Spirituality and The Body


Membicarakan tentang tubuh bisa saja tidak nyaman bagi sebagian orang, apalagi berkenaan dengan peribadatan, di mana peribadatan biasa disematkan kepada yang komunal, bukan individual. Refleksi jasmaniah memang tidak ada dalam sejarah tradisi teologi Kristen, padahal kita mestinya jujur tentang refleksi tersebut, di mana menerima tubuh manusia dan semua keunikannya, keterbatasannya, serta menunjukkannya untuk mengenal kehidupan kita yang melaluinya kita diciptakan dan dipelihara, dan terhubung kembali ke dunia di mana kita memang merupakan bagiannya. Paradigma orang sering kali berbeda mengenai tubuh, namun bagaimana pun tubuh sangatlah berharga. Ia adalah karakter yang unik, jelas tetapi sulit dipahami, tidak terikat oleh fisika mekanistik maupun metafisika, ia mempunyai ritmenya sendiri.
            Keberadaan tubuh jelas tidak dapat dihindari, bagaimana kita memandangnya, juga mempengaruhi pilihan-pilihan ketika kita menjalani kehidupan ini; gaya hidup, relasi dengan Allah, relasi dengan sesama, dsb. Namun, sering kali masalah ini diremehkan dalam praktik keagamaan, padahal tubuh merupakan salah satu tempat di mana hasrat/karya Tuhan nampak dengan jelas, “pertukaran relasional manusia, dunia, dan Tuhan”, tempat dari lokasi dari spritualitas manusia. Memang keadaan tubuh selalu berubah, ada tantangan-tantangan jasmani yang tidak dapat diromantisasi, sehingga tubuh sebagai lokasi spritualitas manusia masih menuai perbincangan.
            Sejarah Kekristenan Barat memandang hubungan tubuh dan jiwa secara hierarki dan sangat kompleks, bahkan cendrung dualistis. Tubuh dipandang lebih inferior dibanding jiwa, dan jiwalah yang menguasai tubuh. Sudut pandang yang seperti itu, menyebabkan penilaian terhadap tubuh manusia bermasalah, bahkan dampaknya masih dapat dijumpai hingga saat ini: dalam praktik-praktik Kekristenan masih ada yang mengabaikan tubuh, di mana spritualitas dipandang melampaui fisik.
            Descartes, seorang filsuf Kristen pada abad ke-17 juga menegaskan pandangan dualismenya, namun di sini ia memandang jiwa sebagai pikiran. Ia berpendapat bahwa jiwa/pikiran melampaui tubuh, bahkan bisa ada tanpa tubuh. Dualisme tersebut tetap hidup dalam budaya kita hingga saat ini, di mana kita terus mendidik pikiran kita, sementara mengabaikan keberadaan tubuh, ironisnya sebagian besar lagi berlabelkan konsumerisme. Pemahaman tubuh yang demikian tidak lah cukup kredibel atau substansial sebagai titik tolak tubuh sebagai lokasi spritualitas. Pada umumnya banyak orang mengidentikkan tubuh sebagai kedagingan, padahal jelas, Alkitab sendiri juga kadang membedakan kedua hal tersebut (Bdk. Yohanes 1:14, Terjemahan Sarx ‘Yunani’ diterjemahkan harusnya menjadi flesh ‘daging’, namun LAI menerjemahkan menjadi manusia). Oleh karena itu, perlu memikirkan kembali, bahwa tubuh dengan pengertian yang lebih luas dan komprehensif.
            Ketika kita mengklaim bahwa tubuh adalah lokasi spiritual kita, di situlah erat kaitannya berkenaan dengan sebuah peribadatan. Di mana tubuh dipandang sebagai; pertama, organisme vital, yang menunjuk pada aspek psikologis dari tubuh yang bertindak sesuai kondisi tertentu sebagai refresentasi dari dirinya sendiri. Bagian esensial dari tubuh ini; sebagai bagian utama fisik, yang hadir, organisme yang lengkap, yang bergantung pada pertukaran dialektis terhadap dunia yang sedang berlangsung; relasional, dan seimbang. Tubuh benar-benar diciptakan dengan luar biasa (Mazmur 139: 14).
            Kedua, sebagai situs sosial-budaya yang memberikan pengaruh formatif dan transformatif. Tubuh menyerap konteks sosial dan budaya, tubuh juga diperhadapkan dengan, “isme-isme” yang menggiurkan, seperti konsumerisme, teknosentrisme, dsb. Tubuh dapat menolak investasi yang jelek yang membentuknya, dan memilih membentuk dengan cara menghargai dan peduli terhadap diri sendiri dan orang lain. Ketiga, tubuh sebagai produk kehendak dan kesadaran, di mana aspek-aspek yang terkait dengan tubuh; apa yang dipikirkan, direnungkan, konsep-konsep dipadukan secara keseluruhan. Oleh karena itu penting sekali merasakan diri dari dalam, menghadirkan tubuh, memerhatikan, menerjemahkannya dengan bermakana, dan secara kreatif menghidupinya. Peka secara seimbang atau sering disebut dengan proprioception.
            Dengan demikian, pemahaman tubuh sebagai lokasi spritualitas mencerminkan spektrum yang besar yang memungkinkan kita untuk memahami betapa luas dan dalamnya keberadaan tubuh manusia sebagai lokasi spritualitas, bukan sebagai individu yang terisolasi, melainkan sebagai yang berelasi, sebagai komunitas iman dalam sebuah praktik peribadatan . Don Saliers menggambarkannya sebagai seni umum umat Allah, di mana komunitas membawa kekedalaman emosi yang bersemayam dalam jasmani. Sehingga dengan keberadaan kita sepenuhnya sajalah kita dapat benar-benar berpartisipasi dalam sebuah liturgi. Di mana perasaan, tubuh, ketakutan, harapan, dsb terintegrasi, sehingga kita berpartisipasi dengan sadar dan aktif dalam liturgi tersebut, yang diwujudkan melalui, dan melalui. Hal Ini juga berarti memuliakan Allah secara komunal dengan segala keterbutuhan dan keterbatasan. Mengakui aktivitas kreatif dan restoratif Allah yang berdenyut dalam apa yang bersifat daging, material, dan konkret, dengan membawa seluruh keberadaan kita, tubuh, kerentanan, ketidaklengkapan kita, di situlah Allah hadir melalui sebuah liturgy peribadatan.

Belajar Berdoa Dengan Tubuh (Indra)
Yesus memiliki indra yang jernih dan sensitif, sensual. Ia menggunakan indra-Nya, dan juga indra orang-orang di sekitarnya. Hal itu dapat dijumpai dalam banyak catatan Injil, misalnya ungkapan “kamu adalah garam dunia (Matius 5:13), pandanglah burung-burung di langit (Matius 6:26), dsb. Di sini, Yesus hendak menunjukkan, bahwa dengan indra penglihatan kita bisa melihat ada begitu banyak penyelenggaraan Allah dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, penting sekali melibatkan indra (indra tubuh dan indra batin) dalam berdoa, sehingga doa-doa kita rasanya tidak menjadi hambar. Kita perlu menyadari, bahwa panca indra adalah pintu masuk ke dalam hati, oleh karena itu gunakanlah panca indra tersebut untuk berdoa yang terhubung erat dengan hati, karena hatilah yang sunggguh-sungguh berdoa. Kita perlu terus menyadari bahwa berdoa adalah komunikasi, oleh karena itu pastilah di sana tidak ada satu cara saja untuk melakukannya, dan juga tidak melulu tentang menyampaikan perasaan kita, bagaimana tentang perasaan Allah? Bagaimana jika Allah saja yang berbicara kepada kita dan kita hanya mendengar?
Sering kali kita berdoa tanpa kata, namun menggunakan isyiarat, apalagi ketika kepala kita sedang pusing, ataupun ketika hati sedang kesal, oleh karena itu berdoalah dengan tubuh. Di mana kita bisa berdoa dengan doa wajah, mengungkapkan doa dengan menengadah dengan wajah, menyadari sikap dan arah wajah kita. Berdoa dengan gerakan tangan, mengungkapkan doa dengan gerakan tangan yang disertai dengan perasaan dengan lembut. Kita juga bisa berdoa dengan mata, dengan memadamkan semua lilin, ambillah sikap tenang. Berbicara dan fokuslah hanya kepada terang itu, kemudian padamkanlah lilin tersebut. Berdoa dengan mulut, misalnya doa lisan harian, seperti doa bapa kami, dan doa dengan mantra seperti om Yesu Khrista, adoramus domine, dsb).
            Berbeda dengan doa yang menggunakan wajah, tangan, dan mata, berdoa dengan dengan nafas memfokuskan diri pada pernafasan. Perhatikan lah dengan seksama nafas kita; ketika menghirup dan mengeluarkan udara, perhatikan perbedaan suhunya, lobang hidung yang kiri dan kanan. Anggaplah anda mengeluarkan semua yang kotor ketika mengeluarkan nafas dari dalam diri kita, dan kemudian menghirup kehidupan yang baru ketika menarik nafas ke dalam. Penuhilah paru-paru kita dengan nafas yang baru, membayangkan udara tersebut seluruhnya adalah manifestasi kehadiran Tuhan yang memberi kekuatan. Berikut contoh melakukan beberapa cara berdoa dengan tubuh. Penting sekali kita lakukan penyadaran keberadaan diri terlebih dahulu, karena pada kenyataanya, banyak orang berada di suatu tempat, tapi mereka tidak benar-benar hadir di situ.

Berdoa dengan Wajah
Pejamkan mata anda, tenangkan diri anda……
Angkatlah wajah anda dengan lembut, menengadah kepada Tuhan
Apa yang hendak anda ungkapkan, ungkapkanlah dengan menengadahkan muka
Pertahankanlah komunikasi itu dengan perasaan yang mendalam beberapa detik
Lalu sadarilah sepenuhnya sikap dan arah wajah anda….
Perasaan apa yang timbul di wajah?
Ulangilah sikap tersebut dengan tetap menengadah seperti sikap mempersembahkan sesuatu; serius namun rileks, bertahanlah dalam sikap itu

Berdoa dengan Tangan
Berdirilah dengan tangan lepas terkapai di samping badan
Sadarilah bahwa anda berdiri di hadapan Tuhan
Sekarang cobalah untuk mengungkapkan kepada Dia dengan gerakan tangan dan badan disertai dengan perasaan, “Tuhan aku hendak mempersembahkan diriku kepada-Mu”
Lakukan gerakan tersebut dengan lembut, seperti kelopak bunga yang mekar; penuh kesadaran dalam setiap gerakan
Angkatlah kedua tangan anda, lambat dan lembut, hingga terentang di depan anda
Lengan lurus mendatar: sejajar dengan lantai
Sekarang, dengan halus, arahkanlah telapak tangan anda hingga menengadah; jari-jari melekat dan menengadah bersama-sama
Kini angkatlah kepala anda perlahan-lahan hingga wajah menengadah ke langit
Bila mata masih terpejam, bukalah secara perlahan
Menengadah kepada Tuhan
Pertahankanlah sikap ini satu hingga dua menit…
Kemudian turunkanlah tangan dengan pelan sampai pada sikap semula (terkapai)
Lalu tundukkanlah kepala anda
Berhentilah sebentar untuk meresapkan doa yang baru saja anda panjatkan, tanpa kata…
Lakukan proses di atas sekali lagi, atau secukupnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Sejarah Natal yang Menyejarah

Teologi Bencana