Merajut Damai dan Merawat Perbedaan: Sebuah Studi Terhadap Islam Nusantara dan Islam Revisionis Serta Implikasinya Terhadap Hubungan Islam-Kristen


PENDAHULUAN
Perbedaan adalah hal yang tidak bisa dihindari ketika manusia hidup dalam suatu teritorial tertentu. Seringkali perbedaan-perbedaan yang ada menjadi alat pemecah persatuan dalam suatu bangsa, komunitas, golongan, bahkan keluarga. Namun, ketika perbedaan itu bisa dikelola dengan baik, perbedaan-perbedaan justru adalah alat pemersatu, bahkan “memperkaya”, memperindah, yang kalau diibaratkan seperti harmonisasi sebuah lagu menjadi simponi yang indah, yang terdiri dari nada-nada yang berbeda. Pandji Pragiwaksono pernah berkata, “bukan urusan kita membuat seisi bumi menjadi seragam, tugas kita adalah hidup nyaman, damai, dengan perbedaan tersebut”.[1] Semangat damai merupakan awal dari keterbukaan, sehingga perbedaan-perbedaan yang ada tidak semakin meruncing, dan melukai satu dengan yang lainnya, bahkan melukai diri sendiri. Oleh karena itu, penulis sangat tergugah untuk mempelajari lebih dalam tentang “Islam Nusantara” yang keindonesiaan dan juga “Islam Revisionis” yang menurut pandangan Mun’im Sirry sangat terbuka dan kritis secara akademis, sehingga tercipta suatu dialetika keilmuan yang tentunya sangat dibutuhkan di tengah sepinya dentuman ide besar dalam kepelbagaian keberagaman hidup di nusantara ini. Dengan demikian semangat penerimaan antara satu dengan yang lain bisa terajut dengan baik dalam semangat merawat perbedaan yang ada, sehingga tidak hanya terjadi dialog secara “keseluruhan”, tidak hanya non-elitis, tetapi juga sampai akar-rumput antara pemeluk agama, khususnya Islam-Kristen sehingga terjalin hubungan baik antara keduanya demi kebaikan bersama, di masa kini juga di masa depan.
PEMBAHASAN
Islam Nusantara
Said Aqil Siradj sebagai ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) mengatakan “NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara”.[2] Islam Nusantara memang istilah yang baru di kalangan umat Muslim di Indonesia, yang meskipun kemunculan istilah Islam Nusantara tersebut masih terus menjadi sebuah perbincangan yang hangat di kalangan umat Islam itu sendiri. Bagaimana pun itu hanyalah sebuah istilah, istilah yang merupakan respon dari NU ketika begitu banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang mencoreng wajah Islam itu sendiri, baik di dunia Internasional maupun di Indonesia, yang memandang Islam hanya dari kelompok Islam “militan-konservatif-radikal”, sehingga membentuk semacam “Islamofobia”.[3] Menurut M. Amin Abdullah, NU mengangkat isu dan tema Islam Nusantara merupakan respon sosial-kultural sekaligus politik ketika Indonesia pasca reformasi 1998 dihadapkan pada situasi sulit menghadapi situasi global-internasional dengan mengemukanya gerakan transnasionalisme yang ekspansif dari Timur Tengah yang kemudian berpadu dengan munculnya Arab Spring dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).[4] Di mana agama Islam acapkali digunakan sebagai justifikasi terjadinya kekerasan, perusakan-perusakan, bahkan pertumpahan darah, maka dari itu, cara ber-Islam yang penuh damai sebagaimana di nusantara ini kembali terafirmasi sebagai tafsir yang paling memadai untuk masa kini, yakni Islam Nusantara. Terma Islam Nusantara bukanlah bentuk pengembangan agama Islam. Islam Nusantara itu adalah paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat.[5]
Istilah untuk Islam Nusantara memiliki esensi yang sama dengan Islam Indonesia (bukan Islam di Indonesia),[6] di mana proses mengislamisasi nusantara ini terbilang cukup damai, dan dengan menggunakan strategi sosial-kultural, yang memusatkan perhatian pada adat istiadat yang dimodifikasi dan diubah menjadi alat ataupun instrumen penyampai pesan melalui budaya, sastra, seni, dan lain-lain.[7] Hal senada juga disampaikan oleh Kyai Heri,[8] beliau memaparkan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang merangkul, menghormati, memelihara, serta melestarikan budaya asli, yang berkarakterkan sesuai dengan kondisi ke-Indonesiaan yang rahmah (pengasih), anti radikal, inklusif, toleran, dan tasawuf.[9] Islam Nusantara juga memandang, bahwa yang penting adalah substansi dari Islam itu sendiri, sehingga mempertimbangkan dan menghargai budaya, sesuai konteks rakyat Indonesia. Misalnya, menggunakan peci dan sarung ketika sholat, karena itulah budaya Indonesia dan hanya ada di Indonesia. Puji-pujian, tahlilan, buat miniature, maulidan, sekaten, dekahan, kenduran, mudik, lebaran, sorjan, blangkom, istighosah, seton, syiir, tembang, wayang, baju adat, orkes, dan lain sebagainya. Jika di Arab melakukan Zikir, maka di nusantara adalah mujahadah, ketika merayakan hari raya Kurban yang dipersembahkan adalah unta, maka di Indonesia yang dipersembahkan adalah sapi atau kambing. Kalau budaya itu baik mengapa harus dihilangkan?

Terma Islam Nusantara tersebut juga senada dengan apa yang pernah disampaikan oleh K. H. Abdurrahman Wahid, bahwa sejarah adalah saksi, bahwa nusantara ini sangat kaya dengan nilai-nilai luhur, yang beragam, berprinsip “Bhineka Tunggal Ika” telah mengilhami penguasa nusantara dari zaman ke zaman, bahkan Sunan Kalijogo sangat terkenal akomodatifnya terhadap budaya lokal-mendidik para penguasa pribumi tentang Islam yang damai, toleran, dan spiritual. Sunan Kalijogo bahkan meneruskan nilai-nilai luhur tersebut sehingga terlestarikan sampai sekarang ini.[10] Demikianlah Islam di semenanjung nusantara ini hadir dalam rentangan sejarah, yang bertumbuh dan mekar menebar kasih, dan damai.[11] Islam Nusantara yang dekat dan bersahabat dengan keberagaman, yang tidak mempertentangkan nilai-nilai agama dengan adat-istiadat setempat, serta merangkul, melestarikan, bahkan mengembangkan budaya maupun, yang dalam prakteknya mengedepankan nilai-nilai toleransi.[12]
Jejak Islam nusantara tersebut masih sangat terang-benderang kelihatan sampai sekarang ini, masih banyak bukti yang dapat kita temukan tentang cara penyebaran agama tersebut yang erat dengan warna dan kebiasaan masyarakat lokal yang sering disebut dengan istilah Islamicate. Proses Islamicate sendiri adalah proses yang sangat kompleks, yang bahkan juga melibatkan orang non-Muslim, di mana terjadi dialog yang lentur dan persuasif serta dengan suka rela.  Contoh dialog tersebut bisa ditemukan dalam akulturasi budaya, entah itu lewat seni rupa, bangunan, karya satra, lagu-lagu tembang lokal dan lain-lain. Seperti Masjid Mataram Kotagede Yogyakarta misalnya, Masjid ini merupakan Masjid yang berasal dari sebuah proses akulturasi beberapa budaya, bahkan termasuk agama. Berdasarkan penelitian, setidaknya terdapat tiga unsur budaya dalam masjid ini yaitu budaya Islam, Jawa, dan Hindu, di mana unsur Islam terdapat pada mimbar, mihkrab dan tempat wudhu, sementara unsur Jawa terdapat pada bentuk masjid dan tiang penyangga atap, serta gapura paduraksa dan motif hias keliling pagar masjid merupakan unsur kebudayaan agama Hindu.[13]
Masih banyak akulturasi budaya yang dapat ditemukan di Indonesia sebagai bagian dari proses Islamicate, misalnya; Kanjeng Kyai Surya Raja: Kitab Pusaka Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tembang Macapet, tembang Tamba Ati Ana Lima, dan lain-lain.[14] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses Islamicate melalui budaya Nusantara oleh para tokoh-tokoh Islam terdahulu, juga berbarengan seiring dengan proses penusantaraan nilai-nilai Islam itu sendiri, sehingga keduanya saling melebur menjadi entitas baru yang kemudian disebut sebagai Islam Nusantara.[15] Jadi kerinduan akan Islam yang berdialog, rahmatan lil alamin, cinta damai, moderat, adil, dan toleran, serta menjunjung tinggi pluralitas dan humanisme bukan lagi hanya sebuah harapan dan sekedar kerinduan, namun telah menjadi sebuah kebutuhan, bahkan kebutuhan yang genting. Kebutuhan akan Islam Nusantara yang sejuk yang bernilai kenusantaraan menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi di tengah semakin merebaknya praktik-praktik intoleransi dan radakalisme yang bertransformasi menuju terorisme.[16] Pada titik singgung Islam Nusantara tersebutlah terbentuk dialog, keterbukaan antara satu dengan yang lainnya, bahkan antara agama dan budaya yang berbeda sebagai investasi besar bagi tumbuh dan berkembangnya rasa toleransi, menghargai perbedaan, sikap penerimaan antara satu dengan yang lainnya dalam semangat damai yang harus terus disemai, disirami, dirawat, bahkan dirayakan dengan kerendahan hati, dengan segenap kekuatan yang dimiliki demi kemaslatan dan kedamaian bersama yang hidup dalam rumah nusantara yang tercinta ini.
Islam Revisionis
Ketika berbicara tentang Islam Revisionis, maka secara otomatis tidak bisa terlepas dari figur seorang cendekiawan Muslim Indonesia sebagai penggagasnya yakni Mun’im Sirry. Ia adalah salah satu tokoh Islam yang sudah tidak asing lagi di tanah air yang memiliki semangat yang sama dengan para cendikiawan Islam era 1970-an pendahulunya, seperti Harun Nasution, A. Mukti Ali, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib.[17] Islam Revisionis bukanlah sesuatu yang baru dalam pergulatan keagamaan di seluruh dunia, bahkan juga di Indonesia. Sebagai intelektual Muslim yang memiliki semangat merevisi, Mun’im Sirry mencoba untuk melakukan suatu upaya revisionist approach dalam kajian Islam. Di mana kajian ini mencoba menawarkan wacana-wacana baru, suatu cara dan cara pandang dari pespektif lain, yang sebenarnya selama ini juga sudah dikenal dalam masyarakat Islam tertentu. Taken for granted, skeptisisme radikal, kegaduhan intlektual acapkali mewarnai perjalanan kajian Islam itu sendiri, yang selama ini sepertinya sudah menjadi pemandangan yang biasa, sehingga pendekatan historis kritis terhadap kajian Islam itu sendiri perlu terus digelorakan.[18] Oleh karena itu Masyarakat Muslim, khususnya yang ada Indonesia, senantiasa ditantang untuk bersikap kritis terhadap pemahaman keagamaannya sendiri. [19] Tentu saja semua fenomena itu menjadi hal yang menarik, yang mendorong terjadinya sebuah perubahan, perubahan yang baik tentunya, meskipun tidak bisa dipungkiri kajian baru tersebut bisa saja menimbulkan pro dan kontra. Hal ini dikarenakan masih ada saja umat Islam yang  memiliki stereotip berpikir yang eksklusif.[20] Sikap eksklusif tersebut sangat berbeda bahkan cendrung bertolak belakang dengan cara berpikir inklusif, yakni suatu sikap yang memandang positif perbedaan yang ada, serta berusaha menerima bahkan menggunakan sudut pandang orang lain atau kelompok lain dalam memahami sebuah masalah.[21]
“Pucuk dicinta ulam pun tiba”, adalah sebuah pribahasa yang sudah tidak asing lagi di telinga orang-orang Indonesia, maksud pribahasa tersebut kurang lebih hendak mengungkapkan suatu perasaan yang baik dan senang, ketika sesuatu kebutuhan tercapai, ketika hal yang terjadi sesuai harapan, bahkan melampaui yang dicita-citakan. Kurang lebih semangat seperti pribahasa tersebut jugalah yang harus digelorakan terus, antara sikap inklusifisme menuju semangat revisionis, yang diibaratkan sebagai sebuah sikap cinta, yang menyatu dalam keharmonisan, yang merupakan suatu kebutuhan, harapan, bahkan melampaui yang dicita-citakan oleh banyak pihak sebagai suatu kajian yang baru menuju suatu terobosan yang baru pula. Sikap inklusifisme yang kritis adalah salah satu pintu masuk bagi Islam Revisionis, di mana ada keterbukaan di sana, keterbukaan yang mendobrak stagnasi dan menumbuhkan ide-ide baru, yang mengeksplorasi tanpa dibatasi sekat-sekat dan pandangan masa lalu dan masa kini yang telah “terkondisi”. Trayek perjalanan revisionis berangkat dari sebuah pikiran intlektualitas, juga pengalaman-pengalaman, dan jalan spritualitas tertentu, yang didukung begitu banyak teori dan pengetahuan dalam refleksi yang kritis yang mengacu kepada teori-teori perkembangan Islam. Perkembangan Islam tersebut dicetuskan oleh Kuntowijoyo, yang kemudian membaginya menjadi tiga periode yang dibuat berdasarkan sosiologi pengetahuan, dengan melihat bentuk-bentuk kesadaran umat dalam suatu masa. Revisionist approach bukanlah hal yang baru, revisi-revisi kritis, neomodernis tesebut telah lama digulirkan oleh tokoh-tokoh Islam sebelumnya, seperti Nashr Hamid Abu Zayd, Ali Abd al-Razaq, Thaha Husein, Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Muhammad Iqbal, atau juga para pemikir-pemikir di dunia Barat.[22]
Revisionalisme Islam tidak bisa terlepas dari asal-usul dan kontribusinya, perbincangan yang kritis tentang masa awal-awal Islam adalah hal yang wajib dilakukan. Begitu juga dengan era modern dengan segala dilemanya, perlu suatu upaya yang konsisten, yang terus melakukan sebuah olah kritik diri menuju dialog dalam sebuah perbedaan.[23] Upaya pendekatan revisionis tersebut pasti menguras banyak tenaga dan energi. Oleh karena itu harus objektif dan menanggalkan kepertingan-kepentingan tertentu yang bisa mengintervansi hasil dari olahan tersebut. Harus tetap fokus dan memerhatikan dengan seksama sumber-sumber lisan maupun tulisan, kritik-historis, latar belakang, sejarah teks, dan konteks, kronologis, ideologis, pandangan teologis, arkeologis, tradisi-tradisi dan budaya, tafsir holistik, pengaruh masa-masa pencerahan, tipologi-tipologi keagamaan, metodologis-metodologis kajian tertentu, polemik-polemik, dan “agama Ibrahim”, dan lain sebagainya. Itu semua adalah hal yang harus digali dan diteliti lebih jauh dan lebih dalam, sehingga dari kajian Islam Revisionis tersebut, pemahaman-pemahaman yang selama ini telah stagnan ataupun terkondisi bisa terekonstruksi maupun didekonstruksi kembali, sehingga mengahasilkan cakrawala pemikiran yang ditransformasi, perspektif yang baru dalam menjawab tantangan iman dalam konteks kekinian.
Di bawah ini terdapat beberapa contoh dari sekian banyak contoh tentang pengkajian revisionist approach. Sedikitnya akan dibahas dalam tiga tema besar, dan akan dijelaskan juga sedikit contoh dari masing-masing sub tema tersebut. Semangat revisionis yang pertama berbicara tentang Islam awal, di mana sub tema yang diangkat dari sekian banyak sub tema adalah “menulis sejarah Islam dari pinggiran, antara Islam historis dan teologis, dan Al-Qur’an : sejarah, teks dan konteks. Pemilihan sub tema tersebut dimaksudkan mengangkat perbedaan kajian revisionis, yang menghasilkan hasil yang berbeda dari kebanyakan apa yang diketahuai umat Islam pada umumnya. Namun, sebenarnya masih banyak kajian-kajian revisionis yang lain yang sangat menggugah dan mencerahkan jika dibahas, diantaranya; mitos seputar Nabi Muhammad, hijrah, sejarah dan pengembangan ritual Islam, puasa dan kesinambungan agama, “Islam gembira”, Idul Fitri dan terbentuknya identitas keagamaan, dan lain-lain.
Berbicara tentang Islam awal, Mun’im Sirry menawarkan suatu perspektif yang baru, yakni penulisan sejarah Islam dari kaum pinggiran, suatu perspektif dari mereka yang ditaklukkan. Ataupun dari sumber-sumber yang ditulis oleh kaum Yahudi-Kristen sebagai agama profetik, semitik, yang sama-sama memiliki monoteisme mutlak, yang semuanya mengasal-usulkan umat mereka kepada Ibrahim, yang terlebih dahulu ada.[24] Dengan revisionist approach tentu gambaran yang akan didapatkan pasti berbeda bukan? Namun, hal tersebut akan sangat berguna, sehingga pemahaman tentang sejarah masa lalu akan lebih kaya dan juga terpampangkan dengan lebar dan memunculkan suatu refleksi yang mendalam. Kata “Mashlmane” (Muslim) pertama kali muncul pada tahun 775 dalam Chronicle of Zuqnin, ketika itu orang-orang Kristen yang hidup di bagian utara Arabia melihat perbedaan yang dibawa kamu Muslim, padahal di sana masih terjadi pengaburan entitas, Kristen dan Muslim menggunakan tempat ibadah yang sama, makan bersama, dan juga terjadi kawin silang antara mereka, bahkan kedermawanan para penguasa Muslim mendanai pembangunan gereja dan biara Kristen bukanlah suatu pemandangan yang asing pada waktu itu. Gambaran revisionis tentang proses formasi Islam tersebut memang berbeda dengan kebanyakan deskripsi yang selama ini dan secara umum diyakini oleh banyak kaum Muslim, namun kritik sejarah berkata berbeda.[25]
Sebagai agama teologis, Islam memang muncul dan berkembang secara perlahan, yang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, yang meyakini tentang keterlibatan Tuhan dalam proses keselamatan manusia. kemudian sebagai agama historis, Islam baru muncul puluhan tahun setelah Nabi wafat. Historitas tersebut memiliki data sejarah, juga dapat dilacak dan direkontruksi, namun hal tersebut rupanya mendapat reaksi keras dari ahli hadis, sehingga tidak memungkinkan adanya penelusuran sejarah hidup Sang pembawa agama tersebut.[26] padahal dengan menggunakan kacamata historis, yang artinya menempatkan agama atau teks tersebut ke dalam sebuah ruang dan waktu, dalam bingkai sejarah teks ataupun sejarah dari teks itu sendiri, maka akan sangat jelas kelihatan,  makna apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pembawa pesan tersebut. Demikian juga ketika melihat al-Qur’an: sejarah, teks dan konteks, dalam arti, naluri historis tidak hanya sebatas pada nuzul al-Qur’an saja, namun asbab al-nuzul tersebut juga harus diverifikasi melalui penelitian silsilah transmisinya secara menyeluruh, apakah memenuhi persyaratan yang ada! Jika ya, maka kontennya dapat diterima sebagai fakta historis. Sehingga dengan demikian penekanan al-Qur’an sebagai locus clasisius dapat menyingkapkan kreativitas al-Qur’an itu sendiri dalam memproses persoalan-persoalan yang muncul pada zamannya[27]
Yang kedua adalah “Pergumulan Modern”, di mana tema besar ini juga memilki banyak sub-sub tema yang sangat penting, di antaranya; masalah feminisme dan pluralitas agama, argument keniscayaan tafsir kontekstual, Islamic Englightenment, kenapa tidak?, feminisme dan lain-lain. Namun, secara singkat pendekatan revisionis kali ini lebih menitikberatkan pada permasalahan-permasalah yang fenomenal, yang tentu akan sedikit berbeda hasilnya dengan kajian lain pada umumnya, tiga sub tema tersebut adalah, bagaimana memikirkan kembali wahyu al-Qur’an? “ekslusivisme-inklufisfisme-pluralisme”, dan pengunaan dan penyalahgunaan “agama Ibrahim”. Kontekstulisasi Islam telah lama digalakkan oleh para pembaru Islam, misalnya dari Muhammad Abduh hingga Fadlur Rahman. Menurut mereka wahyu al-Qur’an perlu dikontekstualisasikan, yang memerhatikan prinsip-prinsip universal al-Qur’an itu sendiri yang dielaborasi dengan teori “gerakan dua arah”, maksudnya pembaca harus memahami konteks al-Qur’an secara memadai, termasuk juga reader response pada saat itu, di sisi lain juga harus memerhatikan konteks yang mengitari umat Islam zaman sekarang ini. Dengan demikian kontekstualisasi tersebut akan berbuahkan wahyu dalam perspektif yang baru dan transformatif.[28]
Pendekatan-pendekatan tipologi yang diagungkan selama ini ternyata tidak begitu berbuah manis jika dikaji dalam ranah revisionis, yang meskipun masih bisa didialogkan dan memunculkan hasil yang berbeda adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Namun kajian revisionis berkata berbeda, di mana jelas diutarakan bahwa persoalan utama yang dihadapi pendekatan tipologi ekslusivisme-inklufisfisme-pluralisme, adalah deskripsinya yang simplisitis, dan juga cacat metodologis, hal ini dikarenakan pluralis tersebut sepertinya menegasikan ke-superioritasannya, sehingga paham pluralitas dalam pluralisme kurang begitu diperhatikan. Maksudnya adalah tipologi tersebut tidak konsisten, terlalu dipaksakan karena perbedaan, terlalu sempit sehingga perlu ditambahkan pendekatan yang lain, terlalu umum juga karena hanya memotret aspek-aspek partikular dalam sikap keberagaman. Dengan demikian diperlukan sebuah perbaikan metodologis terhadap tipologi-tipologi tersebut, melakukan reinterpretasi atas kategori-kategori tersebut tanpa menambah kategori lain, karena tak seorang pun konstan dalam satu kategori. Seseorang bisa dikatakan inklusif dalam satu kasus tetapi berbeda dalam kasus yang lain. Tipologi tersebut sangat bagus, namun harus menyadari keterbatasanya, dengan lebih memerhatikan isu sentral, aspek universalitas dan partikularitas yang menjadi titik singgung dalam teologi-teologi agama yang ada, artinya harus mempelajari dan menyikapi agama lain lebih serius lagi.[29]
Polemik tentang Abrahamic religions bukan sesuatu yang asing di mata dunia internasional bahkan di Indonesia, di mana Nabi Ibrahim dianggap sebagai figur pemersatu tiga agama yang acapkali bersitegang, yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Namun, dengan pendekatan revisionis jelas memperlihatkan bahwa Abrahamic religions sebagai upaya untuk mendorong dialog antar agama bisa saja tidak berdasar, hal ini dikarenakan faktor historitas figur Abraham tersebut. Di mana menurut Lavenson, figur tentang Abraham yang digambarkan oleh ketiga agama tersebut masing-masing berbeda. Dengan demikian, “agama Ibrahim” tersebut sangat problematik, karena penuh dengan muatan ideologi-teologis ketimbang analitis-historis.[30] Dialog untuk lebih terbuka dan saling memahami dalam kompleksitasnya memang sangat penting, untuk itulah diskusi perlus terus dilakukan, agar semakin mengerti bahwa mereka juga memiliki argumen tekstual dan rasionalitasnya sendiri, atas apa yang mereka percayai dan yakini, namun tidak harus memaksakan persamaan.
Revisionist approach yang ketiga berbicara tentang tema besar yang sangat fenomenal pada zaman sekarang ini yakni “kekerasan dan zaman radikal”. Bisa dikatakan kekerasan memang tidak dapat dihindari dalam perjalanan hidup manusia. Kekerasan terjadi dikarenakan banyak faktor, tidak hanya karena “berbeda”, bahkan antara yang “tidak berbeda pun” sering terjadi. Jika menelusuri sejarah, maka akan segera bertemu dengan macam-macam kekerasan, entah itu kekerasan berbeda agama, maupun kekerasan antara agama yang sama. Contohnya, dalam sejarah agama Islam, ketika Nabi Muhammad telah tiada, terjadi perang saudara pertama, di mana Ali berhasil mengalahkan tiga serangkai yang dipimpin Aisyah (istri Nabi Muhammad yang termuda), khalifah memimpin tentaranya guna memerangi tentara Muslim yang lain.[31] Bahkan di Indonesia sendiri pun terjadi kekerasan antara sesama Muslim. Pada tahun 2005 yang lalu, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sebuah fatwa, yang kemudian fatwa tersebut memicu tindakan kekerasan “Muslim Konservatif” terhadap Ahamadiyah di Jakarta, yang kemudian kekerasan tersebut segera disusul dengan dengan pola kejadian kekerasan yang sama di daerah lain, seperti di Banyuwangi, Bandung, dan lain-lain.[32] Demikian juga dalam Kekristenan pada abad ke-16 yang lalu, di mana kaum Anabaptis mengalami kekerasan bahkan pembunuhan hanya karena berbeda pandangan dengan Kekristenan yang lain, baik dengan Katolik maupun Gereja-gereja reformasi pada waktu itu.[33] Intinya adalah, perlu olahan yang baik, bagaimana caranya memahami dan menafsirkan ayat-ayat kekerasan dalam kitab suci, perlu pemahaman secara kontekstual, dan tidak bisa disamakan dengan keadaaan zaman di mana kitab suci tersebut ada ataupun perlu perhatian terhadap konteks yang melatarbelakangi teks-teks tersebut. Contohnya, terjadi suatu perang karena itulah satu-satunya cara mereka bertahan hidup pada waktu itu, dan tentunya hal tersebut tidak berlaku lagi di zaman sekarang.[34] Perlu suatu kajian revisionis yang mengkritisi ayat-ayat polemik tertentu, entah itu dalam Islam maupun Kristen, pendekatan baru terhadap ayat-ayat Jihad, “eksklusivisme agama dan pluralisne politik”, kontroversi-kontroversi tokoh-tokoh agama, politik takfir, polemik kepemimpinan non-Muslim dan lain-lain.
Dialog-Dialog Perbedaan
Mengendornya dialog lintas agama membuka ruang bagi menguatnya ketegangan dan intoleransi, sehingga wacana dan praksis dialog, baik secara sosiologis, pragmatis maupun teologis, apalagi kultural harus terus dikobarkan.[35] Perbedaan-perbedaan yang menimbulkan polemik mestilah didialogkan, dialog untuk membuka suatu pemahaman dan cakrawala yang baru. Namun, dalam konteks masyarakat Indonesia dialog budaya adalah hal yang utama yang harus dilakukan, mengingat proses masuknya Islam ke nusantara agak berbeda dengan tempat lain, yang salah satunya terkenal dengan istilah Islamicate yang sangat dekat dengan dialog dan akulturasi budaya. Mun’im Sirry secara eksplisit mengungkapkan tema-tema dialog yang selama ini fenomenal, diantaranya; Mungkinkah Yesus sebagai Tuhan bagi kaum Muslim? Mungkinkah Muhammad sebagai Nabi bagi umat Kristiani? umat Kristen itu kaum beriman bukan kafir, siapakah orang kafir itu? telaah kronologis dan semantic al-Qur’an, Injil Muslim, kaligrafi Islam dan Ikonografi Kristen, dan lain-lain. Tema-tema besar tersebut selalu mengitari kehidupan umat Islam dan Kristen di mana pun mereka berada. Tema-tema besar tersebut perlu terus dikritisi dan didialogkan dalam semangat bukan untuk mencari pembenaran namun kemengertian, memahami jika orang lain itu berbeda dan mengolah perbedaan tersebut. Meskipun dengan pembicaraan yang sangat alot, akhirnya kedewasaan berdialog jugalah yang membuat para founding fathers Bangsa Indonesia (mereka adalah tokoh-tokoh Islam dan Kristen) merumuskan dan menetapkan dasar tanah air tercinta ini, yaitu Pancasila.[36]

Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia
Sejarah panjang pertautan antara Islam-Kristen sudah bukan rahasia lagi, dan tidak perlu ditutup-tutupi, bahwa ada permasalahan serius yang penuh liku-liku dan konfliktual yang harus diselesaikan bersama, baik di seluruh dunia maupun di Indonesia. Oleh karena itu penting sekali meretas kehidupan yang harmonis antara kedua agama semitik ini sesegera mungkin, dan hal tersebut telah dicontohkan oleh kedua tokoh besar Kristen dan Islam, yakni Syeikh al-Azhar dan Paus. Hal tersebut menyiratkan suatu pesan yang jelas, yang harus dibaca oleh semua orang yakni “mari lupakan kekelaman masa lalu yang sulit itu demi merajut kehidupan dunia sekarang ini, bahkan di masa depan yang lebih baik lagi”.[37] Islam di semenanjung nusantara adalah Islam yang istimewa dikarenakan berbeda dengan warna Islam di belahan dunia lainnya, apalagi dengan warna Islam di Arab? Islam di Indonesia mempunyai warna sendiri, meskipun masing-masing warna Islam di setiap pelosok tanah air memiliki ciri khas masing-masing juga. Hal ini dikarenakan proses masuknya Islam ke nusantara juga unik. Menurut para pakar, Islam sudah masuk ke kepulauan nusantara pada abad ke-13 Masehi, melalui jalur perdagangan, di mana proses dikenal dengan istilah Islamicate, masuknya Islam tersebut diperkirakan melalui tiga jalur (teori) yakni dari Gujarat, Persia, dan Mekkah.[38] Menurut Bambang Noosena, perlu suatu dialog yang terbuka, jujur dan bermartabat, mengingat kajian-kajian dari sudut pandang bahasa dan budaya Timur Tengah yang menyangkut hubungan Kristen-Islam di negara-negara Arab tersebut, bahwa secara historis mereka memiliki warisan sejarah bersama.[39] Namun, hal tersebut cukup asing di Indonesia, dan karena Kekristenan di Indonesia bukan dari Timur Tengah malahan Eropa, sehingga perbedaan celah itu seakan bertambah lebar karena ada bumbu sentiment “masa lalu” (misalnya perang salib, Kristen dianggap agama penjajah, dan lain-lain) yang sudah berakar urat, dan akan berbeda ceritanya jika Kekristenan Indonesia berasal dari Timur Tengah, yang berarti memilki sumber yang sama dengan Islam.
Kerjasama tersebut juga terlihat ketika Indonesia merdeka, di mana perjuangan tersebut merupakan perjuangan seluruh rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya pejuang-pejuang Islam dan Kristen, bahkan ketika merumuskan dasar Negara pun mereka duduk bersama-sama, hal tersebut menandakan adanya kerjasama yang baik. Jika diruntut dari sejarah pun, lama sebelum Indonesia merdeka telah ada persingungan Islam dan Kristen dalam sejarah dan juga teologis, salah satu contohnya adalah Kyai Sadrah. Ajaran Kyai Sadrach dianggap tidak sepenuhnya "murni", bahkan ada yang menganggapnya masih mengadopsi nilai-nilai mistik Jawa yang dimuati spiritualitas Islam, yang disebut ngelmu Kristen”.[40] Jadi bisa dikatakan, bahwa hubungan Islam dan Kristen pada waktu kemerdekaan dan sebelum kemerdekaan cukup kondusif dan damai. Hal tersebut juga karena dipengaruhi oleh pandangan Muslim Indonesia yang melihat bahwa antara agama dan budaya yakni budaya Indonesia yang ramah, dan menjunjung tinggi toleransi, yang di dalamnya Kristen merupakan salah satu bagiannya, juga karena memandang Islam merupakan sebuah agama yang terbuka, toleransi, menghargai orang lain, tentram, dan damai.[41]
Konflik di Ambon (Maluku) yang kemudian meluas menjadi konflik agama pada tahun 1999 yang lalu menorehkan luka yang dalam bagi tanah air, di mana konflik tersebut sebenarnya bukan masalah agama saja, tetapi juga masalah kesenjangan, ideologi dan lain-lain yang sangat kompleks.[42] Hal-hal yang nampak seakan-akan permukaan saja, namun yang paling penting diselesaikan sebenarnya adalah luka-luka dalam, yang telah lama menggerogoti sesama pemeluk agama di Indonesia. Hal tersebut bisa dilihat dari ormas-ormas Islam yang radikal yang bermunculan di tanah air, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Umat Islam (FUI), Front Pembela Islam (FPI) dan lain-lain.[43] Salah satu dampak dari permasalahan tersebut bisa terlihat dalam aksi fenomenal 2 Desember 2016 (212). Di mana begitu banyak solidaritas dari berbagai umat Islam dari beberapa pelosok tanah air yang datang ke Jakarta, hanya untuk mengikuti acara tersebut, padahal mereka belum tentu tahu duduk perkaranya seperti apa sebenarnya.[44] Meskipun jumlah mereka sebenarnya sangatlah kecil dibandingkan Islam-Islam yang berwajah nusantara, yang Moderat, seperti Muhammadyah, NU dan lain-lain, namun bisa juga menjadi ancaman yang sangat serius, karena memiliki pola pengkaderan pengikut yang sistematis dan sporadis.
Oleh karena itu merajut kembali perdamaian dengan segala perbedaan yang ada dalam keselarasan sosial melalui kenusantaraan yakni, tradisi, kultur, dan kepercayaan dalam pemahaman nilai-nilai dan rekonsiliasi, adalah hal yang sangat genting yang harus terus dilakukan dan tidak boleh padam. [45] Pendidikan spiritual yang kritis, penuh cinta yang berkultur dan berdialog mempertimbangkan transmisi pengetahuan yang revisionis adalah kunci dari perdamaian yang terintegrasi dan berkelanjutan yang harus diutamakan. Perdamaian membawa hubungan Islam-Kristen kepada keselarasan, kepada pemahaman bahwa perdamaian adalah proses sosial dan historis, perdamaian juga membawa kepada dekonstruksi persepsi yang merugikan/penyimpangan yang salah paham, dan perdamaian adalah suatu kekuatan untuk dekolonisasi, perdamaian untuk membasmi ketidakpercayaan, kelesuan, konflik, devisi dan kebencian.[46] Yosep Harbelubun, dalam jurnal teologinya juga menekankan hal yang sama, tentang betapa pentingnya membangun persaudaraan yang sejati antara lintas iman dan agama dengan berbasiskan pada kebudayaan masyarakat dan kearifan lokal, sehingga agama-agama dapat tampil secara relevan dan kontekstual di tengah-tengah masyarakat yang beragam.[47]
Penutup
Dengan pemaparan yang panjang lebar seperti di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa pendekatan dengan model Islam nusantara dan Islam revisionis adalah salah satu langkah yang sangat tepat dalam menjawab tantangan perdamaian yang positif di seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya menjalin dan menjaga relasi Islam-Kristen agar tetap harmonis di tengah perbedaan yang ada, dalam suatu mahligai persahabatan.  Model Islam nusantara dan Islam Revisionis tentu seperti gayung bersambut dengan Kekristenan dalam merajut damai bersama dengan penuh kasih dalam cinta dan empati, sebagai wujud kecintaan kepada Allah dalam kehidupan sehari-sehari dalam berbangsa dan bernegara dalam bumi nusantara ini. Merajut damai tersebut dengan pendekatan Islam nusantara yang berbasiskan budaya sangatlah tepat dan seiring dengan pandangan Kekristenan yang mengayomi budaya. Bukan suatu pemandangan yang baru lagi ketika melihat ibadah dalam Kekristenan dengan menggunakan gamelan, angklung, serta berpakaian kebaya ataupun beskap (pakaian adat Jawa), juga bukan hal yang aneh ketika menemukan corak gereja yang berakulturasi dengan budaya lokal misalnya Gereja Kristen Pniel Blimbingsari di Bali, Gereja Kristen Jawi wetan (GKJW) dan lain-lain. Juga bukan hal yang baru lagi ketika menemukan dialog Islam-Kristen di suatu tempat, entah itu di gereja ataupun di masjid, entah itu di Universitas Islam maupun Kristen.[48]
Nilai-nilai kenusantaraan yang berbudaya, bertoleransi, yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal sangat cocok dengan dengan realitas sosial di Indonesia demi merajut suatu perdamaian.[49] Islam Revisionis yang sangat terbuka dan kritis sangat cocok dengan salah satu metode pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam Kekristenan selama ini, yang terbuka dan kristis, dalam kesejarahan, ideologis dan lain-lain.[50] Dengan pandangan tersebut maka besar kemungkinan terjadi suatu dialog yang sehat, dialog dengan tingkat keterlibatan yang tinggi dari berbagai pihak, juga berbagi pandangan dan pengalaman dalam bentuk tukar pikiran, bekerjasama, bahkan berkolaborasi dalam relasi kehidupan bersama sehingga tercipta suatu tujuan yang spesifik.[51] Pendekatan dengan nilai-nilai kenusantaraan dan revisionis tersebut harus diupayakan dan digalakkan terus oleh dan untuk semua pihak, tidak hanya non-elitis, tetapi juga sampai akar-rumput, apalagi oleh para petinggi bangsa, sehingga agama-agama yang ada tidak menghilangkan budaya-budaya nusantara, namun justru merawat dan melestarikannya dengan tetap berarah untuk sama-sama memajukan bangsa dan negara. Jadi benar, seperti yang Presiden Soekarnao pernah ungkapkan, “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”[52]










DAFTAR PUSTAKA
Sumanto Al Qurtuby. 2011. Among the Believers: Kisah Hidup Seorang Muslim Bersama Komunitas Mennonite Amerika, Ngaliyan Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama.
Seri Studi Intensif Tentang Islam. 2016. Menuju Perjumpaan Otentik Islam-Kristen, Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia dan Pusat Studi Agama-Agama Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana.
Kyai Heri. 2018. Islam Nusantara. Kunjungan ke Pesantren Lintang Sanga oleh Mahasiswa/i Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Angkatan 2017. Yogyakarta, 21 Nopember 2018.
Wahid, Abdurrahman. 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute.
Setara Institute. 2012. Dari Radikalisme Menuju Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah dan D.Y. Yogyakarta, Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara.
Mun’ im Sirry. 2018. Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press.
John L. Esposito. 1998. Islam Warna Warni: Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus”, Yogyakarta: Paramadina.
Ropi, Ismatu. 2010. Islamism, Government Regulation, and the Ahmadiyah Controversies in Indonesia, Al-Jami’ah, vol. 48, no. 2, 2010.
Paulus Sugeng Wijaya. 2008. Engaging The State: A Study on Sixteenth Century Anabaptist View of State, Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia.
Nurcholish Madjid. 1995. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina.
Bambang Noorsena. 2006. The History of Allah: Mengurai Polemik Seputar Asal-usul Keabsahan dan Penggunaan Kata Allah Serta Perkembangan Makna Teologisnya, Yogyakarta: Andi.
Muhammad Iqbal. 2003. Islam dan Perdamaian, Jakarta: Progres.
Yosep Harbelubun. 2017. Membangun Persaudaraan Lintas Iman Dengan Berbasis pada Kebudayaan Masyarakat Adat Kei, Gema Teologika, vol. 2, no. 1, 2017.
Hayes, John H. and Carl R. Holladay. 1982. Biblical Exegesis, London: John Knox Press.

Situs

http://www.nu.or.id/post/read/93570/salah-kaprah-memahami-islam-nusantara, diakses 10 Oktober 2018.











https://tirto.id/pribumisasi-kristen-dan-warisan-kiai-sadrach-camE, diakses 20 Oktober 2018.

Nurasrihakimah.web.unej.ac.id, diakses 20 Oktober 2018.









[1] https://jagokata.com/kutipan/kata-Pandji+Pragiwaksono.html
[2] https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150614_indonesia_islam_nusantara
[3] Sumanto Al Qurtuby, Among the Believers: Kisah Hidup Seorang Muslim Bersama Komunitas Mennonite Amerika, Ngaliyan Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama, 2011, hal. 183-184
[4] Seri Studi Intensif Tentang Islam, Menuju Perjumpaan Otentik Islam-Kristen, Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia dan Pusat Studi Agama-Agama Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, 2016, hal. 147-148
[5] http://liputanislam.com/kajian-islam/makna-islam-nusantara/
[6] Seri Studi Intensif Tentang Islam, Menuju Perjumpaan Otentik Islam-Kristen, Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia dan Pusat Studi Agama-Agama Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, 2016 hal. 151. Menurut M. Amin Abdullah, Islam Indonesia adalah Islam yang lahir dan mengakar dalam Keindonesiaan, menghujam dan tertanam kuat dalam hati dan sanubari, yang menyentuh feeling of the people masyarakat Indonesia
[7] Seri Studi Intensif Tentang Islam, Menuju Perjumpaan Otentik Islam-Kristen, Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia dan Pusat Studi Agama-Agama Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, 2016, hal. 152
[8] Kyai Heri adalah pengurus Pondok Pesantren Lintang Sanga di Bantul Yogyakarta
[9] Kyai Heri. 2018. Islam Nusantara. Kunjungan ke Pesantren Lintang Sanga oleh Mahasiswa/i Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Angkatan 2017. Yogyakarta, 21 Nopember 2018
[10] Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009, hal. 14-15
[11] http://www.islamnusantara.com/islam-nusantara-apa-itu/
[12] http://www.nu.or.id/post/read/93570/salah-kaprah-memahami-islam-nusantara
[13] http://digilib.uin-suka.ac.id/15503/1/BAB%20I%2C%20V%2C%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
[14] Seri Studi Intensif Tentang Islam, Menuju Perjumpaan Otentik Islam-Kristen, Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia dan Pusat Studi Agama-Agama Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, 2016, hal. 156-157
[15] https://satuislam.org/islam-dan-akulturasi-budaya/
[16] Setara Institute, Dari Radikalisme Menuju Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah dan D.Y. Yogyakarta, Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2012, hal. 2
[17] https://www.qureta.com/post/sang-revisionis-itu-bernama-mun-im-sirry
[18] Mun’ im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. ix
[19] https://www.qureta.com/post/sang-revisionis-itu-bernama-mun-im-sirry
[20] https://islami.co/akar-masalah-beragama-dengan-eksklusif/
[21] https://www.kompasiana.com/sasmitonugroho/54f83227a33311cd5d8b4778/sikap-inklusif
[22] https://www.qureta.com/post/sang-revisionis-itu-bernama-mun-im-sirry
[23] Mun’ im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. xiii-xiv
[24] John L. Esposito, Islam Warna Warni: Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus”, Yogyakarta: Paramadina, 1998, hal. 6
[25]     Mun’ im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. 3
[26] https://geotimes.co.id/kolom/kapan-islam-sebagai-agama-muncul/
[27] Mun’ im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. 13-14
[28] Mun’ im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. 73-75
[29] Mun’ im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. 97-100
[30] Mun’ im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. 105-107
[31] John L. Esposito, Islam Warna Warni: Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus”, Yogyakarta: Paramadina, 1998, hal. 49-50
[32] Ismatu Ropi, “Islamism, Government Regulation, and the Ahmadiyah Controversies in Indonesia”, Al-Jami’ah, Vol. 48, no. 2 (2010), hal. 304-305
[33] Paulus Sugeng Wijaya, Engaging The State: A Study on Sixteenth Century Anabaptist View of State, Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2008, hal. 31
[34] Mun’ im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. 129-131
[35] Mun’ im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. 244
[36] Lih. Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 4
[37] Mun’ im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. 225
[38] https://www.coretanzone.id/2017/10/proses-dan-teori-masuknya-islam-di-indonesia-nusantara.html
[39] Bambang Noorsena, The History of Allah: Mengurai Polemik Seputar Asal-usul Keabsahan dan Penggunaan Kata Allah Serta Perkembangan Makna Teologisnya, Yogyakarta: Andi, 2006, hal. viii-ix
[40] https://tirto.id/pribumisasi-kristen-dan-warisan-kiai-sadrach-camE
[41] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 64
[42] Nurasrihakimah.web.unej.ac.id
[43] http://redaksiindonesia.com/read/ini-dia-6-ormas-yang-harus-dibubarkan-pemerintah.html
[44] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171201093147-20-259428/bingkai-kenangan-tentang-rizieq-dan-ahok-di-reuni-alumni-212
[45] Muhammad Iqbal, Islam dan Perdamaian, Jakarta: Progres, 2003, hal. 65
[46] Muhammad Iqbal, Islam dan Perdamaian, Jakarta: Progres, 2003, hal. 154-155
[47] Yosep Harbelubun, “Membangun Persaudaraan Lintas Iman Dengan Berbasis pada Kebudayaan Masyarakat Adat Kei”, Gema Teologika, vol. 2, no. 1 (2017), hal. 76
[48] https://gkjw.or.id/berita/studi-kristen-islam-budaya-dan-agama/
[49] http://www.nu.or.id/post/read/59035/apa-yang-dimaksud-dengan-islam-nusantara
[50] Lih. Hayes, John H. and Carl R. Holladay, Biblical Exegesis, London: John Knox Press, 1982, p. 52-61
[51]   Mun’ im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. 249
[52] https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/01/13/ojpzj5319-kalau-jadi-islam-jangan-jadi-orang-arab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Sejarah Natal yang Menyejarah

Teologi Bencana