Mata Yang Dicelikkan (Yohanes 9: 1-41)


Seorang ahli teologi dan spiritualitas, Antony De Mello mengatakan bahwa salah satu problem terbesar manusia di zaman sekarang ini adalah kesadaran. Orang tidak lagi hidup saat ini dan di sini, orang bangun tetapi ia tertidur, orang melihat namun buta. Karena melihat yang hanya nampak oleh mata kepala saja, bahkan hanya melihat apa yang ia pikirkan, padahal kenyataan jauh lebih besar dari apa yang bisa kita lihat, lebih besar dari gagasan-gagasan, ide-ide kita maupun laku spiritual kita. Problem cara melihat ini pula yang terjadi kepada banyak orang ketika melihat pekerjaan-pekerjaan Allah. Orang lebih memilih melakukan tradisi-tradisi, ajaran-ajaran maupun gagasan-gagasan mengenai Allah, daripada mencari apa sebenarnya pekerjaan-pekerjaan Allah itu, apa kehendak-Nya dan bagaimana saya hidup menurut jalan-Nya. Bahkan tanpa terasa pun banyak orang kemudian membatasi pekerjaan-pekerjaan Allah seolah-olah apa yang mereka lakukan adalah untuk melakukan pekerjaan Allah. Oleh karena itu, bagaimana cara melihat menjadi permasalahn penting yang harus dibahas, sebab bagaimana cara melihat akan menentukan bagaimana kita menyikapi dan merespon pekerjaan Allah di dalam kehidupan kita.

Di  dalam teks kita hari ini, kita pun menemukan beberapa cara melihat pekerjaan Allah dan bagaimana responya terhadap pekerjaan Allah itu sendiri. Pertama, orang melihat apa yang nampak di depan mata, kedua orang melihat apa yang ia pikirkan, harapkan maupun kehendaki, dan yang ketiga orang melihat malampaui penglihatan jasmani, namun juga mampu melihat kenyataan rohani, melihat apa sebenarnya yang di balik semua kejadian ini dan apa tujuannya semua ini terjadi. Untuk dapat melihat pekerjaan Allah sebenarnya, maka kita harus melihat masing-masing cara melihat tersebut lebih dekat.
Pertama adalah orang melihat apa yang nampak saja. Golongan  ini diwakili oleh masyarakat di sekitar orang yang buta sejak lahir itu yakni tetangga-tetangganya dan mereka yang dahulu mengenalnya sebagai pengemis. Golongan ini biasanya susah melihat adanya intervansi Allah ataupun mukzijat-mukjizat yang terjadi. Mereka perlu konfirmasi. Hal ini terlihat pada ayatnya yang ke 9-10. Di mana terdapat orang yang percaya dan juga yang tidak, sehingga mereka yang percaya dan yang tidak itu pun harus mendapatkan konfirmasi dari si Buta. Dalam kehidupan kita sehari-sehari golongan ini yang paling banyak kita temukan. Mereka bukannya salah, hanya perlu dikonfirmasi. Terkadang baik juga menjadi seperti mereka tetapi terkadang tidak juga, sebab segala sesuatu harus dibuktikan, padahal pada kenyataannya membuktikan segala sesuatu itu sulit, sebab tidak semua hal bisa demikian. Baiknya menjadi mereka karena orang-orang seperti ini tidak gampang ter-makan hoax, sebab mereka akan mencari informasi yang akurat, sehingga menuntutnya untuk belajar terus menerus. Namun kelemahannya adalah, orang-orang seperti ini terkesan kaku, sangat mekanisme dan tentu tidak cair. Dan biasanya orang-orang yang demikian tergolong cukup sulit melihat hal-hal apa yang terjadi di balik kejadian yang ada ataupun sulit melihat campur tangan di dalam kejadian itu. Dan ujung-ujungnya yang ada hanya sikap complain dan menggerutu mengapa begini dan mengapa begitu. Saya rasa jaman sekarang banyak orang seperti demikian. Kita langsung menilai dari apa yang kelihatannya, bahkan menilai dari apa yang nampak itu saja. Belakangan ini saya suka menonton film tiongkok sana yang sangat inspiratif, yang bercerita tentang seorang Bos yang menyamar jadi karyawan untuk menemukan kecurangan di dalam perusahaannya, misalnya lagi seorang Bos menyamar untuk mencari kerja di perusahaannya sendiri. Biasa si Bos-bos ini akan berpakaian agak lusuh dan kunyel, sehingga ia akan dihina-hina oleh orang-orang tertentu. Dengan menyamar demikian, si Bos pun bisa membongkar kecurangan-kecurangan yang ada, dengan ia tidak tampil sebagai bosa, tetapi seperti apa yang kelihatannya, yakni seorang karyawan dan seorang pencari pekerja.
Kedua adalah orang maupun golongan yang hanya melihat apa yang dipikirkan, harapkan maupun dikehendakinya. Golongan ini diwakili oleh sebagian orang-orang Farisi. Sebagian, tidak semuanya, sebab masih banyak juga yang tidak demikian. Orang-orang ini biasanya hidup dengan peraturan maupun tradisi yang ketat, bahkan terkadang aturan tersebut pun membatasi Allah bekerja dengan leluasa. Sikap yang demikian membawa orang-orang ini menjadi orang-orang yang lebih mementingkan ritual daripada sumber ritual itu sendiri, sehingga ritual menjadi sebuah pembenaran, gagasan tentang Allah menjadi Allah itu sendiri. Pada zaman sekarang orang-orang yang demikian sering disebut sebagai orang-orang beragama dengan “kacamata kuda”, sehingga seakan-akan membuat bahwa Allah bekerja dengan cara yang statis, hanya pada moment-moment tertentu, terkhususnya pada zaman-zaman dulu, zaman-zaman para Nabi. Jika saudara-saudara masih ingat tema minggu lalu yakni “membuka isolasi, menjalin relasi”, maka orang-orang yang demikian adalah orang-orang yang mengisolasi dirinya sendiri. Menganggap bahwa kebenaran itu hanya miliknya sendiri. Oleh karena itu tidak mengerankan, jika pada ayatnya yang ke 16 orang Farisi itu berkata bahwa “orang ini tidak datang dari Allah, sebab Ia tidak memelihara hari Sabat”. Dengan kata lain, orang-orang ini lebih mementingkan ritual-ritual ataupun memelihara hari-hari tertentu ketimbang melihat dengan jeli bahwa pekerjaan-pekerjaan Allah itu adalah selalu dan setiap saat. Pemahaman yang demikian membuat mereka tidak percaya kepada Yesus, bahkan pemahaman itu berkembang menjadi pra sangka dan mengatakan bahwa Yesus adalah orang berdosa (ayat 24). Orang-orang melihat apa yang mereka pikirkan, melihat apa yang mereka harapkan dan ekspektasikan. Sehingga meskipun bukti dan semua kronologi yang mengatakan bahwa orang buta itu memang benar-benar disembuhkan oleh Yesus amat kuat terlihat dan bukti itu semua jelas terpampang di hadapan mereka, mereka juga tidak melihatnya. Mereka melihat apa yang mereka pikirkan dan inginkan, dengan kata lain sebagaimana yang tercata pada ayat 27, “telah kukatakan kepadamu, mengapa kamu hendak mendengarnya lagi?....”. mereka melihat bahwa yang terjadi itu harusnya tidak lepas dari control mereka sebagai punggawa-punggawa agama-agama ketika itu, sehingga sebagai pembenaran diri pun mereka kemudian membawa nama Musa, bahwa mereka adalah murid-murid Musa.
Cara melihat yang ketiga adalah melihat malampaui penglihatan jasmani, melihat melampaui apa yang kelihatan saja. Hal ini terlihat pada diri pengemis tersebut. Dalam teks terlihat jelas bahwa ia buta sejak lahirnya dan banyak orang memang mengakuinya demikian, sehingga jelas ini bukan sandiwara. Di dalam teks dikatakan bahwa pengemis ini telah dewasa (ay.23). dengan kata lain, ia telah dapat mempertanggungjawabkan apa terjadi dan apa yang telah ia lakukan, sehingga kesaksiannya valid atau sah. Namun walaupun demikian, karena kebutaannya masih saja orang Farisi itu tidak percaya bahkan menyebutnya orang yang lahir dalam dosa, sehingga bagaimana mungkin ia mengajarinya (ay. 34). Farisi tersebut masih memegang kuat paradigma umum pada waktu itu, bahwa orang yang lahir cacat adalah orang berdosa; orang tua maupun orang itu sendiri. Dalam hal ini orang-orang Farisi memiliki konsep berpikir yang sama dengan murid-murid Tuhan Yesus, sehingga Yesus membaharui cara pandang mereka. Namun, cara pandang orang-orang Farisi tersebut terlanjur terkondisi sehingga susah sekali untuk dibaharui.
Pengemis itu sudah buta sejak lahirnya dan kini ia telah dewasa tentu menandakan sesuatu bagi kita. Jika kita di posisinya tentu kita telah melakukan segala cara untuk mengobati mata kita dan bahkan mungkin kita sudah menyerah. Namun, tidak demikian bagi si Pengemis. Ia tidak menyerah dengan keadaannya, sehingga ia pun dengan segera merespon apa yang Tuhan Yesus perintahkan. Hal ini menandakan bahwa meskipun ia tidak dapat melihat dengan mata kepalanya sendiri, meskipun ia tidak dapat melihat secara jasmani, namun hatinya dapat melihat dan memiliki pengharapan, sehingga ia segera pergi untuk membasuh dirinya sebagaimana yang Tuhan Yesus perintahkan, dan akhirnya ia sembuh. Bisa saja ia menolak untuk pergi, apalagi selama ini telah banyak yang mencoba untuk menyembuhkan metanya dan tidak berhasil. Namun, pengemis ini tidak melakukannya, ia membuka dirinya dan menuruti perintah Tuhan Yesus sehingga ia pun disembuhkan, ia menjadi melek (blepo: melek secara jasmani). Dan ia pun kemudian tidak hanya dapat melihat secra jasmani, bahkan secara rohani. Pada ayat 37 Tuhan Yesus berkata kepadanya, “engkau bukan saja melihat Dia, tetapi Dia yang sedang berkata-kata dengan engkau, Dialah itu!”. Kata melihat di sini  yang digunakan adalah Horao, yang dapat diartikan melihat secara rohani. Dengan kata lain, Pengemis itu mengalami transformasi, pembaharuan hidup ketika bertemu dengan Yesus, ia yang pada awalnya buta secara jasmani disembuhkan, tidak hanya disembuhkan malahan sekarang ia dapat melihat secara rohani. Melihat melampaui apa yang nampak, sebab ia dapat melihat, melihat Dia, Anak Manusia, Sang Hakim yang dinanti-nantikan, artinya ia dapat melihat pekerjaan-pekerjaan Allah di dalam dunia dan juga melalui dirinya. Bahwa Allah selalu bekerja setiap waktu, bahwa Allah tidak hanya bekerja pada waktu-waktu tertentu. Kata “waktu Yesus sedang lewat” ketika Yesus melihat pengemis itu menandakan bahwa sebagaimana Allah selalu bekerja, demikian Yesus selalu bekerja setiap saat. Tuhan Yesus bukan sengaja melayani dan bertemu si Pengemis, namun “sedang lewat” menandakan bahwa Tuhan Yesus juga bekerja setiap saat.

Lalu bagaimana cara kita melihat selama ini, pertama: apakah kita melihat apa yang nampak saja? Sekarang ini covid-19 semakin menyebar dengan cepat dengan berbagai media, kebanyakan berasal dari contak fisik: bersalaman, melalui penyebaran pertukaran uang, fasilitas-fasilitas umum, dsb. Bahkan banyak penelitian dokter mengatakan banyak orang yang sehat meskipun terpapar Covid-19 yang menjadi carrier. Artinya, sebenarnya yang yang sudah terpapar Covid-19 tersebut, namun memiliki imun di dalam tubuhnya, sehingga tidak terlalu berdampak. Ia merasa sehat-sehat, dan dirinya bisa menjadi pembawa virus itu kepada orang yang lain, yang tidak memiliki imun seperti dirinya. Banyak orang kemudian mempertentangkan iman dengan virus ini sehingga kehidupan umat beragama menjadi kacau. Padahal beriman juga butuh hikmat, untuk itulah Tuhan memberikan kita pengetahuan sehingga kita semakin dewasa beriman dan tidak melihat segala sesuatu yang nampak saja. Beberapa gereja telah menerapakan ibadah online dan salaman dengan jabat tangan diganti dengan salam namasate dan persembahan dihantarkan sendiri ke depan. Hal ini sungguh luar biasa, gereja melihat apa yang tidak nampak saja. Gereja melihat bahwa sikap salam kepada yang lain berasal dari dalam diri dan ekspresi tangan hanyalah salah satu bentuk salam hormat itu. Jika kita melihat apa yang nampak saja, maka kita akan sulit melihat hal-hal apa yang terjadi di balik semua kejadian yang ada? kita akan sulit melihat bahwa Tuhan juga ada dan campur tangan di dalam kehidupan kita. Tuhan memberikan kita iman dan hikmat untuk mengatasi gejolak mekanismen alam yang muncul dalam balutan virus ini. kita juga akan sulit melihat bahwa kehadiran dokter-dokter tim medis bahkan kesiapan pemerintah untuk menanggulangi wabah ini. Sehingga cara yang melihat demikian pun akan melahirkan cara melihat yang kedua, yakni melihat apa yang kita pikirkan, harapkan maupun kehendaki, yang mengakibatkan kita tidak bersyukur dan kemungkinan menggerutu terus, mengapa begini dan mengapa begitu, harusnya begini harusnya begitu.
Saudara-saudari terkasih dalam Tuhan, seringkali kita jatuh pada cara melihat pertama dan kedua, sehingga kita pun tidak mampu melihat pekerjaan-pekerjaan Allah di dalam kehidupan kita. Namun, hari kita belajar bagaimana cara melihat yang benar sebagaimana yang kita saksikan kepada si Pengemis tersebut. Walaupun ia buta dari lahir (berdosa) ia memiliki kerendahan hati dan sikap untuk mau mendengar Tuhan Yesus sehingga Tuhan pun bekerja leluasa di dalam hidupnya. Bagaimana dengan kita, maukah kita mendengar dan membuka diri sehingga Tuhan pun bekerja leluasa di dalam kehidupan kita? Sebagaimana Tuhan memelekkan mata jasmani pengemis itu, apapun yang menjadi persoalan jasmani kita, Tuhan akan memelekkannya sesuai dengan rahmat yang ada pada-Nya, namun yang terpenting dari semuanya itu adalah Tuhan juga memelekkan mata rohani kita, sehingga kita bisa melihat dengan kacamata Allah, melihat melampaui apa yang nampak saja, melihat keadaaan yang kita hadapi dengan jelas.
            Pada bulan Januari yang lalu ketika saya Live in Dusun Pangkah Candirejo Gunung Kidul. Ketika kami mengunjungi seorang kakek yang sudah buta namun tetap segar. Saya bertanya kepada kakek ini (namanya mbh Sugeng), “mengapa ia begitu terlihat sumringah dan sepertinya tidak memiliki beban sama sekali, padahal ia buta?”. Ia hanya menjawab bahwa dengan kebutaannya, ia semakin banyak merenungkan hidup, bahkan semakin disiplin dalam hal-hal rohani: ia memiliki jadwal ibadah sendiri dengan Tuhan, berdoa, menyanyi kepada Tuhan, ia merasa lebih intim kepada Tuhan”. Katanya, “dalam kebutaanku, rasanya aku melihat kehidupan dengan lebih jelas”. Apa yang dialami kakek ini, mirip dengan apa yang di alami Pengemis itu, bedanya meskipun kakek ini tetap buta, namun matanya tetap melihat, sebab ia dapat melihat melampaui apa yang nampak saja.
Di dalam minggu-minggu Pra Paskah ini, ketika kita menghayati masa-masa sengasara Tuhan Yesus, kita belajar bagaimana cara melihat yang benar. Kita pun belajar dari cara melihat si Pengemis dan si kakek, sehingga kita dapat dapat melihat segala pekerjaan-pekerjaan Allah di dalam dunia dan di dalam kehidupan kita, tidak dapat melihat bahwa Allah selalu bekerja setiap saat dan setia waktu, sebagaimana ia menyapa si Pengemis itu dan membaharui hidupnya, demikian juga dengan kita yang ada di sini. Amin

Yogyakarta, 22 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Sejarah Natal yang Menyejarah

Teologi Bencana