Merajut Damai dan Merawat Perbedaan: Sebuah Studi Terhadap Islam Nusantara dan Islam Revisionis Serta Implikasinya Terhadap Hubungan Islam-Kristen
PENDAHULUAN
Perbedaan adalah hal yang tidak bisa dihindari ketika
manusia hidup dalam suatu teritorial tertentu. Seringkali perbedaan-perbedaan
yang ada menjadi alat pemecah persatuan dalam suatu bangsa, komunitas,
golongan, bahkan keluarga. Namun, ketika perbedaan itu bisa dikelola dengan
baik, perbedaan-perbedaan justru adalah alat pemersatu, bahkan “memperkaya”,
memperindah, yang kalau diibaratkan seperti harmonisasi sebuah lagu menjadi simponi
yang indah, yang terdiri dari nada-nada yang berbeda. Pandji Pragiwaksono
pernah berkata, “bukan urusan kita membuat seisi bumi menjadi seragam, tugas
kita adalah hidup nyaman, damai, dengan perbedaan tersebut”.[1]
Semangat damai merupakan awal dari keterbukaan, sehingga perbedaan-perbedaan
yang ada tidak semakin meruncing, dan melukai satu dengan yang lainnya, bahkan
melukai diri sendiri. Oleh karena itu, penulis sangat tergugah untuk mempelajari
lebih dalam tentang “Islam Nusantara” yang keindonesiaan dan juga “Islam
Revisionis” yang menurut pandangan Mun’im Sirry sangat terbuka dan kritis secara
akademis, sehingga tercipta suatu dialetika keilmuan yang tentunya sangat
dibutuhkan di tengah sepinya dentuman ide besar dalam kepelbagaian keberagaman
hidup di nusantara ini. Dengan demikian semangat penerimaan antara satu dengan
yang lain bisa terajut dengan baik dalam semangat merawat perbedaan yang ada,
sehingga tidak hanya terjadi dialog secara “keseluruhan”, tidak hanya
non-elitis, tetapi juga sampai akar-rumput antara pemeluk agama, khususnya
Islam-Kristen sehingga terjalin hubungan baik antara keduanya demi kebaikan
bersama, di masa kini juga di masa depan.
PEMBAHASAN
Islam
Nusantara
Said Aqil Siradj sebagai ketua Pengurus Besar
Nahdatul Ulama (PBNU) mengatakan “NU akan terus memperjuangkan dan mengawal
model Islam Nusantara”.[2]
Islam Nusantara memang istilah yang baru di kalangan umat Muslim di Indonesia,
yang meskipun kemunculan istilah Islam Nusantara tersebut masih terus menjadi
sebuah perbincangan yang hangat di kalangan umat Islam itu sendiri. Bagaimana
pun itu hanyalah sebuah istilah, istilah yang merupakan respon dari NU ketika
begitu banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang mencoreng wajah Islam itu
sendiri, baik di dunia Internasional maupun di Indonesia, yang memandang Islam
hanya dari kelompok Islam “militan-konservatif-radikal”, sehingga membentuk
semacam “Islamofobia”.[3]
Menurut M. Amin Abdullah, NU mengangkat isu dan tema Islam Nusantara merupakan
respon sosial-kultural sekaligus politik ketika Indonesia pasca reformasi 1998
dihadapkan pada situasi sulit menghadapi situasi global-internasional dengan mengemukanya gerakan transnasionalisme yang ekspansif dari
Timur Tengah yang kemudian berpadu dengan munculnya Arab Spring dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).[4]
Di mana agama Islam acapkali digunakan sebagai justifikasi terjadinya
kekerasan, perusakan-perusakan, bahkan pertumpahan darah, maka dari itu, cara
ber-Islam yang penuh damai sebagaimana di nusantara ini kembali terafirmasi
sebagai tafsir yang paling memadai untuk masa kini, yakni Islam Nusantara. Terma
Islam Nusantara bukanlah bentuk pengembangan agama Islam. Islam Nusantara itu adalah
paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara
teks syariat dengan realita dan budaya setempat.[5]
Istilah untuk Islam Nusantara memiliki esensi yang
sama dengan Islam Indonesia (bukan Islam di Indonesia),[6]
di mana proses mengislamisasi nusantara ini terbilang cukup damai, dan dengan
menggunakan strategi sosial-kultural, yang memusatkan perhatian pada adat
istiadat yang dimodifikasi dan diubah menjadi alat ataupun instrumen penyampai
pesan melalui budaya, sastra, seni, dan lain-lain.[7]
Hal senada juga disampaikan oleh Kyai Heri,[8]
beliau memaparkan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang merangkul,
menghormati, memelihara, serta melestarikan budaya asli, yang berkarakterkan
sesuai dengan kondisi ke-Indonesiaan yang rahmah
(pengasih), anti radikal, inklusif, toleran, dan tasawuf.[9]
Islam Nusantara juga memandang, bahwa yang penting adalah substansi dari Islam
itu sendiri, sehingga mempertimbangkan dan menghargai budaya, sesuai konteks
rakyat Indonesia. Misalnya, menggunakan peci dan sarung ketika sholat, karena
itulah budaya Indonesia dan hanya ada di Indonesia. Puji-pujian, tahlilan, buat
miniature, maulidan, sekaten, dekahan, kenduran, mudik, lebaran, sorjan,
blangkom, istighosah, seton, syiir, tembang, wayang, baju adat, orkes, dan lain
sebagainya. Jika di Arab melakukan Zikir, maka di nusantara adalah mujahadah, ketika
merayakan hari raya Kurban yang dipersembahkan adalah unta, maka di Indonesia yang
dipersembahkan adalah sapi atau kambing. Kalau budaya itu baik mengapa harus
dihilangkan?
Terma Islam Nusantara tersebut juga senada dengan
apa yang pernah disampaikan oleh K. H. Abdurrahman Wahid, bahwa sejarah adalah
saksi, bahwa nusantara ini sangat kaya dengan nilai-nilai luhur, yang beragam,
berprinsip “Bhineka Tunggal Ika” telah mengilhami penguasa nusantara dari zaman
ke zaman, bahkan Sunan Kalijogo sangat terkenal akomodatifnya terhadap budaya
lokal-mendidik para penguasa pribumi tentang Islam yang damai, toleran, dan spiritual.
Sunan Kalijogo bahkan meneruskan nilai-nilai luhur tersebut sehingga
terlestarikan sampai sekarang ini.[10]
Demikianlah Islam di semenanjung nusantara ini hadir dalam rentangan sejarah, yang
bertumbuh dan mekar menebar kasih, dan damai.[11]
Islam Nusantara yang dekat dan bersahabat dengan keberagaman, yang tidak
mempertentangkan nilai-nilai agama dengan adat-istiadat setempat, serta
merangkul, melestarikan, bahkan mengembangkan budaya maupun, yang dalam
prakteknya mengedepankan nilai-nilai toleransi.[12]
Jejak Islam nusantara tersebut masih sangat
terang-benderang kelihatan sampai sekarang ini, masih banyak bukti yang dapat
kita temukan tentang cara penyebaran agama tersebut yang erat dengan warna dan
kebiasaan masyarakat lokal yang sering disebut dengan istilah Islamicate. Proses Islamicate sendiri adalah proses yang sangat kompleks, yang bahkan
juga melibatkan orang non-Muslim, di mana terjadi dialog yang lentur dan persuasif
serta dengan suka rela. Contoh dialog tersebut bisa ditemukan
dalam akulturasi budaya, entah itu lewat seni rupa, bangunan, karya satra,
lagu-lagu tembang lokal dan lain-lain. Seperti Masjid Mataram Kotagede
Yogyakarta misalnya, Masjid ini merupakan Masjid yang berasal dari sebuah
proses akulturasi beberapa budaya, bahkan termasuk agama. Berdasarkan
penelitian, setidaknya terdapat tiga unsur budaya dalam masjid ini yaitu budaya
Islam, Jawa, dan Hindu, di mana unsur Islam terdapat pada mimbar, mihkrab dan
tempat wudhu, sementara unsur Jawa terdapat pada bentuk masjid dan tiang
penyangga atap, serta gapura paduraksa dan
motif hias keliling pagar masjid merupakan unsur kebudayaan agama Hindu.[13]
Masih banyak akulturasi budaya yang dapat ditemukan
di Indonesia sebagai bagian dari proses Islamicate,
misalnya; Kanjeng Kyai Surya Raja:
Kitab Pusaka Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tembang Macapet, tembang Tamba
Ati Ana Lima, dan lain-lain.[14]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses Islamicate melalui budaya Nusantara oleh para tokoh-tokoh Islam
terdahulu, juga berbarengan seiring dengan proses penusantaraan nilai-nilai Islam
itu sendiri, sehingga keduanya saling melebur menjadi entitas baru yang
kemudian disebut sebagai Islam Nusantara.[15]
Jadi kerinduan akan Islam yang berdialog, rahmatan lil alamin, cinta damai,
moderat, adil, dan toleran, serta menjunjung tinggi pluralitas dan humanisme bukan
lagi hanya sebuah harapan dan sekedar kerinduan, namun telah menjadi sebuah
kebutuhan, bahkan kebutuhan yang genting. Kebutuhan akan Islam Nusantara yang
sejuk yang bernilai kenusantaraan menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi
di tengah semakin merebaknya praktik-praktik intoleransi dan radakalisme yang
bertransformasi menuju terorisme.[16]
Pada titik singgung Islam Nusantara tersebutlah terbentuk dialog, keterbukaan
antara satu dengan yang lainnya, bahkan antara agama dan budaya yang berbeda
sebagai investasi besar bagi tumbuh dan berkembangnya rasa toleransi,
menghargai perbedaan, sikap penerimaan antara satu dengan yang lainnya dalam
semangat damai yang harus terus disemai, disirami, dirawat, bahkan dirayakan
dengan kerendahan hati, dengan segenap kekuatan yang dimiliki demi kemaslatan
dan kedamaian bersama yang hidup dalam rumah nusantara yang tercinta ini.
Islam
Revisionis
Ketika berbicara tentang Islam Revisionis, maka secara
otomatis tidak bisa terlepas dari figur seorang cendekiawan Muslim Indonesia sebagai
penggagasnya yakni Mun’im Sirry. Ia adalah salah satu tokoh Islam yang sudah
tidak asing lagi di tanah air yang memiliki semangat yang sama dengan para
cendikiawan Islam era 1970-an pendahulunya, seperti Harun Nasution, A. Mukti
Ali, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib.[17]
Islam Revisionis bukanlah sesuatu yang baru dalam pergulatan keagamaan di
seluruh dunia, bahkan juga di Indonesia. Sebagai intelektual Muslim yang
memiliki semangat merevisi, Mun’im Sirry mencoba untuk melakukan suatu upaya revisionist approach dalam kajian Islam.
Di mana kajian ini mencoba menawarkan wacana-wacana baru, suatu cara dan cara
pandang dari pespektif lain, yang sebenarnya selama ini juga sudah dikenal
dalam masyarakat Islam tertentu. Taken
for granted, skeptisisme radikal, kegaduhan intlektual acapkali mewarnai
perjalanan kajian Islam itu sendiri, yang selama ini sepertinya sudah menjadi
pemandangan yang biasa, sehingga pendekatan historis kritis terhadap kajian
Islam itu sendiri perlu terus digelorakan.[18]
Oleh karena itu Masyarakat Muslim, khususnya yang ada Indonesia, senantiasa
ditantang untuk bersikap kritis terhadap pemahaman keagamaannya sendiri. [19]
Tentu saja semua fenomena itu menjadi hal yang menarik, yang mendorong
terjadinya sebuah perubahan, perubahan yang baik tentunya, meskipun tidak bisa
dipungkiri kajian baru tersebut bisa saja menimbulkan pro dan kontra. Hal ini
dikarenakan masih ada saja umat Islam yang memiliki stereotip berpikir yang eksklusif.[20]
Sikap eksklusif tersebut sangat berbeda bahkan cendrung bertolak belakang
dengan cara berpikir inklusif, yakni suatu sikap yang memandang positif
perbedaan yang ada, serta berusaha menerima bahkan menggunakan sudut pandang
orang lain atau kelompok lain dalam memahami sebuah masalah.[21]
“Pucuk dicinta ulam pun tiba”, adalah sebuah
pribahasa yang sudah tidak asing lagi di telinga orang-orang Indonesia, maksud
pribahasa tersebut kurang lebih hendak mengungkapkan suatu perasaan yang baik
dan senang, ketika sesuatu kebutuhan tercapai, ketika hal yang terjadi sesuai
harapan, bahkan melampaui yang dicita-citakan. Kurang lebih semangat seperti
pribahasa tersebut jugalah yang harus digelorakan terus, antara sikap
inklusifisme menuju semangat revisionis, yang diibaratkan sebagai sebuah sikap
cinta, yang menyatu dalam keharmonisan, yang merupakan suatu kebutuhan,
harapan, bahkan melampaui yang dicita-citakan oleh banyak pihak sebagai suatu
kajian yang baru menuju suatu terobosan yang baru pula. Sikap inklusifisme yang
kritis adalah salah satu pintu masuk bagi Islam Revisionis, di mana ada
keterbukaan di sana, keterbukaan yang mendobrak stagnasi dan menumbuhkan
ide-ide baru, yang mengeksplorasi tanpa dibatasi sekat-sekat dan pandangan masa
lalu dan masa kini yang telah “terkondisi”. Trayek perjalanan revisionis
berangkat dari sebuah pikiran intlektualitas, juga pengalaman-pengalaman, dan
jalan spritualitas tertentu, yang didukung begitu banyak teori dan pengetahuan
dalam refleksi yang kritis yang mengacu kepada teori-teori perkembangan Islam.
Perkembangan Islam tersebut dicetuskan oleh Kuntowijoyo, yang kemudian
membaginya menjadi tiga periode yang dibuat berdasarkan sosiologi pengetahuan, dengan
melihat bentuk-bentuk kesadaran umat dalam suatu masa. Revisionist approach bukanlah hal yang baru, revisi-revisi kritis,
neomodernis tesebut telah lama digulirkan oleh tokoh-tokoh Islam sebelumnya,
seperti Nashr Hamid Abu Zayd, Ali Abd al-Razaq, Thaha Husein, Fazlur Rahman,
Mohammed Arkoun, Muhammad Iqbal, atau juga para pemikir-pemikir di dunia Barat.[22]
Revisionalisme Islam tidak bisa terlepas dari
asal-usul dan kontribusinya, perbincangan yang kritis tentang masa awal-awal
Islam adalah hal yang wajib dilakukan. Begitu juga dengan era modern dengan
segala dilemanya, perlu suatu upaya yang konsisten, yang terus melakukan sebuah
olah kritik diri menuju dialog dalam sebuah perbedaan.[23]
Upaya pendekatan revisionis tersebut pasti menguras banyak tenaga dan energi. Oleh
karena itu harus objektif dan menanggalkan kepertingan-kepentingan tertentu
yang bisa mengintervansi hasil dari olahan tersebut. Harus tetap fokus dan
memerhatikan dengan seksama sumber-sumber lisan maupun tulisan,
kritik-historis, latar belakang, sejarah teks, dan konteks, kronologis,
ideologis, pandangan teologis, arkeologis, tradisi-tradisi dan budaya, tafsir holistik,
pengaruh masa-masa pencerahan, tipologi-tipologi keagamaan,
metodologis-metodologis kajian tertentu, polemik-polemik, dan “agama Ibrahim”,
dan lain sebagainya. Itu semua adalah hal yang harus digali dan diteliti lebih
jauh dan lebih dalam, sehingga dari kajian Islam Revisionis tersebut, pemahaman-pemahaman
yang selama ini telah stagnan ataupun terkondisi bisa terekonstruksi maupun didekonstruksi
kembali, sehingga mengahasilkan cakrawala pemikiran yang ditransformasi,
perspektif yang baru dalam menjawab tantangan iman dalam konteks kekinian.
Di bawah ini terdapat beberapa contoh dari sekian
banyak contoh tentang pengkajian revisionist
approach. Sedikitnya akan dibahas dalam tiga tema besar, dan akan
dijelaskan juga sedikit contoh dari masing-masing sub tema tersebut. Semangat
revisionis yang pertama berbicara tentang Islam awal, di mana sub tema yang
diangkat dari sekian banyak sub tema adalah “menulis sejarah Islam dari
pinggiran, antara Islam historis dan teologis, dan Al-Qur’an : sejarah, teks
dan konteks. Pemilihan sub tema tersebut dimaksudkan mengangkat perbedaan
kajian revisionis, yang menghasilkan hasil yang berbeda dari kebanyakan apa
yang diketahuai umat Islam pada umumnya. Namun, sebenarnya masih banyak
kajian-kajian revisionis yang lain yang sangat menggugah dan mencerahkan jika
dibahas, diantaranya; mitos seputar Nabi Muhammad, hijrah, sejarah dan
pengembangan ritual Islam, puasa dan kesinambungan agama, “Islam gembira”, Idul
Fitri dan terbentuknya identitas keagamaan, dan lain-lain.
Berbicara tentang Islam awal, Mun’im Sirry
menawarkan suatu perspektif yang baru, yakni penulisan sejarah Islam dari kaum
pinggiran, suatu perspektif dari mereka yang ditaklukkan. Ataupun dari
sumber-sumber yang ditulis oleh kaum Yahudi-Kristen sebagai agama profetik,
semitik, yang sama-sama memiliki monoteisme mutlak, yang semuanya
mengasal-usulkan umat mereka kepada Ibrahim, yang terlebih dahulu ada.[24]
Dengan revisionist
approach tentu gambaran yang akan didapatkan pasti berbeda
bukan? Namun, hal tersebut akan sangat berguna, sehingga pemahaman tentang sejarah
masa lalu akan lebih kaya dan juga terpampangkan dengan lebar dan memunculkan
suatu refleksi yang mendalam. Kata “Mashlmane” (Muslim) pertama kali muncul
pada tahun 775 dalam Chronicle of Zuqnin,
ketika itu orang-orang Kristen yang hidup di bagian utara Arabia melihat
perbedaan yang dibawa kamu Muslim, padahal di sana masih terjadi pengaburan
entitas, Kristen dan Muslim menggunakan tempat ibadah yang sama, makan bersama,
dan juga terjadi kawin silang antara mereka, bahkan kedermawanan para penguasa
Muslim mendanai pembangunan gereja dan biara Kristen bukanlah suatu pemandangan
yang asing pada waktu itu. Gambaran revisionis tentang proses formasi Islam
tersebut memang berbeda dengan kebanyakan deskripsi yang selama ini dan secara
umum diyakini oleh banyak kaum Muslim, namun kritik sejarah berkata berbeda.[25]
Sebagai agama teologis, Islam memang muncul dan
berkembang secara perlahan, yang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, yang
meyakini tentang keterlibatan Tuhan dalam proses keselamatan manusia. kemudian
sebagai agama historis, Islam baru muncul puluhan tahun setelah Nabi wafat.
Historitas tersebut memiliki data sejarah, juga dapat dilacak dan
direkontruksi, namun hal tersebut rupanya mendapat reaksi keras dari ahli
hadis, sehingga tidak memungkinkan adanya penelusuran sejarah hidup Sang
pembawa agama tersebut.[26]
padahal dengan menggunakan kacamata historis, yang artinya menempatkan agama
atau teks tersebut ke dalam sebuah ruang dan waktu, dalam bingkai sejarah teks
ataupun sejarah dari teks itu sendiri, maka akan sangat jelas kelihatan, makna apa yang sebenarnya ingin disampaikan
oleh pembawa pesan tersebut. Demikian juga ketika melihat al-Qur’an: sejarah,
teks dan konteks, dalam arti, naluri historis tidak hanya sebatas pada nuzul al-Qur’an saja, namun asbab al-nuzul tersebut juga harus
diverifikasi melalui penelitian silsilah transmisinya secara menyeluruh, apakah
memenuhi persyaratan yang ada! Jika ya, maka kontennya dapat diterima sebagai
fakta historis. Sehingga dengan demikian penekanan al-Qur’an sebagai locus clasisius dapat menyingkapkan
kreativitas al-Qur’an itu sendiri dalam memproses persoalan-persoalan yang
muncul pada zamannya[27]
Yang kedua adalah “Pergumulan Modern”, di mana tema
besar ini juga memilki banyak sub-sub tema yang sangat penting, di antaranya; masalah
feminisme dan pluralitas agama, argument keniscayaan tafsir kontekstual, Islamic Englightenment, kenapa tidak?,
feminisme dan lain-lain. Namun, secara singkat pendekatan revisionis kali ini
lebih menitikberatkan pada permasalahan-permasalah yang fenomenal, yang tentu
akan sedikit berbeda hasilnya dengan kajian lain pada umumnya, tiga sub tema
tersebut adalah, bagaimana memikirkan kembali wahyu al-Qur’an? “ekslusivisme-inklufisfisme-pluralisme”,
dan pengunaan dan penyalahgunaan “agama Ibrahim”. Kontekstulisasi Islam telah
lama digalakkan oleh para pembaru Islam, misalnya dari Muhammad Abduh hingga
Fadlur Rahman. Menurut mereka wahyu al-Qur’an perlu dikontekstualisasikan, yang
memerhatikan prinsip-prinsip universal al-Qur’an itu sendiri yang dielaborasi
dengan teori “gerakan dua arah”, maksudnya pembaca harus memahami konteks
al-Qur’an secara memadai, termasuk juga reader
response pada saat itu, di sisi lain juga harus memerhatikan konteks yang
mengitari umat Islam zaman sekarang ini. Dengan demikian kontekstualisasi
tersebut akan berbuahkan wahyu dalam perspektif yang baru dan transformatif.[28]
Pendekatan-pendekatan tipologi yang diagungkan
selama ini ternyata tidak begitu berbuah manis jika dikaji dalam ranah
revisionis, yang meskipun masih bisa didialogkan dan memunculkan hasil yang
berbeda adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Namun kajian revisionis
berkata berbeda, di mana jelas diutarakan bahwa persoalan utama yang dihadapi
pendekatan tipologi ekslusivisme-inklufisfisme-pluralisme, adalah deskripsinya
yang simplisitis, dan juga cacat metodologis, hal ini dikarenakan pluralis
tersebut sepertinya menegasikan ke-superioritasannya, sehingga paham pluralitas
dalam pluralisme kurang begitu diperhatikan. Maksudnya adalah tipologi tersebut
tidak konsisten, terlalu dipaksakan karena perbedaan, terlalu sempit sehingga
perlu ditambahkan pendekatan yang lain, terlalu umum juga karena hanya memotret
aspek-aspek partikular dalam sikap keberagaman. Dengan demikian diperlukan
sebuah perbaikan metodologis terhadap tipologi-tipologi tersebut, melakukan
reinterpretasi atas kategori-kategori tersebut tanpa menambah kategori lain,
karena tak seorang pun konstan dalam satu kategori. Seseorang bisa dikatakan
inklusif dalam satu kasus tetapi berbeda dalam kasus yang lain. Tipologi
tersebut sangat bagus, namun harus menyadari keterbatasanya, dengan lebih
memerhatikan isu sentral, aspek universalitas dan partikularitas yang menjadi titik
singgung dalam teologi-teologi agama yang ada, artinya harus mempelajari dan
menyikapi agama lain lebih serius lagi.[29]
Polemik tentang Abrahamic
religions bukan sesuatu yang asing di mata dunia internasional bahkan di
Indonesia, di mana Nabi Ibrahim dianggap sebagai figur pemersatu tiga agama
yang acapkali bersitegang, yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Namun, dengan
pendekatan revisionis jelas memperlihatkan bahwa Abrahamic religions sebagai upaya untuk mendorong dialog antar
agama bisa saja tidak berdasar, hal ini dikarenakan faktor historitas figur
Abraham tersebut. Di mana menurut Lavenson, figur tentang Abraham yang
digambarkan oleh ketiga agama tersebut masing-masing berbeda. Dengan demikian,
“agama Ibrahim” tersebut sangat problematik, karena penuh dengan muatan
ideologi-teologis ketimbang analitis-historis.[30]
Dialog untuk lebih terbuka dan saling memahami dalam kompleksitasnya memang
sangat penting, untuk itulah diskusi perlus terus dilakukan, agar semakin
mengerti bahwa mereka juga memiliki argumen tekstual dan rasionalitasnya
sendiri, atas apa yang mereka percayai dan yakini, namun tidak harus memaksakan
persamaan.
Revisionist
approach yang ketiga berbicara tentang tema besar yang sangat
fenomenal pada zaman sekarang ini yakni “kekerasan dan zaman radikal”. Bisa
dikatakan kekerasan memang tidak dapat dihindari dalam perjalanan hidup
manusia. Kekerasan terjadi dikarenakan banyak faktor, tidak hanya karena
“berbeda”, bahkan antara yang “tidak berbeda pun” sering terjadi. Jika
menelusuri sejarah, maka akan segera bertemu dengan macam-macam kekerasan,
entah itu kekerasan berbeda agama, maupun kekerasan antara agama yang sama. Contohnya,
dalam sejarah agama Islam, ketika Nabi Muhammad telah tiada, terjadi perang
saudara pertama, di mana Ali berhasil mengalahkan tiga serangkai yang dipimpin
Aisyah (istri Nabi Muhammad yang termuda), khalifah memimpin tentaranya guna
memerangi tentara Muslim yang lain.[31]
Bahkan di Indonesia sendiri pun terjadi kekerasan antara sesama Muslim. Pada
tahun 2005 yang lalu, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sebuah
fatwa, yang kemudian fatwa tersebut memicu tindakan kekerasan “Muslim
Konservatif” terhadap Ahamadiyah di Jakarta, yang kemudian kekerasan tersebut segera
disusul dengan dengan pola kejadian kekerasan yang sama di daerah lain, seperti
di Banyuwangi, Bandung, dan lain-lain.[32]
Demikian juga dalam Kekristenan pada abad ke-16 yang lalu, di mana kaum
Anabaptis mengalami kekerasan bahkan pembunuhan hanya karena berbeda pandangan
dengan Kekristenan yang lain, baik dengan Katolik maupun Gereja-gereja
reformasi pada waktu itu.[33]
Intinya adalah, perlu olahan yang baik, bagaimana caranya memahami dan
menafsirkan ayat-ayat kekerasan dalam kitab suci, perlu pemahaman secara
kontekstual, dan tidak bisa disamakan dengan keadaaan zaman di mana kitab suci
tersebut ada ataupun perlu perhatian terhadap konteks yang melatarbelakangi
teks-teks tersebut. Contohnya, terjadi suatu perang karena itulah satu-satunya
cara mereka bertahan hidup pada waktu itu, dan tentunya hal tersebut tidak
berlaku lagi di zaman sekarang.[34]
Perlu suatu kajian revisionis yang mengkritisi ayat-ayat polemik tertentu,
entah itu dalam Islam maupun Kristen, pendekatan baru terhadap ayat-ayat Jihad,
“eksklusivisme agama dan pluralisne politik”, kontroversi-kontroversi
tokoh-tokoh agama, politik takfir, polemik kepemimpinan non-Muslim dan
lain-lain.
Dialog-Dialog
Perbedaan
Mengendornya dialog lintas agama membuka ruang bagi
menguatnya ketegangan dan intoleransi, sehingga wacana dan praksis dialog, baik
secara sosiologis, pragmatis maupun teologis, apalagi kultural harus terus
dikobarkan.[35] Perbedaan-perbedaan
yang menimbulkan polemik mestilah didialogkan, dialog untuk membuka suatu pemahaman
dan cakrawala yang baru. Namun, dalam konteks masyarakat Indonesia dialog
budaya adalah hal yang utama yang harus dilakukan, mengingat proses masuknya
Islam ke nusantara agak berbeda dengan tempat lain, yang salah satunya terkenal
dengan istilah Islamicate yang sangat
dekat dengan dialog dan akulturasi budaya. Mun’im Sirry secara eksplisit
mengungkapkan tema-tema dialog yang selama ini fenomenal, diantaranya;
Mungkinkah Yesus sebagai Tuhan bagi kaum Muslim? Mungkinkah Muhammad sebagai
Nabi bagi umat Kristiani? umat Kristen itu kaum beriman bukan kafir, siapakah
orang kafir itu? telaah kronologis dan semantic al-Qur’an, Injil Muslim,
kaligrafi Islam dan Ikonografi Kristen, dan lain-lain. Tema-tema besar tersebut
selalu mengitari kehidupan umat Islam dan Kristen di mana pun mereka berada.
Tema-tema besar tersebut perlu terus dikritisi dan didialogkan dalam semangat
bukan untuk mencari pembenaran namun kemengertian, memahami jika orang lain itu
berbeda dan mengolah perbedaan tersebut. Meskipun dengan pembicaraan yang
sangat alot, akhirnya kedewasaan berdialog jugalah yang membuat para founding fathers Bangsa Indonesia (mereka
adalah tokoh-tokoh Islam dan Kristen) merumuskan dan menetapkan dasar tanah air
tercinta ini, yaitu Pancasila.[36]
Hubungan
Islam dan Kristen di Indonesia
Sejarah panjang pertautan antara Islam-Kristen sudah
bukan rahasia lagi, dan tidak perlu ditutup-tutupi, bahwa ada permasalahan
serius yang penuh liku-liku dan konfliktual yang harus diselesaikan bersama,
baik di seluruh dunia maupun di Indonesia. Oleh karena itu penting sekali meretas
kehidupan yang harmonis antara kedua agama semitik ini sesegera mungkin, dan
hal tersebut telah dicontohkan oleh kedua tokoh besar Kristen dan Islam, yakni
Syeikh al-Azhar dan Paus. Hal tersebut menyiratkan suatu pesan yang jelas, yang
harus dibaca oleh semua orang yakni “mari lupakan kekelaman masa lalu yang
sulit itu demi merajut kehidupan dunia sekarang ini, bahkan di masa depan yang
lebih baik lagi”.[37]
Islam di semenanjung nusantara adalah Islam yang istimewa dikarenakan berbeda
dengan warna Islam di belahan dunia lainnya, apalagi dengan warna Islam di Arab?
Islam di Indonesia mempunyai warna sendiri, meskipun masing-masing warna Islam
di setiap pelosok tanah air memiliki ciri khas masing-masing juga. Hal ini
dikarenakan proses masuknya Islam ke nusantara juga unik. Menurut para pakar,
Islam sudah masuk ke kepulauan nusantara pada abad ke-13 Masehi, melalui jalur
perdagangan, di mana proses dikenal dengan istilah Islamicate, masuknya Islam tersebut diperkirakan melalui tiga jalur
(teori) yakni dari Gujarat, Persia, dan Mekkah.[38]
Menurut Bambang Noosena, perlu suatu dialog yang terbuka, jujur dan
bermartabat, mengingat kajian-kajian dari sudut pandang bahasa dan budaya Timur
Tengah yang menyangkut hubungan Kristen-Islam di negara-negara Arab tersebut, bahwa
secara historis mereka memiliki warisan sejarah bersama.[39]
Namun, hal tersebut cukup asing di Indonesia, dan karena Kekristenan di
Indonesia bukan dari Timur Tengah malahan Eropa, sehingga perbedaan celah itu
seakan bertambah lebar karena ada bumbu sentiment “masa lalu” (misalnya perang
salib, Kristen dianggap agama penjajah, dan lain-lain) yang sudah berakar urat,
dan akan berbeda ceritanya jika Kekristenan Indonesia berasal dari Timur
Tengah, yang berarti memilki sumber yang sama dengan Islam.
Kerjasama tersebut juga terlihat ketika Indonesia
merdeka, di mana perjuangan tersebut merupakan perjuangan seluruh rakyat
Indonesia, termasuk di dalamnya pejuang-pejuang Islam dan Kristen, bahkan ketika
merumuskan dasar Negara pun mereka duduk bersama-sama, hal tersebut menandakan adanya
kerjasama yang baik. Jika diruntut dari sejarah pun, lama sebelum Indonesia
merdeka telah ada persingungan Islam dan Kristen dalam sejarah dan juga
teologis, salah satu contohnya adalah Kyai Sadrah. Ajaran Kyai Sadrach dianggap
tidak sepenuhnya "murni", bahkan ada yang menganggapnya masih
mengadopsi nilai-nilai mistik Jawa yang dimuati spiritualitas Islam, yang
disebut ngelmu Kristen”.[40]
Jadi bisa dikatakan, bahwa hubungan Islam dan Kristen pada waktu kemerdekaan
dan sebelum kemerdekaan cukup kondusif dan damai. Hal tersebut juga karena
dipengaruhi oleh pandangan Muslim Indonesia yang melihat bahwa antara agama dan
budaya yakni budaya Indonesia yang ramah, dan menjunjung tinggi toleransi, yang
di dalamnya Kristen merupakan salah satu bagiannya, juga karena memandang Islam
merupakan sebuah agama yang terbuka, toleransi, menghargai orang lain, tentram,
dan damai.[41]
Konflik di Ambon (Maluku) yang kemudian meluas
menjadi konflik agama pada tahun 1999 yang lalu menorehkan luka yang dalam bagi
tanah air, di mana konflik tersebut sebenarnya bukan masalah agama saja, tetapi
juga masalah kesenjangan, ideologi dan lain-lain yang sangat kompleks.[42]
Hal-hal yang nampak seakan-akan permukaan saja, namun yang paling penting
diselesaikan sebenarnya adalah luka-luka dalam, yang telah lama menggerogoti
sesama pemeluk agama di Indonesia. Hal tersebut bisa dilihat dari ormas-ormas
Islam yang radikal yang bermunculan di tanah air, seperti Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), Forum Umat Islam (FUI), Front Pembela Islam (FPI) dan
lain-lain.[43]
Salah satu dampak dari permasalahan tersebut bisa terlihat dalam aksi fenomenal
2 Desember 2016 (212). Di mana begitu banyak solidaritas dari berbagai umat
Islam dari beberapa pelosok tanah air yang datang ke Jakarta, hanya untuk
mengikuti acara tersebut, padahal mereka belum tentu tahu duduk perkaranya
seperti apa sebenarnya.[44]
Meskipun jumlah mereka sebenarnya sangatlah kecil dibandingkan Islam-Islam yang
berwajah nusantara, yang Moderat, seperti Muhammadyah, NU dan lain-lain, namun
bisa juga menjadi ancaman yang sangat serius, karena memiliki pola pengkaderan
pengikut yang sistematis dan sporadis.
Oleh karena itu merajut kembali perdamaian dengan
segala perbedaan yang ada dalam keselarasan sosial melalui kenusantaraan yakni,
tradisi, kultur, dan kepercayaan dalam pemahaman nilai-nilai dan rekonsiliasi,
adalah hal yang sangat genting yang harus terus dilakukan dan tidak boleh
padam. [45]
Pendidikan spiritual yang kritis, penuh cinta yang berkultur dan berdialog
mempertimbangkan transmisi pengetahuan yang revisionis adalah kunci dari
perdamaian yang terintegrasi dan berkelanjutan yang harus diutamakan.
Perdamaian membawa hubungan Islam-Kristen kepada keselarasan, kepada pemahaman
bahwa perdamaian adalah proses sosial dan historis, perdamaian juga membawa kepada
dekonstruksi persepsi yang merugikan/penyimpangan yang salah paham, dan
perdamaian adalah suatu kekuatan untuk dekolonisasi,
perdamaian untuk membasmi ketidakpercayaan, kelesuan, konflik, devisi dan
kebencian.[46]
Yosep Harbelubun, dalam jurnal teologinya juga menekankan hal yang sama,
tentang betapa pentingnya membangun persaudaraan yang sejati antara lintas iman
dan agama dengan berbasiskan pada kebudayaan masyarakat dan kearifan lokal,
sehingga agama-agama dapat tampil secara relevan dan kontekstual di
tengah-tengah masyarakat yang beragam.[47]
Penutup
Dengan pemaparan yang panjang lebar seperti di atas,
maka dapat disimpulkan, bahwa pendekatan dengan model Islam nusantara dan Islam
revisionis adalah salah satu langkah yang sangat tepat dalam menjawab tantangan
perdamaian yang positif di seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya menjalin
dan menjaga relasi Islam-Kristen agar tetap harmonis di tengah perbedaan yang
ada, dalam suatu mahligai persahabatan. Model
Islam nusantara dan Islam Revisionis tentu seperti gayung bersambut dengan Kekristenan dalam merajut damai bersama
dengan penuh kasih dalam cinta dan empati, sebagai wujud kecintaan kepada Allah
dalam kehidupan sehari-sehari dalam berbangsa dan bernegara dalam bumi
nusantara ini. Merajut damai tersebut dengan pendekatan Islam nusantara yang
berbasiskan budaya sangatlah tepat dan seiring dengan pandangan Kekristenan yang
mengayomi budaya. Bukan suatu pemandangan yang baru lagi ketika melihat ibadah
dalam Kekristenan dengan menggunakan gamelan, angklung, serta berpakaian kebaya
ataupun beskap (pakaian adat Jawa), juga bukan hal yang aneh ketika menemukan corak
gereja yang berakulturasi dengan budaya lokal misalnya Gereja Kristen Pniel
Blimbingsari di Bali, Gereja Kristen Jawi wetan (GKJW) dan lain-lain. Juga
bukan hal yang baru lagi ketika menemukan dialog Islam-Kristen di suatu tempat,
entah itu di gereja ataupun di masjid, entah itu di Universitas Islam maupun
Kristen.[48]
Nilai-nilai kenusantaraan yang berbudaya,
bertoleransi, yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi,
kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal sangat
cocok dengan dengan realitas sosial di Indonesia demi merajut suatu perdamaian.[49]
Islam Revisionis yang sangat terbuka dan kritis sangat cocok dengan salah satu
metode pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam Kekristenan selama ini, yang
terbuka dan kristis, dalam kesejarahan, ideologis dan lain-lain.[50]
Dengan pandangan tersebut maka besar kemungkinan terjadi suatu dialog yang sehat,
dialog dengan tingkat keterlibatan yang tinggi dari berbagai pihak, juga
berbagi pandangan dan pengalaman dalam bentuk tukar pikiran, bekerjasama,
bahkan berkolaborasi dalam relasi kehidupan bersama sehingga tercipta suatu
tujuan yang spesifik.[51]
Pendekatan dengan nilai-nilai kenusantaraan dan revisionis tersebut harus
diupayakan dan digalakkan terus oleh dan untuk semua pihak, tidak hanya
non-elitis, tetapi juga sampai akar-rumput, apalagi oleh para petinggi bangsa,
sehingga agama-agama yang ada tidak menghilangkan budaya-budaya nusantara,
namun justru merawat dan melestarikannya dengan tetap berarah untuk sama-sama
memajukan bangsa dan negara. Jadi benar, seperti yang Presiden Soekarnao pernah
ungkapkan, “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan
jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi
orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”[52]
DAFTAR
PUSTAKA
Sumanto Al Qurtuby. 2011. Among the Believers: Kisah Hidup Seorang Muslim
Bersama Komunitas Mennonite Amerika, Ngaliyan Semarang: Lembaga Studi Sosial
dan Agama.
Seri Studi Intensif Tentang Islam. 2016.
Menuju Perjumpaan Otentik Islam-Kristen,
Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia dan Pusat Studi Agama-Agama
Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana.
Kyai
Heri. 2018. Islam Nusantara. Kunjungan ke
Pesantren Lintang Sanga oleh Mahasiswa/i Teologi Universitas Kristen Duta
Wacana Angkatan 2017. Yogyakarta, 21 Nopember 2018.
Wahid, Abdurrahman.
2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi
Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute.
Setara Institute. 2012. Dari Radikalisme Menuju Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi
Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah dan D.Y. Yogyakarta, Jakarta: Pustaka
Masyarakat Setara.
Mun’ im Sirry. 2018. Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka
Press.
John L. Esposito. 1998. Islam Warna Warni: Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus”, Yogyakarta:
Paramadina.
Ropi, Ismatu. 2010. Islamism, Government Regulation, and the Ahmadiyah Controversies in
Indonesia, Al-Jami’ah, vol. 48, no. 2, 2010.
Paulus Sugeng Wijaya. 2008. Engaging The State: A Study on Sixteenth Century Anabaptist View of
State, Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia.
Nurcholish Madjid. 1995. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, Jakarta: Paramadina.
Bambang Noorsena. 2006. The History of Allah: Mengurai Polemik Seputar Asal-usul Keabsahan dan
Penggunaan Kata Allah Serta Perkembangan Makna Teologisnya, Yogyakarta:
Andi.
Muhammad Iqbal. 2003. Islam dan Perdamaian, Jakarta: Progres.
Yosep Harbelubun. 2017. Membangun Persaudaraan Lintas Iman Dengan
Berbasis pada Kebudayaan Masyarakat Adat Kei, Gema Teologika, vol. 2, no.
1, 2017.
Hayes, John H. and Carl R. Holladay. 1982. Biblical Exegesis, London: John Knox
Press.
Situs
https://jagokata.com/kutipan/kata-Pandji+Pragiwaksono.html, diakses 10 Oktober 2018.
http://www.nu.or.id/post/read/93570/salah-kaprah-memahami-islam-nusantara,
diakses 10 Oktober 2018.
http://liputanislam.com/kajian-islam/makna-islam-nusantara/, diakses 10 Oktober 2018.
http://www.islamnusantara.com/islam-nusantara-apa-itu/, diakses 10 Oktober 2018.
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150614_indonesia_islam_nusantara, diakses 10 Oktober 2018.
http://digilib.uinsuka.ac.id/15503/1/BAB%20I%2C%20V%2C%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf, diakese 19 Oktober 2018.
https://islami.co/akar-masalah-beragama-dengan-eksklusif/, diakese 19 Oktober 2018.
https://www.kompasiana.com/sasmitonugroho/54f83227a33311cd5d8b4778/sikap-inklusif, diakese 19 Oktober
2018.
https://www.qureta.com/post/sang-revisionis-itu-bernama-mun-im-sirry, diakese 20 Oktober 2018.
https://geotimes.co.id/kolom/kapan-islam-sebagai-agama-muncul/, diakses 20 Oktober 2018.
https://www.coretanzone.id/2017/10/proses-dan-teori-masuknya-islam-di-indonesia-nusantara.html, diakses 20 Oktober 2018.
https://tirto.id/pribumisasi-kristen-dan-warisan-kiai-sadrach-camE,
diakses 20 Oktober 2018.
Nurasrihakimah.web.unej.ac.id, diakses 20 Oktober
2018.
http://redaksiindonesia.com/read/ini-dia-6-ormas-yang-harus-dibubarkan-pemerintah.html, diakses 20 Oktober 2018.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171201093147-20-259428/bingkai-kenangan-tentang-rizieq-dan-ahok-di-reuni-alumni-212, diakses 20 Oktober 2018.
https://gkjw.or.id/berita/studi-kristen-islam-budaya-dan-agama/, diakses 20 Oktober 2018.
http://www.nu.or.id/post/read/59035/apa-yang-dimaksud-dengan-islam-nusantara, diakses 20 Oktober 2018.
https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/01/13/ojpzj5319-kalau-jadi-islam-jangan-jadi-orang-arab, diakses 20 Oktober 2018.
[1]
https://jagokata.com/kutipan/kata-Pandji+Pragiwaksono.html
[2] https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150614_indonesia_islam_nusantara
[3] Sumanto
Al Qurtuby, Among the Believers: Kisah
Hidup Seorang Muslim Bersama Komunitas Mennonite Amerika, Ngaliyan
Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama, 2011, hal. 183-184
[4] Seri
Studi Intensif Tentang Islam, Menuju
Perjumpaan Otentik Islam-Kristen, Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen
Indonesia dan Pusat Studi Agama-Agama Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta
Wacana, 2016, hal. 147-148
[5] http://liputanislam.com/kajian-islam/makna-islam-nusantara/
[6] Seri
Studi Intensif Tentang Islam, Menuju
Perjumpaan Otentik Islam-Kristen, Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen
Indonesia dan Pusat Studi Agama-Agama Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta
Wacana, 2016 hal. 151. Menurut M. Amin Abdullah, Islam Indonesia adalah Islam
yang lahir dan mengakar dalam Keindonesiaan, menghujam dan tertanam kuat dalam
hati dan sanubari, yang menyentuh feeling of the people masyarakat Indonesia
[7] Seri
Studi Intensif Tentang Islam, Menuju
Perjumpaan Otentik Islam-Kristen, Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen
Indonesia dan Pusat Studi Agama-Agama Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta
Wacana, 2016, hal. 152
[8] Kyai
Heri adalah pengurus Pondok Pesantren Lintang Sanga di Bantul Yogyakarta
[9]
Kyai Heri. 2018. Islam Nusantara. Kunjungan
ke Pesantren Lintang Sanga oleh Mahasiswa/i Teologi Universitas Kristen Duta
Wacana Angkatan 2017. Yogyakarta, 21 Nopember 2018
[10]
Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam:
Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid
Institute, 2009, hal. 14-15
[11]
http://www.islamnusantara.com/islam-nusantara-apa-itu/
[12] http://www.nu.or.id/post/read/93570/salah-kaprah-memahami-islam-nusantara
[13] http://digilib.uin-suka.ac.id/15503/1/BAB%20I%2C%20V%2C%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
[14] Seri
Studi Intensif Tentang Islam, Menuju
Perjumpaan Otentik Islam-Kristen, Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen
Indonesia dan Pusat Studi Agama-Agama Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta
Wacana, 2016, hal. 156-157
[15] https://satuislam.org/islam-dan-akulturasi-budaya/
[16] Setara
Institute, Dari Radikalisme Menuju
Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa
Tengah dan D.Y. Yogyakarta, Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2012, hal.
2
[17] https://www.qureta.com/post/sang-revisionis-itu-bernama-mun-im-sirry
[18] Mun’
im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi
Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. ix
[19] https://www.qureta.com/post/sang-revisionis-itu-bernama-mun-im-sirry
[20] https://islami.co/akar-masalah-beragama-dengan-eksklusif/
[21] https://www.kompasiana.com/sasmitonugroho/54f83227a33311cd5d8b4778/sikap-inklusif
[22] https://www.qureta.com/post/sang-revisionis-itu-bernama-mun-im-sirry
[23] Mun’
im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi
Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. xiii-xiv
[24]
John L. Esposito, Islam Warna Warni:
Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus”, Yogyakarta: Paramadina, 1998, hal. 6
[25] Mun’ im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka
Press, 2018, hal. 3
[26] https://geotimes.co.id/kolom/kapan-islam-sebagai-agama-muncul/
[27] Mun’
im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi
Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. 13-14
[28] Mun’
im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka
Press, 2018, hal. 73-75
[29] Mun’
im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi
Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. 97-100
[30] Mun’
im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi
Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. 105-107
[31] John
L. Esposito, Islam Warna Warni: Ragam
Ekspresi Menuju “Jalan Lurus”, Yogyakarta: Paramadina, 1998, hal. 49-50
[32]
Ismatu Ropi, “Islamism, Government Regulation, and the Ahmadiyah Controversies
in Indonesia”, Al-Jami’ah, Vol. 48, no. 2 (2010), hal. 304-305
[33] Paulus
Sugeng Wijaya, Engaging The State: A
Study on Sixteenth Century Anabaptist View of State, Yogyakarta: Yayasan
Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2008, hal. 31
[34] Mun’
im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka
Press, 2018, hal. 129-131
[35] Mun’
im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka
Press, 2018, hal. 244
[36]
Lih. Nurcholish Madjid, Islam Agama
Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta:
Paramadina, 1995, hal. 4
[37] Mun’
im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi
Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018, hal. 225
[38] https://www.coretanzone.id/2017/10/proses-dan-teori-masuknya-islam-di-indonesia-nusantara.html
[39] Bambang
Noorsena, The History of Allah: Mengurai
Polemik Seputar Asal-usul Keabsahan dan Penggunaan Kata Allah Serta
Perkembangan Makna Teologisnya, Yogyakarta: Andi, 2006, hal. viii-ix
[40] https://tirto.id/pribumisasi-kristen-dan-warisan-kiai-sadrach-camE
[41] Nurcholish
Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 64
[42] Nurasrihakimah.web.unej.ac.id
[43] http://redaksiindonesia.com/read/ini-dia-6-ormas-yang-harus-dibubarkan-pemerintah.html
[44] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171201093147-20-259428/bingkai-kenangan-tentang-rizieq-dan-ahok-di-reuni-alumni-212
[45]
Muhammad Iqbal, Islam dan Perdamaian,
Jakarta: Progres, 2003, hal. 65
[46] Muhammad
Iqbal, Islam dan Perdamaian, Jakarta:
Progres, 2003, hal. 154-155
[47] Yosep
Harbelubun, “Membangun Persaudaraan Lintas Iman Dengan Berbasis pada Kebudayaan
Masyarakat Adat Kei”, Gema Teologika,
vol. 2, no. 1 (2017), hal. 76
[48] https://gkjw.or.id/berita/studi-kristen-islam-budaya-dan-agama/
[49] http://www.nu.or.id/post/read/59035/apa-yang-dimaksud-dengan-islam-nusantara
[50]
Lih. Hayes, John H. and Carl R. Holladay, Biblical
Exegesis, London: John Knox Press, 1982, p. 52-61
[51] Mun’ im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta: Suka
Press, 2018, hal. 249
[52] https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/01/13/ojpzj5319-kalau-jadi-islam-jangan-jadi-orang-arab
Komentar
Posting Komentar