri merupakan anugrah Allah yang menuntut partisipasi manusia (ay.3-4). Kesadaran diri juga berdampak terhadap bagaimana sikap kita terhadap yang lain, apakah kita menjadi berkat atau tidak, dalam bahasa Mazmur 51:6 adalah ‘keadilan’. Dan kesadaran diri selalu terkait erat dengan proses, melatih diri dengan olah batin, merenungkan kebenaran firman Tuhan, dan kesadaran diri juga mendatangkan hikmat Tuhan (ay.8).
Pada suatu kali Aristoteles berjemur di bawah sinar matahari, muridnya Alexander Agung heran mengapa gurunya tidak mau harta benda, kekuasaan, kebahagian seperti yang dirinya dan orang banyak inginkan. Dengan maksud menyenangkan hati gurunya, ia pun datang mengahampiri gurunya yang sedang berjemur itu. Ia berdiri di hadapan gurunya dan berkata, “guru apa yang dapat aku lakukan untuk membahagiakanmu?” Dengan segera sang guru menjawab, “Jangan berdiri di situ, sebab engkau mengahalangi sinar matahari itu datang kepadaku”. Aristoteles menyadari bahwa kebahagiaan tidak tergantung kepemilikan, namun bagaimana ia menyadari keberadaan dirinya secara utuh dan hidup sesuai dengan kenyataan yang kekinian saat itu, berjemur di bawah sinar matahari dengan kesederhanaan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita mesti terus melatih kesadaran diri kita. Di mana pun Anda sekarang, coba berhenti sejenak, berdiam diri sebentar—mengambil waktu untuk merasakan udara panas dingin di sekitar kita, merasakan angin lembut yang membelai tubuh kita. Rasakanlah kehadiran Tuhan. Dengan sering melatih diri dengan cara demikian, kita terhindar dari bahaya laten yang sering terjadi—ketika orang-orang melakukan kegiatan spiritualitas—banyak orang tanpa terasa menggantikan perasaan dengan gambaran pikiran, sehingga lama-kelamaan kita mengebalkan rasa dan mati rasa tanpa disadari, hidup dengan kepala saja, bahkan terkadang simpati pun rasanya merupakan rekayasa pikiran. Padahal semuanya telah Allah sediakan dalam diri dan sekitar kita untuk dinikmati sebagai manifestasi karya Allah yang benar-benar nyata, bukan bayangan, angan-angan maupun ekspektasi kita. Tiada cara lain melepaskan diri kita dari kungkungan dan tawanan itu semua, tawanan masa lalu—masa depan, dogma dan pikiran selain terus melatih diri dengan self awareness. Sebab tanpanya, jangan-jangan Tuhan yang kita percayai hanya kenangan dan ekspektasi, hanya dikepala dan pikiran, karena kita tidak benar-benar merasakannya. Padahal jelas, Tuhan selalu hadir dalam hidup kita, saat ini—oleh karena itu kita perlu menyadarinya dengan hadir dengan sungguh dan benar-benar berada di sini. Sebab tidak mungkin kita menyadari keberadaan Tuhan tanpa menyadari keberadaan diri terlebih dahulu.
Tuhan Memberkati


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Sejarah Natal yang Menyejarah

Teologi Bencana