Mengungkapkan Perasaan


Setiap manusia tentu tidak terlepas dari perasaan-perasaan tertentu; marah, kuatir, takut, sedih, bingung, bahagia, dan perasaan-perasaan lainnya. Perasaan muncul ketika kita mengindrawi banyak hal dalam kehidupan kita. ini berarti perasaan adalah interaksi keadaan fisik yang kemudian berdampak kepada keadaan psikis. Perasaan berasal dari panca indra yang kemudian membentuk ingatan, perasaan, penilaian, di mana terdapat reaksi kimia/hormonal yang menghasilkan andrenalin yang kemudian membentuk emosi, bahkan kesadaran dalam kehidupan kita. Perasaan adalah fakta yang tidak dapat disangkal. Di sisi lain, melalui perasaan juga lah kita menjalin relasi dengan Allah, di mana kita menikmati kehangatan cinta kasih-Nya. Oleh karena itu perasaan perlu dikelola dengan baik, dikarenakan jikalau ditekan ia akan terus mengganggu ketenangan kita, bahkan perasaan yang ditekan terus menerus akan menyebabkan timbulnya penyakit psikosomotis.

Secara umum, rentang usia seseorang akan berpengaruh bagaimana orang tersebut mengelola serta mengekspresikan perasaannya. Kematangan emosi ataupun perasaan secara general biasa dilabelkan kepada orang dewasa, meskipun pada faktanya tidak semua demikian. Sementara perasaan yang belum matang ataupun labil sering dilabelkan kepada orang yang berusia pemuda. Hal ini tidak lah sepenuhnya benar, sebab banyak juga kita temukan pemuda yang telah memiliki kematangan mengenai emosi/perasaan, dan mereka bisa mengekspresikannya dengan baik. Namun, pada umumnya orang menggangap bahwa pada masa pemuda lah (seperti kita saat ini) hidup biasa bergejolak; masalah perasaan, pencarian jati diri, sensitif, kebutuhan akan kasih sayang, frustasi dsb.

Mengungkapkan perasaan tidak lah bisa dilakukan dengan sembarangan. Boro-boro akan mengungkapkannya dengan benar, dibahasakan dengan baik. Malah jika diungkapkan dalam segala kondisi dan tempat justru akan berakibat kurang baik, tidak hanya untuk kita tetapi juga untuk orang lain. Misalnya saja, ketika kita hendak mengungkapkan perasaan kita kepada pemuda mengenai sesuatu yang mengganjal dalam diri kita, entah di mana pun itu: namun kita menghiraukan fakta bahwa ketika berintraksi dengan pemuda zaman sekarang diperlukan trust, dan jangan sekali-sekali menyinggung pembicaraan tentang fisik mereka (apalagi yang kesannya negatif), dan apalagi jika di depan umum. Tentu yang akan terjadi bukannya memperbaiki keadaan yang ada, bahkan justru memperkeruh suasana, bahkan merusak relasi kita. Oleh karena itu diperlukan metode-metode ataupun langkah-langkah untuk mengungkapkan perasaan tersebut.
Langkah-langkah dalam mengungkapkan perasaan:

·       1.  Latihan mengenal perasaan, di mana dalam latihan ini kita menyadari keberadaan perasaan dalam diri kita, sehingga kita juga menyadari konflik-konflik yang ada di dalamnya, yang berasal dari pengalaman-pengalaman, panca indra kita ketika merespon keadaan tertentu. Ketika kita menyadarinya, maka pikiran kita dapat menolong kita untuk mengelolanya, mungkin akan membutuhkan waktu yang cukup lama dan usaha yang cukup keras untuk “selesai” dengan perasaan-perasaan tesebut, sehingga kita perlu berlatih dengan rutin. Latihannya cukup sederhana; pertama kita perlu list perasaan yang terpendam maupun sering muncul, kemudian tandailah mana perasaan yang kita alami yang kita ungkapkan dan mana yang kita tidak ungkapkan.
·       2.  Kedua adalah latihan-latihan yang bersifat solitutif-instropektif. Kita bisa melakukan semacam meditasi dan sejenisnya, shadana mungkin, di mana kita bisa melakukan olah batin, introspeksi diri, mengalami kehadiran saat ini, maupun kembali ke masa yang telah lewat, melihat ke dalam diri perasaan-perasaan yang masih terpendam, berdialog, menghadapinya, sehingga kita bisa menyadari penyebabnya.
·       3. Ketiga, melihat suasana. Kita tidak bisa seenaknya saja juga untuk mengungkapkan, kita perlu melihat kondisi seperti apa yang sedang terjadi, dan bagaimana kita mengungkapkan perasaan kita secara tepat. Perlu diingat bahwa perasaan bukan masalah benar salah, maupun logis ataupun tidak, sehingga dalam pengungkapkannya setidaknya perlu melihat kembali ke dalam diri sendiri maupun ke luar.
·        Keempat, ungkapkanlah perasaan dengan tetap memerhatikan cara bicara dan mendengar. Namun sebelum kita mengungkapkannya, maupun sharing dengan teman, kita harus mengungkapkannya terlebih dahulu kepada Allah. Tampillah apa adanya di hadapan-Nya, serahkan dan curahkanlah seluruh hidup dan isi hati kita kepada-Nya, dan memohon pertolongan-Nya.

Markus 10: 13-16 mencatat bahwa Yesus marah ketika orang-orang di sana menghalang-halangi anak-anak untuk datang kepada-Nya. Alkitab jelas menceritakan, bahwa Yesus tidak menyembunyikan kemarahan-Nya pada orang-orang di sana, karena memang mereka juga pantas mendapatkannya. John Painter dalam bukunya Mark’s Gospel: Worlds in Conflict mengatakan bahwa, memang sudah selayaknya Yesus menegur para murid, dikarenakan ada tendensi bahwa mereka mau “dianggap”, dipuji, oleh orang-orang di situ, dikarenakan mau bertindak dengan cara yang mereka anggap benar, melihat begitu padatnya jadwal Yesus pada waktu itu. Dalam Yohanes 11: 1-44 yang menceritakan tentang peristiwa kematian dan dibangkitkannya Lazarus, Yesus juga menangis (ay. 35). 

Jika kita teliti, tentu masih banyak peristiwa-peristiwa di Alkitab yang menceritakan bahwa Yesus tidak segan-segan untuk mengungkapkan perasaan-Nya, seperti yang kita saksikan dalam kedua Injil tsb. Yesus benar-benar mengungkapkan perasaan-Nya: Ia marah, Ia juga menangis. Dia tahu betul bagaimana mengungkapkan perasaan-Nya, Ia tidak malu-malu, Ia tidak menekan perasaan-Nya, padahal bisa saja Ia lakukan. Kebiasaan mengungkapkan perasaan adalah salah satu sikap kedewasaan kita dalam mengelola emosi. Hal itu menjadikan kita manusia yang aktif dan dinamis dalam menghadapi realitas hidup ini, karena perasaan tidak hanya cukup dialami namun diungkapkan.Kita belajar dari kisah Yesus, dan kiranya kisah itu terus menginspirasi kita, untuk terus mengungkapkan perasaan kita, kiranya Roh Kudus menolong kita.


Refrensi:
 F. Hamma, Iman dan Perasaan, Yogyakarta: Kanisius
 John Painter , Mark’s Gospel: Worlds in Conflict, New York: Routledge


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Sejarah Natal yang Menyejarah

Teologi Bencana