Education For Spirituality Dehydration
Pendahuluan
Pertanyaan yang
sangat wajar dialamatkan kepada setiap orang percaya adalah: apakah dengan
setiap kegiatan-kegiatan maupun pelayanan yang dilakukan baik di gereja maupun
di luar gereja mampu mendongkrak pertumbuhan iman mereka ataupun hanya berakhir
menjadi sebuah rutinitas? Di mana kegiatan-kegiatan yang harusnya membawa
berkat, memperluas pengalaman akan Allah, memperteguh iman, malah hanya menjadi
sebuah kegiatan aktualisasi diri yang meletihkan, membosankan, bahkan membuat
kerohanian seakan menjadi kering.[1] Korelasi
dari hal tersebut juga tidak luput diungkapkan oleh Susanne Johnson, menurutnya,
pada saat ini orang-orang sebenarnya haus akan Tuhan, sehingga ia kemudian menawarkan
untuk memanfaatkan “apa yang sudah ada,” warisan dari tradisi spiritual yang
sudah terlupakan gereja, yang sebenarnya memiliki dasar biblis yang sangat
kuat,[2] yakni
melalui pendekatan spiritualitas.
Pendekatan
spiritual adalah salah satu dari empat model pendidikan Kristiani Jack L.
Seymour yang akan dibahas dalam paper ini, selain model transformasi, komunitas
iman, dan pengajaran agama,[3] yang
menghantarkan jemaat untuk menemukan dan mengalami Allah. Sebelum pembahasan lebih lanjut, maka penting untuk melihat terlebih
dahulu situasi kehidupan spiritualitas umat dalam menggereja belakangan ini
secara umum. Di mana berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis, mengalami
kemerosotan, kemudian akan menelisik definisi spiritualitas dan spiritualitas
Alkitabiah, sehingga apa itu pendidikan spiritualitas dan apa pentingnya dalam
kehidupan komunitas orang percaya dapat teruraikan dengan baik.
Model-Model
Pendidikan Kristiani
Istilah pendidikan Kristiani tidak lah melulu
dikaitkan dengan hal-hal yang berkonotasi pelajaran di sekolah, namun
pendidikan iman Kristen secara luas, baik dalam lingkup formal maupun non
formal yang berkaitan dengan kehidupan keseharian umat yang terus berubah.[4] Jack
L. Seymour dalam bukunya “Maping
Christian Education: Approach to Congregetional Learneing” membagi
pendekatan pendidikan Kristiani menjadi empat model utama. Pertama, model
transformasi sosial. Model ini menitikberatkan pada
langkah teknis, kemitraan yang berefleksi dan beraksi, serta bertanggung jawab,
sehingga terjadi proses transformasi.[5] Kedua adalah model pendekatan komunitas iman. Model ini berfokus pada
keautentikan orang-orang dalam sebuah komunitas, pembentukan kelompok-kelompok
kecil, dalam pelayanan, refleksi, dan tindakan.[6] Ketiga adalah pendidikan spiritual, model pendekatan spiritual ini yang
secara khusus akan disorot dalam paper ini. Sebuah pendekatan yang fokus pada
kehidupan batiniah seseorang.[7] Keempat
adalah model pengajaran agama. Model yang menekankan pengajaran Alkitabiah yang
kontekstual dan menghubungkan iman dengan kehidupan.[8]
Pengalaman Terlibat
Dalam Aktivitas Spiritualitas di Gereja
Selama melayani
kurang lebih sepuluh tahun di gereja, hampir semua bagian pelayanan
pernah penulis kecap. Namun, sering kali dengan padatnya kegiatan-kegiatan
gerejawi tersebut, kebosanan dan keletihan pun tidak bisa dihindari, kegiatan
yang seharusnya membuahkan kesegaran spiritual, malah yang terjadi sebaliknya. Kekeringan
spiritualitas pun terjadi. Ketika kegiatan agama terlepas dari religiusitas,
maka kegiatan agama tersebut akan kehilangan semangat dan mati karena
ketiadaaan jiwanya.[9]
Kehidupan seseorang akan terasa gersang dan tandus karena tiadanya perjumpaan
dengan Sang Ilahi dalam segala kegiatan yang ada. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu kehidupan yang berfokus pada praksis yang spiritual dan tidak hanya
menekankan pada dimensi kognisi. Diperlukan kehidupan spiritualitas yang
membawa seseorang untuk melakukan proses internalisasi dalam peziarahan
hidupnya, mengalami keheningan batin, hidup yang berpadanan dengan iman, utuh,
kini, dan di sini, menuju perjumpaan dengan Sang Realitas Tak Terbatas.[10]
Gereja
di Indonesia yang terdiri dari keberagaman mestinya bisa menerima secara
terbuka berbagai jalan spiritualitas yang ada, tentunya yang bisa dipertanggungjawabkan
secara Alkitabiah yakni berdasarkan prinsip-prinsip Firman Allah. Namun, jalan
spiritualitas yang seringkali dipraktikkan di gereja-gereja adalah “itu-itu
saja”, di mana usaha untuk menumbuhkembangkan spiritualitas komunitas iman
sangatlah terbatas. Hal ini terlihat dalam warta gereja tiap minggunya__selain
jadwal kebaktian umum dan kategorial, biasanya hanya terdapat jadwal
persekutuan doa di tengah minggu, yang mana kebanyakan juga dilakukan dengan
cara-cara konvensional seperti kebaktian umum biasa. Tentu, hal ini sangat
disayangkan, padahal masih banyak kegiatan-kegiatan maupun latihan-latihan
spiritual yang masih bisa ditawarkan untuk menjawab tantangan gereja di zaman
yang penuh persaingan, kekerasan, penderitaan ini, sehingga manusia sangat
rindu untuk mencari dan mengalami Allah.
Spiritualitas
Secara
etimologis, spiritualitas (bhs. Ibrani: ruach,
Yunani: pneuma, latin: spiritus) berarti angin, nafas, roh,
atau semangat.[11]
Respon seseorang terhadap panggilan Roh Allah melalui totalitas diri dalam
hubungannya dengan sesama dan dunia dalam situasi yang konkrit yang diinspirasi,
berdasarkan pimpinan dan berpusat pada Roh Allah. Sehingga manusia ikut serta
dalam karya Allah untuk menyebarkan kebaikan, keselamatan, dan kesejahteraan-Nya
di dunia.[12]
Spiritualitas merupakan titik perjumpaan dengan yang ilahi, merupakan bahasa
universal yang melampaui dogma-dogma agama, mengatasi identitas-identitas dan
klaim-klaim kebenaran yang tertutup,[13]
sehingga melalui jalan spiritualitas, kedamaian pun tergapai, tidak hanya
kedamaian dalam diri, namun juga kedamaian dengan “yang lain”.
Berdasarkan
pengertian spiritualitas seperti yang telah dijelaskan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa, tubuh pun merupakan bagian penting dalam spiritualitas. Collen
M. Griffith dalam “Spirituality and the
Body” mengatakan bahwa, tubuh adalah salah satu lokasi spritualitas manusia
yang mencerminkan spektrum yang begitu besar.[14] Oleh
karena itu, dalam latihan-latihan spiritualitas penting sekali merasakan diri
dari dalam, menghadirkan tubuh, memerhatikan, menerjemahkannya dengan bermakna,
dan secara kreatif menghidupinya. Merasakan kehadiran Allah melalui seluruh
keutuhan diri, baik jiwa maupun tubuh, mengakui aktivitas kreatif dan
restorative-Nya yang berdenyut dalam diri kita secara konkret, membawa seluruh
keberadaan diri, tubuh, kerentanan, ketidaklengkapan kita, di situlah Allah
hadir.[15]
Spiritualitas
Alkitabiah
Bruce H. Lescher
dan Elizabeth Liebert SNJM dalam “The
Quest For Biblical Spirituality” karya John R. Donahue mengatakan bahwa__mengikuti
Perjanjian Lama, spiritualitas berarti spirit, kekuatan dan kehadiran dari
Allah yang hidup dan dalam Perjanjian Baru spiritualitas tersebut
termanifestasi melalui karya-Nya dalam Kristus, sehingga setiap orang Kristen harusnya
hidup dituntun oleh Roh Allah.[16] Tuntunan-tuntunan
untuk hidup dalam spiritualitas begitu banyak terdapat dalam teks-teks Alkitab
dan juga dalam perkataan-perkataan Paulus. Hal ini terlihat ketika Paulus
menasehati jemaat di Roma dan berkata “janganlah hendaknya kerajinanmu kendor,
biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.” (Roma 12:11), ia juga melanjutkan
kepada jemaat di Galatia dan berkata “jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah kita
juga dipimpin oleh Roh” (Gal. 5:25).[17] Di
sini terlihat jelas bahwa, spiritualitas Alkitabiah adalah spirituaitas yang
berpaut pada Roh Allah. Paulus tidak berbicara tentang roh dan daging, namun
keutuhan hidup seseorang yang terbuka akan karya Tuhan atas hidupnya, karya Roh
Kudus yang menuntun kepada relasi dengan Allah melalui Kristus dalam setiap
orang percaya.[18]
Sedangkan
menurut Guido Tisera dalam bukunya “Spiritualitas
Alkitabiah: Spritualitas Kontemplatif dan Keterlibatan”, spiritualitas
Alkitabiah adalah spiritualitas yang berdasarkan pengalaman, tuntunan-tuntunan
rohani yang tercantum dalam Alkitab sebagai ilham, pola, dan prinsip yang mencakup
segala kebajikan, misalnya pertobatan, hidup yang berdoa, cinta kasih, kerelaan
menderita bersama Kristus[19].
Spiritualitas ini berakar dalam kehidupan aktual dan sangat bervariasi sesuai
dengan pribadi yang mengahayatinya, cara hidup dan spiritualitas yang
menekankan nilai-nilai Alkitabiah,[20] lewat
pengalaman akan Allah (Yoh. 6:44-46), penyelidikan terhadap Alkitab (Luk.
4:16-20), lewat kesaksian Roh (Kis. 8: 26-35), dan lewat perubahan hidup (Mat.
7:28-32), dalam arti bahwa semua yang dipelajari akan sia-sia tanpa adanya
perubahan hidup, tanpa adanya buah-buah yang dihasilkan dari tindak-tanduk kita.[21]
Pendidikan
Kristiani Dengan Pendekatan Spiritualitas
Menurut Seymor,
pendidikan Kristiani dengan pendekatan spiritualitas adalah suatu pendekatan
yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan batiniah melalui keheningan,
mendengar, beristirahat, belajar, ibadah, yang tidak bisa terlepas dari sebuah
komunitas.[22]
Dalam suatu kesempatan ia kemudian mempraktikkan satu langkah praktis
pendekatan spiritual tersebut, yakni dengan cara menyisihkan waktu 20 menit
berdoa dalam sehari, bermeditasi, berkontemplasi ataupun berdiam dalam
keheningan, satu hari dalam seminggu; memilih satu hari istrahat, berpuasa
makan, tidak menggunakan kendaraan, dan menulis jurnal sedikitnya tiga kali
dalam seminggu.[23]
Masih
banyak contoh-contoh latihan-latihan pendekatan spiritualitas yang bisa
digunakan untuk meningkatkan kehidupan batin, seperti; lectio devina yakni membaca,
merenungkan, dan berdoa dari Kitab Suci,[24] berdoa
dengan tubuh (berdoa dengan wajah, tangan, mata, mulut, dsb), berdoa dengan
nafas,[25]
latihan Shadana (jalan menemukan Tuhan) sebuah model doa yang dikembangkan oleh
Anthony de Mello yang menekankan pada penyadaran diri melalui samadi,[26] dan
lain sebagainya, yang menolong umat menemukan dan mengalami Allah dalam segala
hal.
Menurut
Tabita Kartika Christiani, pendekatan spiritualitas memungkinkan terjadinya
proses inform, form, dan transform, mencakup head, heart dan hands secara
utuh,[27]di
mana melalui pendekatan spiritual terjadi proses yang berasal dari
informasi-informasi yang kemudian membentuk diri seseorang, mentransformasinya
menjadi agen perubahan yang dinyatakan lewat karya pelayanannya kepada dunia
secara total, utuh, luas dan menyeluruh dalam arti sesungguhnya. Christiani
(biasa dipanggil Bu. Tabita) sangat menekankan komunitas sebagai locus
pengembangan spiritualitas dalam pendidikan di Indonesia.[28]
Menurutnya,
bagaimana pun, pengembangan spiritualitas seseorang tidak bisa serta merta
terlepas dari komunitas ataupun persekutuan, karena meskipun nampaknya
terpisah, keduannya merupakan kesatuan dari tubuh Kristus.[29] Oleh
karena itu, ia menawarkan suatu model pendidikan Kristiani dari Thomas Groome
yakni Shared Christian Praxis (SCP).
Di mana melalui pendekatan tersebut umat mendengar suara Tuhan dan berkomitmen
untuk melakukannya, yang berasal dari dialog pengalaman umat dengan Alkitab,
sehingga Robert Kinist pun menggolongkannya ke dalam salah satu model
spiritualitas (a spiritual wisdom style
of theological reflection).[30] Ia
melanjutkan, bahwa SCP tersebut hanya bisa diterapkan di kalangan gereja,
sehingga harus dimodifikasi menjadi Berbagi Praksis Iman (BPI) jika ingin
diterapkan dalam dialog dan bekerjasama dengan agama lain, di mana setiap agama
menjadi dirinya sendiri dengan dialog yang mendalam, serta tetap menyumbangkan
refleksi dan aksi berdasarkan tinjauan dari berbagai agama.[31]
Penutup
Berdasarkan
pengamatan dan pengalaman penulis, seperti yang diceritakan di bagian-bagian
awal paper ini menunjukkan bahwa, pendekatan spiritualitas sangat
diperlukan, bahkan sangat genting untuk diterapkan dalam suatu kehidupan
komunitas iman maupun di dalam gereja. Kebosanan, keletihan, keengganan orang
untuk datang ke gereja menghadiri kebaktian/persekutuan tidak bisa dilepaskan
begitu saja dari kekeringan rohani yang mereka alami. Oleh karena itu,
kebutuhan akan berbagai pendidikan Kristiani dengan model pendekatan spiritual
adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi.
Melalui
pendidikan Kristiani dengan model pendekatan spiritual seperti yang telah
dijelaskan panjang lebar dalam paper ini, jemaat diarahkan dan dituntun untuk
mendengarkan suara Tuhan, menemukan dan mengalami Allah melalui ragam
latihan-latihan dan model spiritualitas yang dapat dipertanggunjawabkan secara
Alkitabiah. Tidak hanya personal, komunitas pun sangat berperan dalam
pendekatan-pendekatan spiritual ini, sehingga jemaat bisa merasakan nikmatnya
kehadiran Allah lewat pendekatan-pendekatan spiritualitas yang diterapkan, yang
kemudian menjadi daya transformasi umat, menjadi gaya hidup, merepresentasikan
cinta kasih Allah kepada sesama dan dunia dalam kepelbagaian konteks kehidupan
yang beragam.
[1]
David Cupples, Beriman dan Berilmu:
Spiritualitas Mahasiswa Teologi dan PAK, Ter. G.N. Jones, dkk., (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1994), p. 7
[2] Stanley
Tjahjadi, Pendidikan Spiritual: Suatu Pendekatan Baru bagi Pendidikan
Kristiani, Dalam Tim Penyusun Buku dan
Redaksi BPK Gunung Mulia (ed), “Memperlengkapi bagi Pelayanan dan Pertumbuhan”,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia dan STT Jakarta, 2002), p. 287
[3]
Jack L. Seymour, Memetakan Pendidikan
Kristiani: Pendekatan-Pendekatan Menuju Pembelajaran Jemaat, Ter. Eric von
Martin E. H, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), p. 18.
[4]
Tabita Kartika Christiani, Pendidikan
Kristiani dengan Pendekatan Spiritualitas, dalam Jozef M.N. Hehanussa dan
Bdyanto (editor). Mendesain Ulang Pendidikan Teologi. (Yogyakarta: Duta Wacana
University Press, 2012), p. 50, 56
[5] Jack L, Syemour., Memetakan
Pendidikan Kristiani: Pendekatan-Pendekatan Menuju Pembelajaran Jemaat,
Ter. Eric Von Martin E. Hutahaean, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016, p. 27-41
[6] Jack L, Syemour., Memetakan
Pendidikan Kristiani: Pendekatan-Pendekatan Menuju Pembelajaran Jemaat,
Ter. Eric Von Martin E. Hutahaean, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016, p. 65
[7] Jack L, Syemour., Memetakan
Pendidikan Kristiani: Pendekatan-Pendekatan Menuju Pembelajaran Jemaat,
Ter. Eric Von Martin E. Hutahaean, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016, p. 72
[8] Jack L, Syemour., Memetakan
Pendidikan Kristiani: Pendekatan-Pendekatan Menuju Pembelajaran Jemaat,
Ter. Eric Von Martin E. Hutahaean, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016, p. 93-102
[9]
Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama dan
Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p. 63
[10] Stefanus
Christian Haryono, Spiritualitas
Perdamaian: Spiritual Freedom, Dalam Alviani Permata (editor), “Memulihkan,
Merawat, dan Mengembangkan Roh Perdamaian”, Yogyakarta: PSPP UKDW, 2011, p. 81-82
[11] Stefanus
Christian Haryono, Spiritualitas
Perdamaian: Spiritual Freedom, Dalam Alviani Permata (editor), “Memulihkan,
Merawat, dan Mengembangkan Roh Perdamaian”, Yogyakarta: PSPP UKDW, 2011, p. 81
[12] Agus
M. Hardjana, Religiositas, Agama dan
Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p. 73
[13] Stefanus
Christian Haryono, Spiritualitas
Perdamaian: Spiritual Freedom, Dalam Alviani Permata (editor), “Memulihkan,
Merawat, dan Mengembangkan Roh Perdamaian”, Yogyakarta: PSPP UKDW, 2011, p.
81-82
[14]
Colleen M. Griffith, Spirituality and the
Body, In Morrill, Bruce (ed.).” Bodies of Worship: Exploration in Theory
and Practice”, (Liturgical Press, 1999), p. 81
[15] Colleen
M. Griffith, Spirituality and the Body,
In Morrill, Bruce (ed.).” Bodies of Worship: Exploration in Theory and
Practice”, (Liturgical Press, 1999), p. 82
[16] Bruce
H. Lescher dan Elizabeth Liebert. SNJM, Exploring
Christian Spirituality: Essays in Honor of Sandra M. Schneiders, (New
Jersey: Paulist Press, 2006), p. 74
[17] Bruce
H. Lescher dan Elizabeth Liebert. SNJM, Exploring
Christian Spirituality: Essays in Honor of Sandra M. Schneiders, (New
Jersey: Paulist Press, 2006), p. 74
[18] Bruce
H. Lescher dan Elizabeth Liebert. SNJM, Exploring Christian Spirituality:
Essays in Honor of Sandra M. Schneiders, (New Jersey: Paulist Press, 2006), p.
75
[19] Guido
Tisera, Spiritualitas Alkitabiah:
Spritualitas Kontemplatif dan Keterlibatan, (Malang: Dioma, 2004), p. 1-2
[20]
Guido Tisera, Spiritualitas Alkitabiah:
Spritualitas Kontemplatif dan Keterlibatan, (Malang: Dioma, 2004), p. 3-4
[21]
Guido Tisera, Spiritualitas Alkitabiah:
Spritualitas Kontemplatif dan Keterlibatan, (Malang: Dioma, 2004), p. 7-31
[22] Jack
L, Syemour., Memetakan Pendidikan Kristiani: Pendekatan-Pendekatan Menuju
Pembelajaran Jemaat, Ter. Eric Von Martin E. Hutahaean, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2016, p. 72-78
[23] Jack
L, Syemour., Memetakan Pendidikan Kristiani: Pendekatan-Pendekatan Menuju
Pembelajaran Jemaat, Ter. Eric Von Martin E. Hutahaean, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2016, p. 73
[24]
Pareira O. Carm, Lectio Devina: Membaca
dan Berdoa dari Kitab Suci, (Malang: Dioma, 1992), p. 8-9
[25]
Alex Dirdja, Doa Sensual,
(Yogyakarta: Kanisius, 2011), p. 17-29
[26] Anthony
de Mello, Shadana: Jalan Menemukan Tuhan,
Ter. Soenarjo, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), p. 5-11
[27] Tabita
Kartika Christiani, Pendidikan Kristiani
dengan Pendekatan Spiritualitas, dalam Jozef M.N. Hehanussa dan Bdyanto
(editor). Mendesain Ulang Pendidikan Teologi. (Yogyakarta: Duta Wacana
University Press, 2012), p. 50, 56
[28] Tabita
Kartika Christiani, Pendidikan Kristiani
dengan Pendekatan Spiritualitas, dalam Jozef M.N. Hehanussa dan Bdyanto
(editor). Mendesain Ulang Pendidikan Teologi. (Yogyakarta: Duta Wacana University
Press, 2012), p. 57
[29] Tabita
Kartika Christiani, Pendidikan Kristiani
dengan Pendekatan Spiritualitas, dalam Jozef M.N. Hehanussa dan Bdyanto
(editor). Mendesain Ulang Pendidikan Teologi. (Yogyakarta: Duta Wacana University
Press, 2012), p. 57
[30] Tabita
Kartika Christiani, Pendidikan Kristiani
dengan Pendekatan Spiritualitas, dalam Jozef M.N. Hehanussa dan Bdyanto
(editor). Mendesain Ulang Pendidikan Teologi. (Yogyakarta: Duta Wacana University
Press, 2012), p. 59
[31] Tabita
Kartika Christiani, Pendidikan Kristiani
dengan Pendekatan Spiritualitas, dalam Jozef M.N. Hehanussa dan Bdyanto
(editor). Mendesain Ulang Pendidikan Teologi. (Yogyakarta: Duta Wacana University
Press, 2012), p. 60
Komentar
Posting Komentar