Berdamai Dengan Sesama


Perdamaian bukan sekedar aktifitas belaka, bukan juga hanya sebagai suatu situasi/kondisi absennya konflik, namun suatu sikap proaktif untuk menyelesaikan kendala-kendala yang menghambat terwujudnya perdamaian. Oleh karena itu, dalam mengusahakannya diperlukan pendekatan yang melampaui dimensi analisis dan metodologi__ pendekatan internal process__sikap batin yakni pendekatan dimensi spiritual. Seseorang mestilah berdamai terlebih dahulu dengan dirinya sendiri, baru kemudian dapat berdamai dengan Allah, alam maupun sesama. Spiritualitas merupakan titik perjumpaan dengan Yang Ilahi, karena spiritualitas adalah bahasa universal yang melampaui ajaran dogmatis agama-agama, merangkul semua orang, sebagai Gong Perdamaian yang mengatasi identitas-identitas dan klaim-klaim kebenaran yang tertutup.

Allah merupakan sumber damai (שָׁלֹום Syaloom) yang menghendaki kita untuk melaksanakannya bagi seluruh ciptaanNya, bagi sesama dan bahkan musuh kita. Hal ini juga seturut dengan Mazmur 34: 14-15, yang mengajak kita untuk menyuarakan kebaikan, berkata benar, mencari perdamaian dengan sesama dan berusaha mendapatkannya. Untuk berdamai, maka perlu melakukan latihan-latihan spiritualitas yang membawanya untuk menghayati imannya secara utuh dan relevan, melakukan proses internalisasi dalam diri melalui keheningan, penulisan jurnal, dan sahabat rohani. Berikut adalah langkah-langkah spiritualitas perdamaian__berdamai dengan sesama melalui Journaling: menjelajah ke dalam diri yang melibatkan pikiran dan perasaan melalui proses refleksi dan dialog. Di mana Journaling akan memberikan pengalaman, pemaknaan hidup, campur tangan Tuhan, self discovery dan mewujudkan diri (self actualization):  

  A.  Mempersiapkan Diri
§  Latihan penyadaran diri, di mana salah satu caranya bisa dilakukan dengan Shadana, sehingga peserta benar-benar berada dan hadir, menikmati moment saat ini bersama Tuhan
§  Hening: Berdamai Dengan Diri Sendiri. Menjadi pribadi yang utuh, telah melalui tahap-tahap pengampunan, “selesai” dengan penerimaan rasa sakit, rasa bersalah, “korban”, “marah”, luka tidak lagi menentukan masa depan, sehingga dapat mengampuni dengan tulus.
§  Mengambil sikap berdoa, memohon pimpinan dan tuntunan Roh Kudus
  B. Rekam Jejak  (mengambil buku dan alat tulis yang terlebih dahulu telah disediakan dan kemudian  melakukan journaling langkah-demi langkah latihan spiritual tersebut)
§  Menuliskan pengalaman-pengalaman kepahitan; entah sebagai korban kekerasan, trauma pada kasus tertentu (bisa diri sendiri maupun orang lain)
§  Menuliskan hal-hal yang menyakitkan, yang “belum selesai” dalam diri berkenaan dengan relasi, ataupun ketika berintraksi dengan orang lain, bahkan ketika tidak ada kedamaian dengan orang-orang terdekat maupun keluarga
  C.  Menjelajah ke dalam diri
§  Berdialog dengan dengan diri, bisa dengan mengajukan pertanyaan maupun dengan afirmasi. Misalnya siapakah saya? Mengapa saya susah sekali untuk berdamai dengan orang lain, mengapa saya memikirkan semuanya itu? Jika saya adalah anak-anak terang, berarti pasti saya bisa berdamai, karena anak terang berbuahkan kedamaian (Efesus 5: 8-9). Tidak lagi dikuasai kegelapan, menjadi pembawa damai kapan pun di saat seperti apa pun.
§  Menjelajah dan mengidentifikasi diri. Melihat ke dalam diri sumber-sumber ketidakdamaian itu. Apakah indikasi-indikasi yang menyebabkan tidak bisa berdamai dengan orang lain itu adalah faktor dari dalam diri saya atau dari luar. Jika dari dalam diri, apakah itu ciri-ciri ego, keakuan, kesombongan, tinggi hati, gagal paham saya, pembenaran diri, dan sebagainya. Jika ya-maka harus diselesaikan dari dalam, karena bisa merongrong diri, yang berakibat kepada kejahatan. Padahal jelas Mazmur 34: 14-15 berkata “Jagalah lidahmu  terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu, jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya!”. Ini berarti harus ada kejujuran pada diri sendiri dan juga kepada orang lain, dan sikap yang selalu berusaha memperjuangkan kedamaian itu yang dimulai dari diri sendiri kepada sesama.
  D.  Menemukan penghalang-penghalang
§  Olah pikir dan perasaan. Kembali bertanya kepada diri sendiri, apakah perasaan saya yang moody menyeret saya, sehingga saya tidak dapat berdamai dengan orang lain, lalu bagaimana dengan hati nurani? Apa kata hati nurani saya tentang itu. Lalu apakah pikiran (pengetahuan, doktrin dsb) yang harusnya menjadi penolong, malahan menghalangi saya untuk berdamai dengan sesama? Tuliskan lah semua itu, goreskan dengan jujur apa yang dipikirkan dan dirasakan.
  E. Menjelajah keluar
§  Melihat pelaku ataupun sesama sebagai manusia yang utuh, bukan karena kejahatannya, bukan juga karena dia, tapi caranya. Tuliskanlah, apakah berkorelasi dengan Firman Tuhan, misalnya “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5:44), kita berdoa kepadanya sehingga secara perlahan akan mengikis kebencian dari dalam diri.
§  Mencoba melihat permasalahan dari sudut yang berbeda, bahkan dari sudut sesama tersebut. Apakah perbuatan (hal-hal yang membuat kita tidak bisa berdamai itu dilakukan dengan sengaja ataupun tidak?), cobalah menjembatani, bukan menyerang sebagai bentuk defensif.
  F. Padang rumput yang segar
§  Baca ulanglah semua apa yang telah ditulis, lihatlah bagaimana kita telah melalui semua itu, lihatlah campur tangan yang menuntun, dan membimbing, menyediakan padang rumput yang segar (Mazmur 23:2)
§  Tuliskanlah juga berkat-berkat Tuhan dalam hidupmu, sadarilah itu, karena ternyata begitu banyak berkat-Nya yang dicurahkan kepadamu, bersyukurlah.
§  Semua yang telah di-journaling tersebut, ditutup dengan penulisan komitmen dan doa, memohon tuntunan dan kekuatan dari Roh Kudus.


[1] Paulus Sugeng Wijaya. 2004. “Menuju Masyarakat Damai,” Paper Sarasehan Lustrum IV GKJ Condong Catur, Yogjakarta.
[2] Stefanus Christian Haryono. 2011. “Spiritualitas Perdamaian: Spiritual Freedom.” Dalam Alviani Permata (editor), Memulihkan, Merawat, dan Mengembangkan Roh Perdamaian. Yogyakarta: PSPP UKDW. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Sejarah Natal yang Menyejarah

Teologi Bencana