Shared Christian Praxis Sebagai Salah Satu Model Pendekatan Pelayanan Kategorial Pemuda
PENDAHULUAN
Fakta yang tidak dapat dihindari adalah perubahan. Dengan
kemajuan teknologi, industrilisasi, komputerisasi di seluruh dunia pada saat
ini, menyebabkan perubahan-perubahan terjadi begitu pesat, belum lagi
perubahan-perubahan karena bencana alam, konflik politik dan sebagainya. Sehingga
kesemuannya itu mempengaruhi prespektif seseorang dalam memaknai hidupnya. Dari kenyataan itulah muncul suatu upaya pemahaman, pemetaan ulang
model pendekatan-pendekatan yang relevan bagi gereja agar tidak digerus oleh
arus perubahan tersebut.
Konteks
Pelayanan di GKI DM dan Konteks Pelayanan Pemuda
Gereja ini awalnya
merupakan gereja pemberita Injil (Gepembri) yang berdiri tahun 1992 yang
kemudian bergabung dengan GKI beberapa tahun setelahnya. Dengan banyak keterbatasan,
gereja ini terus bertumbuh mengalami perubahan-perubahan. Meskipun bertumbuh, gereja
ini juga tidak lekang dari masalah-masalah pelayanan yang ada. Kehadiran jemaat
di dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan kerohanian
jemaat, seperti Oasis Spritual Tengah Minggu (OSTM), Kebaktian
Remaja, Persekutuan Komisi Pemuda (KP), Persekutuan Wanita, dan Life Grup (LG), semakin menurun, dan
kehadiran jemaat hanya berkonsentrasi stabil di Ibadah Minggu saja. Hal
tersebut juga berpengaruh pada rendahnya keinginan jemaat untuk ikut terlibat
dalam pelayanan penatalayanan yang ada, yang menyebabkan orang-orang tertentu saja
yang terus melayani sehingga mereka mengalami “keletihan” fisik dan rohani. Hal
ini tentu tidak sehat.
Beberapa tahun yang lalu, KP sempat ditiadakan
beberapa saat karena sedikitnya jumlah pemuda yang datang, baru kemudian pada akhir tahun
2015 dimulai lagi. Banyak dari pemuda yang hadir dalam
Ibadah Minggu yang tidak ikut KP, bahkan ada yang tidak juga melayani di bagian tertentu dalam
penatalayanan yang ada, sehingga keadaan tersebut cukup mengkhawatirkan. Kegiatan KP selama ini terfokus pada dua kegiatan rutin;
pertama, ibadah persekutuan pemuda di tiap minggu 1, 3, dan 5. Kedua,
adalah LG di minggu ke-2 dan 4. Selain itu, untuk meningkatkan pemuridan,
dibuka juga kerjasama pemuda dengan gereja-gereja lain.
Namun realitannya, banyak dari pemuda juga tidak begitu antusias untuk menghadiri persekutuan yang ada, hal ini terlihat dari jumlah pemuda yang datang dalam kebanyakan persekutuan sangatlah sedikit, dan orang-orang yang selama ini melayani di persekutuan tersebut juga adalah “itu-itu saja”. Oleh karena itu upaya untuk menemukan dan menerapkan suatu model pendekatan yang tepat terhadap KP tersebut mesti terus digali, "dipetakan", digaungkan, dan dilaksanakan.Sehingga model pendekatan yang relevan dan kontekstual bisa tergapai.
Namun realitannya, banyak dari pemuda juga tidak begitu antusias untuk menghadiri persekutuan yang ada, hal ini terlihat dari jumlah pemuda yang datang dalam kebanyakan persekutuan sangatlah sedikit, dan orang-orang yang selama ini melayani di persekutuan tersebut juga adalah “itu-itu saja”. Oleh karena itu upaya untuk menemukan dan menerapkan suatu model pendekatan yang tepat terhadap KP tersebut mesti terus digali, "dipetakan", digaungkan, dan dilaksanakan.Sehingga model pendekatan yang relevan dan kontekstual bisa tergapai.
Model-model
Pendekatan Pendidikan Kristiani
Shared Christian
Praxis (SCP), sebagai sebuah model pendidikan Kristiani yang dialogis dan partisipatif, sepertinya
belum terlalu diterapkan dalam KP tersebut. Hal ini terlihat dalam hampir
setiap pertemuan KP, entah itu dalam persekutuan maupun LG, masih banyak
peserta yang diam, dan kurang begitu partisifatif. Seymour dalam bukunya Maping Christian Education: Approach to
Congregation Learning dengan jelas membagi empat model pendekatan
Pendidikan Kristiani. Pertama,
Pendidikan Transformasi Sosial. Pendekatan ini menitikberatkan langkah teknis
kepada Edukator dan Partisipan. Di mana Edukator sebagai inisiator, dalam
kemitraan yang berefleksi dan beraksi, serta Partisipan sebagai agen historis
yang bertanggung jawab, sehingga terjadi proses transformasi, yang berakibat
kepada pelayanan di dalam dan dengan dunia, mengupayakan keadilan, perdamaian,
kasih, dan pengharapan, seperti yang telah diterapkan dalam pelayanan KP tersebut.
Hamba Tuhan sebagai Edukator, selama ini telah melakukan banyak upaya untuk
melayani KP tersebut, dan hampir di setiap sesi, entah itu persekutuan maupun
LG, diberikan waktu kepada setiap KP untuk berefleksi. Sesekali mereka juga
diajak untuk melayani ke panti asuhan, maupun mengunjungi orang sakit.
Kedua adalah
model pendekatan Komunitas Iman. Model pendekatan ini tidak terlalu jauh
berbeda dengan model transformasi sosial, di mana dampak pelayanan yang
diharapkan tidak hanya dalam komunitas ini sendiri, namun juga kepada dunia.
Pendekatan ini memfokuskan keautentikan orang-orang dalam sebuah komunitas,
pembentukan kelompok-kelompok kecil, dan menolong kehidupan jemaat guna
kehidupan dan misi di lingkup yang lebih luas, dalam pelayanan, refleksi, dan
tindakan. Pendekatan ini sebenarnya juga telah lama diterapkan. Di mana, sebelum
KP tersebut sempat ditiadakan beberapa tahun yang lalu, telah ada Kelompok
Tumbuh Bersama Pemuda (KTB), yang kemudian sekarang di-update menjadi LG yang lebih kontekstual, yang tidak hanya
berbicara program, tapi life and people.
Selain itu, GKI DM Batam juga mencetus tema tahunan, “Persahabatan Yang
Autentik” sebagai tema tahun pelayanan 2017-2018. Sehingga jelas bahwa
pendekatan Komunitas ini telah dipraktekkan, meskipun belum semaksimal mungkin,
namun terus diupayakan sampai sekarang ini.
Ketiga adalah
Perkembangan Spritual. Pendekatan ini bertujuan meningkatkan kehidupan batiniah
ketika merespon panggilan hidup. Namun, meskipun demikian pendekatan ini juga
tidak bisa terlepas dari sebuah komunitas yang menjadi tempat orang-orang
dihubungkan dalam relasi, persahabatan, kepedulian, dan keadilan. Hening,
mendengar, beristirahat, belajar, ibadah, dan “sabat” adalah langkah praktis
untuk olah batin menuju transformasi dalam metode ini. Hangatnya persahabatan
memang sungguh terasa dalam komunitas KP, tidak jarang pada hari libur
tertentu, para anggota KP akan kumpul bersama, masak, olah raga, nonton di Bioskop,
hang out bareng, dan sebagainya.
Tidak hanya itu, model-model persekutuan seperti doa meditatif “Taize” juga
rutin dilakukan beberapa bulan sekali.
Keempat
adalah model Pengajaran Agama. Model pendekatan ini menekankan pengajaran
Alkitabiah yang kontekstual dan menghubungkan iman dengan kehidupan. Dalam hal
ini, Edukator sebagai mitra belajar setiap Partisipan yang membangun sebuah
ruang dan proses pembelajaran, yang kemudian menghadirkan refleksi teologis
dalam pengenalan penafsiran, menjalani kehidupan serta mengaplikasikannya. Komunitas
lah yang menjadi tempat pembelajaran sekaligus mendorong orang beriman untuk terus
belajar, dengan harapan adanya ruang diskusi, dialog, dan komitmen. Pengajaran
adalah salah model pendekatan yang cukup kuat diterapkan selama ini dalam
pelayanan kepada KP. Mengingat, banyak dari KP memiliki latar belakang sebagai generasi
pertama Kristen dalam keluarga mereka. Tidak hanya itu, demi kebersamaan, dan
sebagai sarana untuk berbagi informasi maupun tanya jawab, maka dibuat grup What’s up bersama. Di dalam grup
tersebut, didampingi beberapa Edukator, sehingga setiap KP bebas berbagi apa
saja, termasuk berbagi Pengajaran Agama dan materi yang mereka terima.
Kompleksitas KP tersebut memang menjadi tantangan
tersendiri bagi berbagai macam model pendekatan yang telah dianalisa di atas.
Oleh karena itu Edukator/pemimpin, selain mesti terus mengevaluasi,
merencanakan, dan mengimplementasikan peluang-peluang yang ada, mesti juga
terus membimbing, dan me-mentoring,
menindaklanjuti upaya-upaya yang telah dilakukan. Pendekatan-pendekatan
Pendidikan Kristiani dari Seymour tersebut tentu sangat baik jika benar-benar
diterapkan, karena selain berdampak pada diri sendiri juga berdampak pada dunia
sekitarnya. Namun, salah satu yang menjadi permasalahan adalah, bagaimana hal
itu bisa terwujud jika tidak adanya dialogis dan partisipatif dari Partisipan
sebagai sebuah proses dan progress dalam praksis tersebut? Dengan kata lain,
diperlukan kontribusi yang besar dari Edukator dan juga Partisipan dalam proses
pengembangan pendidikan Kristiani tersebut. Dengan demikian, “keadaaan”
totalitas dari KP tersebut mesti bisa dipetakan. Termasuk yang paling penting adalah
memetakan keadaan perkembangan psikologis mereka. Oleh karena itu, penulis
melihat bahwa, Shared Christian Praxis
(SCP), sebagai sebuah model pendekatan yang relevan dan konkret untuk
diterapkan bagi pelayanan kategorial di KP tersebut.
Model
Pendekatan Shared Christian Praxis
(SCP)
SCP sebagai pendekatan yang relevan dan konkret
karena pendekatan ini membahas praksis Kekristenan secara keseluruhan, memadai
secara teoritis dan praktis, yang berdiskusi dan berdialog, partisifatif,
kritis mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada, menuju konteks kesesuaian
bersama sebagai “agen subyek” dalam proses pembelajaran, demi pertumbuhan,
“konasi”, kedewasaan iman, untuk kemuliaan Tuhan. Dengan kata lain, menurut
Paulo Freire dalam bukunya, Pendidikan
Sebagai Proses: Surat-surat Pedagogis Dengan Para Pendidik Guinea-bissau, mengatakan
bahwa pendidikan tidak harusnya memisahkan antara teori dan praktek, natural, refleksi,
hermeneutis dan kekinian, dalam aksi, kerja intelektual dan kerja keras ketika berkontekstualisasi
dalam realitas konkret yang dihadapai, sehingga mereka menentukan sendiri
bagaimana mereka berdinamika dalam komunitas tersebut. Jadi, pendekatan SCP ini
adalah sebuah sikap kedewasaan iman yang dilakukan dengan kesadaran dalam seluruh
“keberadaan” manusia”.
Dengan demikian pendekatan SCP sebagai pedagogi yang
partisipatif dan dialogis yang kritis, yang terus diperbaharui, yang berasal
dari, melalui, untuk dan terhadap totalitas dari aksi dan refleksi Kekristenan,
tidak terlepas dari perangai Edukator. Di mana, pemimpin mestilah mengambil
porsi yang vital, menjadi pendidik yang progresif, yang menyingkapkan
kesempatan-kesempatan untuk para KP agar tetap berpengharapan apa pun
halanganya. Tentu hal pertama yang harus dilakukan adalah tunduk dan takluk
kepada Roh Kudus, kemudian segera mengambil langkah konkret. Edukator terus
mengarahkan, memberdayakan Partisipan kepada konsep untested feasibility (kemungkinan dilakukan yang tak teruji), yang
menjadi harapan-kenyataan, bukan sekedar kemungkinan. Di mana ketika KP
tersebut mengalami “pengondisian”, ketika mereka menjumpai rintangan, maka
mereka mamandang “situasi-situasi batas” itu tidak mencegah mereka untuk terus berpengharapan.
Hubungan setiap anggota dalam KP haruslah menjadi perhatian utama sebelum ada
solusi yang ditawarkan terhadap permasahan yang terjadi. Penerapan SCP, yakni hubungan
dalam persekutuan yang dialektis sebagai pendorong kedewasaan iman, mesti terus
diarahkan dan digaungkan, sehingga memampukan mereka dalam pengharapan memberi
jawaban terhadap panggilan Kerajaan Allah. Jelas di sini, yang penting bukan hanya
efektifitas, namun edukasi kritis, yang berorientasi konkret kepada relasi, yang
tidak hanya peduli kepada konten aktivitas tersebut, tetapi juga bagaimana
konsep relasi yang terjalin di dalamnya. Di mana iman berpaut terhadap apa yang
dipercayai, dan relasi bersinergi dengan terus kritis dan bertanya, “atas dasar
apa atau siapa hati ini diatur atau
dilabuhkan?”.
Seperti yang telah diperlihatkan pada gambar sebelumnya
(di atas), bahwa SCP adalah sebuah pendekatan, yang dalam mencapai “konasi”,
mencakup seluruh “keberadaan” manusia, dalam relasi personal, interpersonal,
sosiopolitikal, dan juga kosmik, yang timbal balik sebagai implikasi dari
pemerintahan Allah, yang nampak dalam kehidupan yang praktis, produktif, dalam
sejarah dan visi, yang replektif, terjadi alami, dan relasional. Paulo Freire
dalam Pendidikan Masyarakat Kota juga
mengatakan, bahwa diperlukan “kebebasan”, yakni gaya pendidikan yang demokratis,
konsisten, menekankan proses dialogis antara pendidik dengan yang terdidik,
sehingga KP tersebut terus mengalami hal-hal yang progresif dan transformatif. Namun,
pada kenyataannya yang sering terjadi dalam sebuah persekutuan adalah keterdiaman,
komunikasi satu arah saja, “take for granted”. Padahal, SCP sebenarnya terjadi
secara Natural, yang berkembang dari hal dasar yang dilakukan manusia terkait
dengan pemahaman iman yang “public”, yang dimulai dengan bertanya, dimulai
dengan rasa ingin tahu, sehingga tidak hanya peserta didik yang belajar, namun
pendidik juga belajar dari proses tersebut. Terkadang secara tidak sadar,
peserta didik maupun pendidik terjebak dalam kondisi tertentu, kondisi yang
telah terbukti membuat pelayanan di suatu gereja “berjalan lancar”. Padahal keterkondisian
tersebut terjadi karena “kepasrahan”, yang mengakibatkan pertumbuhan gereja
“stagnan”. Tidak hanya karena tidak bertumbuh dari segi kuantitas, namum juga
merosost dari segi kualitas. Oleh karena itu, konsientisasi sebagai sebuah cara
yang membebaskan dari konflik, mistifikasi, dan belenggu-belenggu tertentu,
mesti terus diusahakan oleh semua pihak terutama para pendidik, sehingga model
pendidikan yang humanis dan kontekstual bisa terwujudkan.
Untuk memetakan aplikasi dan implikasi konkret dari
model pendekatan SCP ini, maka mesti juga mengetahui keadaan KP tersebut secara
keseluruhan, yang tidak mungkin terlepas dari perkembangan psikologis mereka. Pemahaman
diri dan moralitas yang berkaitan erat dengan perkembangan psikologis mereka, mental
kognitif, psiko sosial yang akan merujuk kepada keimanan setiap anggota KP. Dengan berpatokan pada usia rata-rata KP,
maka teori perkembangan mental-kognitifnya Peaget terhadap KP tersebut berada
“di atas tahap operasi formal” (berpikir hipotesis-deduktif, dan ilmiah). Erikson
juga mengkategorikan perkembangan Psiko sosial KP tersebut pada tahap enam, di
mana tahap ini merupakan tahap realitas cinta-kasih, keintiman, isolasi, mencari
intimitas dan solidaritas dengan menyisihkan rasa isolasi, dan keterasingan.
Sedangkan Kohlberg mengkategorikannya sebagai tahap Post-Konvensional. Di mana prespektif
pandangan individu adalah relatif, perbuatan dinilai baik berdasarkan
norma-norma masyarakat, prinsip etika, dan keadilan universal, benar salah
ditentukan hati nurani, dan keputusan didasarkan pada kesetaraan semua pihak. Sedangkan
Fowler memanfaatkan penemuan ketiga tokoh besar itu untuk menjelaskan
perkembangan iman seseorang, di mana pada usia-usia KP tersebut, maka taraf
iman yang seharusnya mereka lalui adalah Individual-reflektif, berarti tahap
membangun keyakinan, dapat bertahan dalam paradoks dan kontradiksi, lebih
moderat, rasional, tidak sentimen, dan terbuka.
Dengan mengetahui dan memetakan kompleksitas
perkembangan psikologis mereka, maka akan mempermudah komunikasi timbal balik
antara Edukator dan Partisipan. Memang akan lebih baik, jika masing-masing
anggota KP tersebut diperlakukan sesuai dengan latar belakang dan perkembangan
psikologisnya. Sehingga ada keterbukaan, dialog yang Partisipatif. Dengan
demikian maka Pendekatan SCP benar-benar berdampak konkret dalam totalitas
kehidupan setiap anggota KP, juga berdampak kepada kehidupan Edukator itu
sendiri. Untuk mewujudkan pendekatan SCP yang “Dialogis dan Partisipatif” ini,
maka perlu langkah konkret yang harus segera diambil yakni Retreat. Perlu
adanya Brainstorming, mengevaluasi, melihat, membicarakan kembali, mengutarakan
apa yang dirasakan selama ini dalam KP, apa yang menjadi menjadi pergumulan,
dan langkah-langkah apa yang akan diambil. Dalam Retreat yang akan
dilaksanakan, semua Partisipan dan Edukator mesti hadir, sehingga semua
kendala, gejala, harapan, bisa diungkapkan dengan jelas.
PENUTUP
Melihat konteks pelayanan yang selama ini terjadi di
KP GKI DM Batam, maka SCP merupakan salah satu strategi pendekatan Pendidikan
Kristiani yang relevan dan konkret untuk diterapkan di sana. Di mana dengan
strategi pendekatan ini, diharapkan akan mengarahkan setiap KP menuju “konasi”,
Kedewasaan Iman yang berkesesuaian antara teori dan praktek ketika mereka
menjalani kehidupannya, menghayati panggilan-Nya dalam totalitas dan realitas
yang mencakup keseluruhan bagian kehidupan mereka. Berdasarkan God’s Reign, dalam sebuah komunitas yang
memberkati, reflektif dan kreatif, dialogis dan partisipatif, yang konsisten, sebagai
subject-to-subject relationship,
dalam iman, harapan, dan cinta yang terwujud dalam keseluruhan praksis
kehidupan setiap KP di tempat tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
N.
K. Atmadja-Hadinoto. 1990. Dialog dan
Edukasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Barry Dwyer. 2000. An Introduction to Shared Christian Praxis, Australia: Parramata
Diocesen Liturgy Commision and Catholic Education Office.
Syemour, Jack L. 2016. Memetakan
Pendidikan Kristiani: Pendekatan-Pendekatan Menuju Pembelajaran Jemaat,
Ter. Eric Von Martin E. Hutahaean, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
H. Groome, Thomas. 1998. Sharing Faith: A Comprehensive
Approach to Religion Education and Pastoral Ministry, West Broadway-Eugene:
Wipt and Stock Publisers.
Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Sebagai Proses: Surat-surat Pedagogis Dengan Para Pendidik
Guinea-bissau, Ter. Agus Prihanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo. 2001. Pedagogi pengharapan: Menghayati Kembali pedagogi Kaum Tertindas,
Yogyakarta: Kanisius.
V. Botton, Kenneth. 1990. Conjuntive Faith: A Critique and Analysis From an Evangelical
Prespective, 1990, Mexico: Trinity Evangelical Divinity School.
Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Masyarakat Kota, Yogyakarta:
LKiS.
Faundez, Antonio & Paulo Freire. 1995. Belajar Bertanya: Pendidikan yang
membebaskan, Ter. S. M. Siahaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Freire, Paulo.1999. Politik Pendidikan,
Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, Terj. Agus Prihantoro & Fuad
Arif Fudiyartanto, Yogyakarta: Research, education and Dialoque & Pustaka Pelajar
Offset.
Gilligan, Carol.1997. Dalam Suara Yang Lain: Teori Psikologi dan Perkembangan Wanita,
Ter. A. Sonny Keraf, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Boeree, C. George.1997. Personality Theory Erick Erikson, Pennsylvania: Psychology
Departement Shippenburg University.
Csatary, Leslie. 1980. Lawrence Kohlberg’s Theory of Moral Development and Kant Moral
Philosophy, Montreal-Quebec: Faculty of Education McGILL University.
Komentar
Posting Komentar