Jesus As The Wisdom and God Among The Religions”


Pembaca yang baik adalah pembaca yang tidak menyimpulkan terlebih dahulu mengenai apa yang dibacanya sebelum ia tiba di sana, bahkan ia mampu membaca melampaui apa yang dituliskan
-malemmita-
Perbedaan-perbedaan pemahaman; baik itu dalam tradisi maupun agama antara yang satu dengan yang lainnya adalah hal yang tidak bisa dihindari. Diperlukan suatu pengelolaan yang baik terhadap perbedaan itu, diperlukan dialog yang mentrasformasi pemahaman dengan sikap dan upaya yang “tajam”, namun juga tetap setia pada tradisi dan tetap memiliki sikap keterbukaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Oleh sebab itu, sebagai orang-orang percaya, yang hidup dalam keberagaman, sudah menjadi panggilan, tugas dan tanggung jawab kita bagaimana atau metodologis apa yang sekirannya cocok untuk menceritakan Kristus kepada orang-orang di sekeliling kita__mengolah jembatan yang baik untuk bercerita tentang-Nya kepada “yang lain” yang berangkat dari pemahaman mereka terlebih dahulu, dari pada kita tiba-tiba datang kepada mereka dengan hal yang asing dan ajaran yang mereka tidak ketahui. Dengan kata lain, jika kita ingin menceritakan tentang Yesus kepada “yang lain” misalnya kepada orang-orang yang menganut Taoisme, Konfusianisme dsb, maka kita mesti jelas dulu, apa pandangan mereka tentang Yesus, pra-paham apa yang mereka adopsi, bagaimana mereka memandang hikmat, Tuhan, dsb.
“Jesus As The Wisdom and God Among The Religions” merupakan salah satu model penyampaian yang patut kita pertimbangkan. Di mana, dalam pembicaraan, kita bisa membahas persamaan pandangan terlebih dahulu mengenai Yesus sebagai hikmat, dan kemudian menyusul kepada perbedaan yakni Yesus sebagai Tuhan. Tentunya, dalam dialog maupun pembicaraan akan ditemukan begitu banyak persamaan-persamaan yang bisa dikembangkan guna memupuk persatuan sebagai sebagai sebangsa dan setanah air di tengah memudarnya toleransi dan rendahnya dentuman dialog antara agama yang sehat di negeri ini. Namun juga mestilah ada perbedaan-perbedaan yang memang tidak bisa dipertemukan dan tetaplah itu jadi perbedaan. Namun, setidaknya suara-suara perbedaan itu sudah diperdengarkan sehingga ia tidak menjadi semakin runcing dan bahkan melukai antara satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, tulisan ini setidaknya akan dibagi menjadi dua bagian besar; pertama, pembahasan mengenai Yesus sebagai hikmat di antara agama-agama, kedua, Kristologi yang bersentuhan dengan agama-agama lain.
Jesus As Wisdom Among The Religions
Orang-orang Israel kuno mengenal Hikmat (Ibrani chokmah dan Yunani Sophia) sebagai kebijaksanaan, yang juga dikaitkan dengan penciptaan (Amsal 8:22), yang dikaiteratkan dengan Roh Allah yang memegang kendali atas semua hal (Wis 1:7). Bahkan dalam salah satu tradisi mistik Yahudi yakni Kabbalah menyebut Yesus sebagai Hikmat Allah. Demikian juga dengan Perjanjian Baru-Yesus mengajar dengan gaya dan isi tradisi hikmat yang profetik dan apokaliptik. Jadi bagi orang-orang Yahudi dan Kristen berdasarkan sumber-sumber paling awal untuk memahami Kebijaksanaan antara agama tidak terletak pada hal-hal yang teoritis, abstrak maupun filosofis tetapi dalam Amsal, narasi, himne, pengajaran hikmat, apokaliptik, Injil, dan surat-surat dalam Alkitab.
Dalam Islam pandangan tentang Yesus sebagai Hikmat bukanlah hal yang susah untuk diterima, dikarenakan aspek-aspek Yesus di dalam Al-Qur'an dan Alkitab memiliki banyak kemiripan. Yesus sebagai seorang nabi dan guru hikmat Yahudi yang memproklamirkan pemerintahan Allah yang akan datang, bahwa ia menyembuhkan orang (Qu'ran 3:49). Masih banyak lagi sebutan-sebutan untuk Yesus di dalam Qur’an yang tidak terlalu jauh berbeda dengan yang terdapat dalam Kekristenan, yang berkaitkelindan dengan hikmat itu sendiri misalnya; Nabi, Utusan Allah, Hamba, Firman, Roh Allah, dsb.
Demikian juga dalam Hinduisme, Yesus dipandang sebagai salah satu dari inkarnasi Hikmat. Hal ini jelas terlihat dalam pernyataan Panikkar yang berasumsi bahwa jika Kebijaksanaan benar-benar meluas ke seluruh kosmos yang menawarkan rekonsiliasi kepada semua, maka umat Hindu telah mengalami kekuatannya, dan karena itu ia menjelajahi Kristus yang tidak dikenal dalam agama Hindu, dan menemukan kebijaksanaan Yesus Kristus dalam teks-teks Hindu seperti Upanishad. Agama Budha pun gampang menerima Yesus sebagai Hikmat. Hal ini banyak terlihat dalam ajarannya yang mengatakan bahwa ajaran Yesus sangat mirip dengan ajaran Budha. Misalnya dalam Mahayana, Prajnaparamita, Amida Budha, dsb. Bahkan Dalai Lama pun berani menyebut bahwa Yesus sebagai Budha.
Pemaparan di atas menjadi sebuah alarm juga sekaligus mencerahkan, bahwa kita mesti bertindak bijaksana dan sadar ketika memaknai keterbatasan. Sehingga kita dapat memahami jalan-jalan hidup seraya mempraktikkan kebijaksanaan, dan diubah dalam setiap proses yang ada, serta menyambut “yang lain” sebagai teman dalam perjalanan ini. Dengan demikian, jelas bahwa Hikmat dapat mempertemukan kita dengan agama dan tradisi lain, sehingga kita dapat melihat universalitas Allah yang sangat luas dan dalam. Sebagai kerangka ataupun pijakan, menambah pengetahuan akan “yang lain”, pengetahuan bukan untuk menyerang yang berbeda dan membenarkan diri sendiri, namun untuk melihat seluruh relitas dengan kaca mata yang berbeda.
Jesus As God Among The Religions
Segala sesuatu yang berbicara tentang Yesus Kristus akan diistilahkan dengan Kristologi dalam pembahasan ini. Penjabaran mengenai Kristologi pun akan dibatasi, yakni dalam Taoisme dan Islam, karena dalam kedua kepercayaan itu terdapat nilai-nilai Kristologis yang sangat kental. Kristologi dalam konteks pemikiran Taoisme tentu sangat menarik. Menarik karena dari tesis tersebut saja seakan-akan mengindikasikan ada “kedekatan” antara Kristologi (Kekristenan) dan Taoisme (“agama” ataupun salah satu filsafat Tionghoa yang sangat berpengaruh), padahal Kristologi dan Taoisme adalah dua hal yang berbeda. Namun, meskipun berbeda terdapat juga kemiripan yang cukup signifikan.
Berbicara mengenai Kristologi, maka tentu kita berbicara mengenai Yesus dan karya-Nya (Soteorologi). Yesus sebagai subyek yang mempribadi dalam bingkaian iman, sebagai manusia, jalan, Logos, sebagai Tuhan, dsb. Sementara Tao adalah “jalan”, prinsip, dasar, bahan, penyebab dari segala sesuatu. Hal ini mirip dengan konsep logos, firman yang mencipta segala sesuatu. Tao bukanlah apa atau siapa, sehingga tidak bisa dipertanyakan, hal ini berbeda dengan Yesus yang adalah Tuhan yang mempribadi. Tao adalah energi/gerak yang mengalir dengan sendirinya melingkupi segala sesuatu. 
Secara teologis, dasar Alkitab mengenai hubungan Kristologi dan Taoisme cukup kuat, demikian juga menurut tradisi gereja. Menurut salah seorang teolog terkenal yakni Jung Young Lee, salah satu konsep yang paling tepat untuk menggambarkan Kristologi adalah melalui ying dan yang, salah satu prinsip utama dalam Taoisme. Yesus sebagai terang dan dasar penciptaan segala sesuatu jelas terdapat dalam Injil maupun tulisan-tulisan apokaliptik (mis. Yoh. 1, 9 dsb) mirip dengan Tao sebagai dasar maupun penyebab segala sesuatu. Dengan demikian di dalam Yesus tidak sesuatu pun dipisahkan, termasuk terang dan gelap, kehidupan maupun kematian. Hal tersebut tergambar dengan jelas dalam ying  (kegelapan, kematian, bulan, dsb) dan yang (terang, kehidupan, matahari, dsb) yang saling berpaut tetapi berlainan. Pada bagian yin dari diagram terdapat suatu bintik yang dan pada bagian yang terdapat satu bintik yin yang menandakan Kristus sebagai terang atau yang, tidak terlepas sepenuhnya dari yin atau kegelapan, dan dunia ini sebagai yin atau kegelapan tidak terlepas seluruhnya dari yang atau terang. Masuknya terang (yang) ke dalam kegelapan (yin) adalah suatu kiasan mengenai proses penebusan atau pertumbuhan kesadaran, bahwa Kristus di dalam diri kita. 
Selain Jung Young Lee, dalam sejarah tradisi gereja Karl Barth juga mengungkapkan Kristologinya yang memiliki keterkaitan erat dengan yin dan yang. Ia memberi batasan Yesus sebagai model/contoh keberadaan manusia__Yesus adalah jalan (Yoh 14: 6). Karena Ia adalah jalan, maka kita terpanggil untuk mengikuti-nya, maka ia adalah yang, bertindak dan memprakarsai, dan kita adalah yin, menjawab dan mengikuti. Jawaban tersebut berdaya cipta, kita menjadi berdaya cipta, sehingga dengan adanya jawaban itu maka yin menjadi yang dan dengan penciptaan yang menjadi yin. Inilah paradoks pengalaman Kristiani, di mana kita menjadi aktif pada waktu berdiam diri, dan bahkan bersukacita melalui penderitaan. Hal ini mirip seperti apa yang dikatakan Paulus “kita dianggap sebagai penipu, namun dipercaya, sebagai orang yang tidak dikenal namun terkenal, sebagai orang yang nyaris mati, dan sungguh kami hidup………” (2 kor. 6:8-10). Keilahian Kristus dengan kemanusiaan-Nya juga digambarkan seperti yin dan yang__Yesus tidak dapat ada tanpa keilahian-Nya ataupun keilahian-Nya tanpa kemanusiaan-Nya. Ia adalah Allah karena Ia manusia; Ia adalah manusia karena Ia Allah, di dalam Yesus sebagai Kristus, manusia dan Allah berada di dalam keselarasan.
Namun demikian, refleksi Kristologis dalam pemikiran Taoisme tetap menyimpan hal-hal yang tidak terjembatani. Dari begitu banyak prinsip dasar dari Taoisme, tidak semuanya memiliki konsep yang mirip dengan Kristologi, misalnya Wu-wei. Wu-wei yang berarti jangan mencampuri alam karena alam mempunyai alurnya sendiri. Hal ini berbeda dengan Yesus sebagai jalan, sebagai yang bertindak (yang). Artinya Yesus mengintervansi alam, ikut campur dalam sejarah dan bahkan menyelamatkan manusia. Hal lain yang tidak terjembatani  dalam refleksi Kristologis dalam pemikiran Taoisme adalah masalah Trinitas. Penggambaran ying dan yang yang saling berpaut tetapi berlainan hanya disinggung mengenai Yesus dan dunia, Yesus dan Manusia, Yesus dan keilahian-Nya, sementara tentang Bapa dan Roh Kudus tidak begitu dikulik. Padahal Kristologi tidak bisa dipisahkan dari Bapa dan Roh Kudus. Ying dan yang akhirnya sangat terbatas juga dalam mendeskripsikan mengenai Kristologi secara komprehensif. Namun, penggambaran Kristologi melalui Taoisme berhasil menyumbangkan pemikiran yang sangat berharga dan sangat memperkaya pemahaman-pemahaman Kristologi selama ini, dan tentunya sangat membantu orang-orang Asia terkhususnya orang-orang Tionghoa untuk memahami Kristologi melalui Taoisme. 
Bagaimana mengenai Kristologi dalam pandangan Islam? menjelaskan tentang Yesus dari pandangan  Islam tentu merupakan hal yang menarik, bahkan pembicaraan ini merupakan tema yang sangat fenomenal, pembicaraan yang “mudah-mudah sulit” karena dalam pandangan Islam sendiri sudah memiliki konsep tentang Yesus. Secara pribadi, ketika membicarakan Yesus dari kaca mata Islam, saya setuju dengan Alexander J. Malik yang mengatakan__bahwa kita mesti memerhatikan dua hal. Pertama, kita perlu menyadari mengenai kesulitan-kesulitan konteks Islam di dalam mengakui Kristus, bagian kedua, meneliti pedoman-pedoman yang berlainan dalam rangka dapat mengakui Kristus di dalam suatu konteks Islam. Pemahaman ini tentu menjadi awal yang baik ketika kita ingin berbicara tentang Yesus kepada mereka, sehingga kita dengan mereka berangkat dari titik yang “sama” ketika membicarakan tentang Yesus. Tentu banyak kemiripan yang bisa ditemukan, namun tetap saja perbedaan yang tidak terjembatani pun tidak bisa dihindarkan. Karena berbicara tentang Yesus melalui perspektif Kekristenan mencakup “keseluruhan” tentang Yesus, baik bingkai iman maupun historis. Hal ini tentu berbeda dengan Yesus yang dipahami dari prespektif Islam. Dengan kata lain, berdasarkan bingkai iman, Kekristenan memandang Yesus sejak zaman Perjanjian lama dan Baru dan zaman-zaman yang akan datang, sedangkan dalam bingkai historis dimulai dari zaman perjanjian baru, paling tidak di zaman Yesus berkarya pada abad pertama masehi, sedangkan Islam muncul pada abad ketujuh masehi. Hal ini tentu menimbulkan jarak yang cukup panjang antara masa Yesus secara historis dengan masa-masa munculnya Islam, belum lagi pandangan dalam bingkai iman, sehingga “jarak” tersebut menimbulkan kesenjangan yang sangat rumit. 
Pembicaraan Kristologis bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana yang gampang diterima dan dimengerti. Mungkin terlebih dahulu bisa dimulai dengan membicarakan kemiripan-kemiripan yang ada mengenai Yesus, sebutan kepadanya yang terdapat dalam Alquran, misalnya Ibni Maryam (anak Maria); Almasih (sang Mesias); Abid (hamba), Nabi dan Rasul; Kalimatullah (firman Allah; dan Ruh Kalimatullah (Roh Allah). Selain itu, kita juga mesti menghindari gagasan-gagasan atau ungkapan yang menyinggung umat Islam, misalnya; Anak Allah, Ketuhanan Kristus, kematian dan kebangkitan Kristus di kayu salib, dan sebagainya. Penekanan pembicaraan tentang Allah akan sangat membantu, karena bagi orang Kristen dan orang Islam hanya ada satu Allah saja (Ulangan 6:4). Pemikiran penting Islam mengenai Keesaan Allah “Tauhid” bisa menjadi pintu masuk yang sangat baik dalam pembicaraan mengenai Yesus. Dengan demikian ketika bersyahadat Kristus itu ilahi__tidak mengakui suatu Allah lain di samping Allah, berarti tidak melakukan dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan ilah-ilah lain). Dengan kata lain, bahwa memperlihatkan bahwa Yesus ilahi, dalam arti bahwa ia merupakan penyataan dari Allah, kalam Allah. Hal ini tentu memiliki akar yang kuat dalam Alkitab dan tradisi. Dalam Ibrani 1: 1-3 dikatakan bahwa, Yesus adalah penyataan sempurna dari Allah, bahwa Allah berbicara lewat perantaraan anak-Nya, oleh Dia Allah menjadikan segala sesuatu, Ia adalah gambar cahaya kemuliaan Alla dan gambar wujud Allah, Ia duduk di sebelah kanan Allah Bapa, dsb. Sementara dalam Yoh. 1:1-2 dikatakan bahwa Yesus Kristus ‘bagian dalam” dari Allah yang telah mengambil wujud insani__sebagai Allah yang menjelma, dan dengan demikian Ia ilahi. 
Pokok penting yang lain yang bisa dipakai sebagai pintu masuk adalah berangkat dari salah satu pemikiran penting dalam Islam mengenai “Keakraban Allah” (Allahu Akbar). Kebesaran Allah dinyatakan dalam penciptaan manusia sebagai “gambar Allah”. Oleh karena itu seorang Muslim memandang bahwa dalam diri manusia ada percikan ilahi yang mendorong manusia untuk bersekutu dengan Allah yang dijaga dengan menjalankan syariat. Di dalam Alquran Yesus (ciptaan kedua/baru) dibandingkan dengan Adam (ciptaan lama), sehingga di sini terlihat bahwa konsep Allahu Akbar juga terdapat dalam Kristus sebagai yang menjembatani. Bahwa kelahiran baru terjadi di dalam diri manusia melalui iman kepada Kristus, Allah telah mengaruniakan ciptaan kedua/baru di dalam diri Yesus. Adam lama menurut Alquran adalah seorang nabi: Adam kedua (Yesus Kristus) adalah juga seorang nabi, Roh yang keluar dari Allah, Sang Firman, ciptaan baru, sehingga manusia mampu menegakkan syariat. Dewasa ini dunia Islam begitu semangat menjalankan syariat sehingga betul-betul mengena dengan Kristologi. Kemiripan ini juga terdapat dalam tradisi gereja, pengakuan Allahku Akbar dan syariat yang mengakui dan menyaksikan Yesus Kristus, Tuhan, Allah dan Penyelamat. Pengakuan tersebut terus diungkapkan dalam tradisi gereja; pemberitaan gereja (Kerygma), persekutuan (Koinonia), kesaksian (Martyria), dan pelayanan (Diakonia).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Sejarah Natal yang Menyejarah

Iman dan Rasionalitas