Yi (义) sebagai sebuah ritual dan falsafah hidup dalam Ketionghoaan dan Kekristenan
Sejak dari awalnya dalam kehidupan
orang-orang Tionghoa kuno sudah memiliki doa-doa maupun ritual-ritual tertentu yang
yang ditujukan pada dewa-dewa ataupun pada roh-roh leluhur, dan kepada ShangDi
yang merupakan Dewa yang tertinggi, Dewa Langit ataupun Tuhan.[1]
Orang-orang Tionghoa percaya bahwa ShangDi bukanlah Tuhan yang jauh, tetapi
erat hubungannya dengan persoalan-persoalan kehidupan manusia yang memelihara
mereka, menjaga mereka, mencurahkan berkat, dan membantu mereka untuk menjadi
yang utama dengan tetap setia pada perintahnya. Doa-doa ataupun ritual-ritual
tersebut sangat erat kaitannya dengan falsafah hidup mereka, yang diungkapkan
lewat tradisi dan budaya, yang seiring berjalannya waktu, banyak dari tradisi
dan budaya tersebut telah mengalami pergeseran maupun pembaharuan makna.
Salah
satu bentuk dari ritual-ritual yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa kuno tersebut
dapat dilihat dalam karakter Yi (义),
yang menurut Konfusianisme merupakan salah satu jalan dari Jen 仁
(sebagai
prinsip tertinggi perbuatan, juga merupakan basis semua nilai dan harkat yang
terdalam dari kemanusiaan manusia).[2]
Dengan demikian Yi (义)
Sebagai Sebuah Ritual dan Falsafah Hidup Dalam Ketionghoaan dan Kekristenan
adalah hal yang sangat menarik untuk dibahas lebih mendalam dalam paper ini.
Penulis akan memulai terlebih dahulu membahas dan menggali makna dan sejarah
yang terkandung dari karakter Yi (义)
itu sendiri sebagai bagian dari ritual-ritual, dan juga sebagai falsafah hidup
orang-orang Tionghoa. Kemudian penulis akan membentangkan benang merah ritual
dan falsafah hidup tersebut dengan tradisi-tradisi yang berkaitan dengan Kekristenan.
Dhavamony dalam bukunya Fenomenologi Agama mengungkapkan, bahwa
ritual merupakan agama ataupun kepercayaan dalam tindakan yang erat kaitannya
dengan mitos-mitos, yang kadang juga dilembagakan sebagai bentuk kultis yang
berangkat dari pengalaman dengan yang adikodrati. Ritual memperlihatkan tatanan
atas simbol-simbol yang diobjekkan yang mengungkapkan perilaku dan perasaan,
serta membentuk disposisi pribadi maupun sosial dari pelakunya, yang bersifat
empiris dan menjadi bagian dari wilayah profan.[3]
Bentuk-bentuk ritual tersebut misalnya dengan sesajian, tari-tarian,
topeng-topengan, nyanyian-nyanyian, melalui tanam-tanaman, binatang tertentu,
gambar-gambar, tulisan-tulisan, dan lain sebagainya. Meskipun kadang tujuan
ritual itu sendiri sama, yakni ritual untuk kelahiran, pernikahan, kematian, perdamaian,
kemakmuran, bahkan ritual keselamatan, namun pelaksanaan ritual di tiap-tiap
tempat adalah berbeda. Misalnya ritual-ritual kurban yang lazim dilakukan oleh
orang-orang hindu, berbeda dengan ritual-ritual kurban yang dilakukan oleh
orang-orang Tionghoa pada zaman dulu. Dalam ritual Hindu, persembahan tersebut
memerlukan perantara, di mana imam-imam mempersembahkan kurban-kurban melalui
perantaraan dewa api yang merupakan perantara antara dewa dan manusia.[4]
Sementara dalam ritual orang-orang Tionghoa kuno yang menjadi perantara adalah
raja (putra surga).
Yi (义)
merupakan salah satu bentuk ritual yang diungkapkan lewat simbol-simbol yang
tertuang dalam tulisan yang disebut Hanzi
dalam tradisi Tionghoa kuno. Aksara
tersebut merupakan mutiara dari kebudayaan Tionghoa yang berpedoman pada
kemanunggalan antara Tuhan dan manusia, yang memiliki aturan penulisannya
sendiri yakni secara piktogram, ideogram, senyawa phono-semantik, dan
“pinjaman”.[5] Aksara
itu mengisaratkan cerita-cerita tertentu yang erat hubungannya dengan sejarah
dan kehidupan orang-orang Tionghoa tersebut. Sehingga karakter yang hendak
ditunjukkan masing masing huruf primitive
tersebut adalah berbeda, walaupun banyak karakter dalam huruf tersebut memiliki
ke-terhubungan antara satu dengan yang lainnya.[6]
Pendapat tentang penciptaan Hanzi
sendiri tidaklah seragam, meskipun diperkirakan antara teori tersebut sangat
berkaitkelindan. Sejarah penciptaan aksara tersebut setidaknya dapat dilihat
dari tiga teori, pertama, aksara tersebut diciptakan oleh Fuxi dengan bagua disebut
heksagram. Yang kedua, dengan ditemukan catatan simpul oleh Shennong, sementara
yang ketiga, aksara tersebut ditemukan oleh seorang menteri dari Kaisar Huang Di, yang bernama Cangjie.[7]
Dari ketiga teori tersebut, yang paling sering
dibicarakan adalah penemuan Cangjie, penemuan ini diperkirakan 4000 tahun silam
yang erat hubungannya dengan mitos-mitos. Di mana diceritakan, bahwa melalui
tulisan-tulisan, manusia mampu mengenali tanda-tanda rahasia langit dan mengenali
dasar dan prinsip-prinsip dunia, sehingga roh-roh jahat tak dapat bersembunyi
lagi.[8]
Meskipun tidak ada artefak yang asli dari peninggalan Cangjie, namun bentuk
penemuan paling awal yakni fragmen tulang-tulang dan cangkang yang digunakan
sebagai tempat menulis (memahat/mengukir) benar-benar tidak dapat diabaikan
sama sekali sebagai bukti, yang dikenal dengan istilah Oracle Bone Script.[9]
Inkripsi tersebut berkembang seiring waktu, yang berevolusi melalui serangkaian
modifikasi-modifikasi yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi pembelajaran
dan penulisan aksara tersebut. Namun upaya penyederhanaan Hanzi tersebut mendapat pertentangan dari berbagai pihak, dengan
alasan bahwa penyederhanaan tersebut tidak membuatnya lebih mudah, juga alasan
yang lain, bahwa modifikasi tersebut mengurangi makna yang terkandung dibalik
huruf tersebut, sehingga sampai pada zaman modern ini, setidaknya ada dua jenis
tulisan mandarin yang sering ditemui yakni yang tradisional dan sederhana.[10]
Yi dalam karakter Hanzi sederhana berbentuk 义, sedangkan dalam
bentuk tradisionalnya berbentuk 義.
Karakter tersebut terdiri dari dua kata yakni domba 羊 (dibaca yang) dan “aku”
我
(dibaca wo). Leluhur Tionghoa kuno menciptakan karakter yang independen dari
tulisan-tulisan Sumeria dan Mesir kuno yakni Wen (文) yang kemudian dimodifikasi sehingga membentuk karakter majemuknya
字, yang bermaksud mengekspresikan ide-ide
kompleks mereka. Analisis dari dua bentuk karakter Hanzi inilah yang dikaitkan dengan Yi (义) yang menunjukkan bahwa
orang Tionghoa mengenali representasi rohani domba sebagai sumber kebenaran,
kebaikan, kecantikan, kebenaran dan kekekalan.[11]
Di
dalam kitab Shi Jing (salah satu kitab dalam Konfusianisme yang merupakan kitab
sanjak yang ditulis Kongzi) mencatat, bahwa jauh sebelum kelahiran Musa (1500
B.C.E), ketika periode legendaris kekaisaran HuangDi, orang-orang Tionghoa kuno
telah mempersembahkan kurban kepada ShangDi (Tuhan) secara bertahap di atas
sebuah altar yakni di Gunung Tai di Provinsi Shandong, di perbatasan timur Cina
(Shang Shu).[12] Ritual tersebut kemudian
menjadi sebuah tradisi dan budaya sampai pada abad ke-20. Dalam ritual
tersebut, hanya kaisar (putra surga) saja yang layak sebagai imam tertinggi untuk
melakukan upacara pengorbanan kepada ShangDi, Tuhan yang sering disebut sebagai
'Surga' (Tien,) yang diperkenalkan oleh orang-orang Zhou yang menggulingkan dinasti
Shang pada tahun 1122 B.C.E.[13] Seiring
dengan perkembangan zaman, maka perkembangan peradaban dan budaya Cina pun ikut
menyesuaikan diri, sehingga peradaban dan kebudayaan tersebut pun di kemudian
hari tertumpu pada dasar filosofis yang dibentuk oleh Konfusianisme, Taoisme,
dan Buddhaisme (67M- sampai sekarang).[14]
Konfusius (551-479 B.C.E)[15] menganggap
pengorbanan kepada ShangDi tersebut sangatlah penting sehingga ia kemudian
berkata, "ia yang memahami upacara pengorbanan ke Surga dan Bumi akan
menemukan pemerintahan kerajaan semudah melihat ke telapak tangannya".[16]
Maksud Konfusius adalah orang yang dianggap sebagai orang suci dalam
agama-agama Tionghoa percaya bahwa setiap orang yang memahami arti sesungguhnya
dari pengurbanan adalah orang yang layak dan memenuhi syarat untuk memerintah. Konfusius
kemudian memaknai Yi (义)
tersebut sebagai salah satu falsafah hidup orang-orang Tionghoa yang
masih terlihat jelas sampai sekarang ini, di mana Yi (义) merupakan salah satu kebajikan yang
tertinggi, keadilan, dan kebenaran, substansi segala hal, dan Yi (义) juga adalah hakikat dari Jen 仁
(kebajikan, kemanusiaan, kemurahan hati,
sosok manusia yang benar).
Demikian
pada zaman dinasti Zhou tersebut, persembahan kurban cukup sering dan wajib
dilakukan serta mengalami perkembangan makna daripada zaman-zaman sebelumnya. Mereka
percaya bahwa ada hubungan erat antara hidup manusia dan kesejahteraan serta
dunia roh yang kehendak baiknya harus dijaga dengan upacara-upacara kurban yang
sesuai, sehingga upacara tersebut menjadi bagian ritual resmi dari pemerintahan
sebagai sarana, di mana penguasa menjaga dan melindungi rakyatnya. Dengan
demikian upacara kurban kepada ShangDi diadakan setiap tahun sekali, yang
merupakan tindakan pemujaan nasional yang paling tinggi, bagian dari ibadah
kekaisaran, dan juga sebagai ritual yang merupakan sebuah jaminan berkat
spiritual dan ucapan syukur atas berkat dan kemurahan hati yang telah ShangDi
limpahkan.[17] Ritual kurban tersebut
dipindahkan dari Gunung Tai ke Beijing sekitar abad ke-15, yang kemudian resmi
dihentikan pada tahun 1911 ketika Republik Nasional Tiongkok menggulingkan
pemerintahan kekaisaran Qing yang pada waktu itu berkuasa.[18]
Pada
saat ini, bukti-bukti ritual berupa Figure
persembahan kurban Yi (义) yang dilakukan oleh Kaisar Shun dan
pemerintahan sesudahnya, yakni mempersembahkan kurban kepada ShangDi (上帝) masih dapat dilihat dan dinikmati yang berada di Temple of Heaven Beijing. Temple tersebut merupakan bangunan kuno
terbesar di China. Salah satu bagian bangunan tersebut meliputi Altar of Heaven setinggi 38 meter dan
berdiameter 30 meter, dan di bagian tengah bangunannya terdapat sebuah batu
bulat yang disebut Center of Heaven Stone.[19]
Pada Altar tersebutlah, pada zaman dulu Kaisar mempersembahkan Kurban Yi (义) yang berupa anak lembu yang tak bercacat dan
kadang-kadang seekor domba yang indah.[20]
Dalam tradisi Kekristenan ritual
mempersembahkan kurban kepada ShangDi (Tuhan) bukanlah hal yang baru. Di dalam
PL begitu banyak terdapat ritual, entah itu kurban sapi, lembu ataupun domba,
baik itu sebagai korban penebus salah, korban keselamatan dan lain sebagainya. Ritual-ritual
tersebut juga erat kaitannya dengan tradisi, budaya, bahkan bahasa, baik yang
berkembang di sekitar orang-orang Ibrani maupun di dalam kehidupan orang Ibrani
itu sendiri. Oleh karena itu perkembangan bahasa Ibrani, sebagai bahasa PL juga
mesti ditelaah lebih dalam, sebab perkembangannya juga tidak terlalu jauh
berbeda dengan perkembangan Hanzi,
ataupun bisa jadi memiliki hubungan? Huruf-huruf dalam bahasa Ibrani juga melambangkan
sesuatu yang ditulis secara piktogram, yang dalam perjalanan waktu mengalami
modifikasi-modifikasi seperti sekarang ini, misalnya א (dibaca alef dan dalam
bahasa Yunani disebut alpha).[21]
Bentuk-bentuk huruf tersebut merupakan
proto-sinaitik sekitar tahun 1500 B.C.E., bentuk awal piktogram tersebut (kepala sapi) yang merepresentasikan kekuatan,
yang berbentuk binatang. Bentuk kemudian dimodifikasi menjadi bentuk א (alef), kemudian menjadi
bentuk אלף (juga dibaca alef yang
secara literel berarti lembu), yang berasal dari akar kata אל (dibaca
El, yang dalam bentuk piktogramnya
adalah ).[22]
El merupakan dewa tertinggi orang
Kanaan, di mana sangat erat kaitannya dengan mitos Marduk dan Tiamat dalam kepercayaan
Babilonia kuno, yang menceritakan kisah awal terjadinya segala sesuatu.[23]
El dalam Alkitab Ibrani juga
dilambangkan sebagai “Tuhan ataupun Dewa”, kisah tersebut bisa dijumpai ketika
Musa marah kepada orang-orang Israel, karena mereka membuat sesembahan anak
lembu emas di bawah gunung Sinai (Keluaran 32:1-35). Ritual persembahan kurban yang lainnya juga bisa ditemukan dalam
kisah Nuh, yakni ketika Nuh setelah peristiwa Air Bah mempersembahkan korban
bakaran dari binatang kepada ShangDi (Kej 8:20), dan juga ketika Nahason bin
Aminadab dari suku Yehuda mempersembahkan kurban kepada ShangDi yang berupa
lembu jantan, kambing, dan domba 羊 (baca yang yang merupakan
bentuk tradisional dari Yi (义), dan lain-lain (Bilangan 7: 15-17).[24]
Yi (义) di
dalam PB tidaklah sulit untuk ditemukan, begitu banyak ayat-ayat Alkitab yang
berbicara tentang anak domba yang dipadankan dengan Kristus di dalam PB.
Seperti pernyataan Yohanes yang mengatakan tentang anak domba (羊) Allah yang menghapus dosa dunia (Yohanes 1:29)[25].
Domba (羊) dalam ayat tersebut merupakan bentuk tradisional dari Yi (义). Bahkan di dalam kitab Wahyu, gelar Yesus selaku anak Domba
digunakan sebanyak 21 kali (Wahyu 7:10, 21;23, 19; 9, 21; 22, 21; 1 dan
lain-lain). Yi (义) tersebut yang seiring dengan berjalannya
waktu telah menjadi sebuah ritual dan budaya yang berlangsung sampai dengan
berakhirnya zaman monarki di China. Hal tersebut sama dengan yang terjadi dalam
Kekristenan, di mana ritual Yi (义), yakni persembahan kurban kepada ShangDi
juga telah lama dilakukan dan menjadi sebuah tradisi yang begitu kuat berakar di
dalam PL dan PB.
Yi (义) sebagai domba kurban, yakni Yesus
Kristus, reinkarnasi Allah yang turun ke dalam dunia manusia memang tidak
dikenal oleh orang-orang Tionghoa kuno. Namun, gagasan tentang seorang
Juruselamat telah diprediksi oleh seorang filsuf Cina Laozi[26]
(500 B.C.E), sedikit lebih tua dari Konfusius.[27]Dengan
demikian, tidak mengherankan jika orang-orang Tionghoa kuno berbagi sistem
pengorbanan yang sama seperti orang Ibrani kuno. Bahkan Kui Shin Voo dan Larry
Hovee berpendapat, bahwa mereka memiliki nenek moyang yang sama, yakni
sama-sama keturunan Nuh, yang terpisahkan oleh gunung dan bahasa semenjak
peristiwa Menara Babel, karena jika tidak demikian, tidak mungkin mereka
memiliki pemahaman yang sama tentang domba kurban.[28]
Yi (义)
yang pada awalnya merupakan sebuah simbol yang kemudian menjadi ritual dan
budaya telah menjadi falsafah hidup dalam tradisi Tionghoa, yang merupakan
kebajikan yang tertinggi, keadilan, dan kebenaran, dan substansi segala hal
(lihat halaman 4). Yi (义) juga sebagai pengenalan akan kebenaran,
mencintai kebenaran, dan bahagia karena kebenaran, oleh karena itu, mereka
(orang-orang Tionghoa) hidup subur dan disukai oleh manusia untuk mengagumkan
Tien (Tuhan).[29] Demikian juga dengan
pemahaman Yi (义) dalam Kekristenan, Yi (义) berarti
keadilan dan kebenaran Allah yang hanya ditemukan oleh setiap orang yang
memuliakan dan percaya kepada Anak Domba. Yi (义) memiliki padanannya dengan kata δικαιοσυνης (dikaiosunes) yang berarti keadilan yang berasal dari kata δικαιος (dikaios) yang berarti bahwa Ia benar (Roma 3:26). Pada saat yang
sama Kristus adalah “yang benar” (dikaios)
disebut juga sebagai Anak Domba Allah yang menyelamatkan manusia.
Falsafah
orang-orang Tionghoa yang diwakili oleh pemikiran Konfusianisme (konfusius dan
Mensius) yang mempersaksikan Yi (义) sebagai prinsip keadilan dan kebenaran
melalui sikap manusia yang menempatkan penebusan anak domba untuk menggantikan
kesalahannya adalah sebagai wujud dalam mengolah Jen (仁). Sehingga
dengan demikian, Konfusius dan Mensius juga mengakui bahwa setiap manusia adalah
rapuh dan tidak lepas dari kesalahan, yang meskipun kodrat manusia itu baik,
namun tetap saja pada hakikatnya mengandung kondisi “tidak memadai”, sehingga aku (我) membutuhkan Yi (义) yaitu kesediaan diri untuk dimuliakan
anak domba yang dikurbankan kepada ShangDi. Sehingga dalam konteks tersebut
terlihat bahwa kepercayaan Tionghoa kuno yang didukung oleh Konfusius dan
Mensius menunjukkan adanya kebutuhan manusia akan Kristus selaku anak domba.[30]
Yi (义)
sebagai penebus salah dan juga jalan mengolah Jen (仁)
sepertinya memiliki makna yang ambiguitas, di mana meskipun pemahaman tersebut
memiliki banyak kemiripan dengan pemahaman Yi (义) dalam Kekristenan, namun juga memiliki
perbedaan yang sangat besar. Sebab tidak mungkin kurban domba tersebut dapat
menghapuskan dosa, juga tidak mungkin mentahirkan kemanusian Jen (仁)
yang sudah tercemar, jadi hewan kurban tersebut tidak bisa direpresentasikan
sebagai dikaiosunes (kebenaran dan
keadilan) Allah.[31] Yi (义)
sebagai Kristus yang berkurban di kayu saliblah yang mampu memulihkan
kemanusiaan Jen (仁), sebab Ia tidak pernah berbuat dosa, Ia
merupakan manifestasi Allah, Ia juga bukan sekedar prinsip ataupun mengajar
tentang dikaiosunes atau
Yi (义)
yakni kebenaran dan keadilan, melainkan Ia sendiri adalah kebenaran dan keadilan
itu. Dengan demikian hanya Kristus sajalah yang menggenapi apa yang diajarkan
oleh Konfusius tentang Jen (仁), dan Ia juga juga menggenapi ajaran
Mensius tentang Yi (义) yakni keadilan dan kebenaran yang
menyelamatkan manusia.[32]
Yi (义)
sebagai sebuah ritual dan falsafah hidup dalam Ketionghoan dan Kekristenan
memiliki benang merah yang sangat kuat yang bukan hanya ikatan secara teologis,
yang dihidupi oleh orang-orang Tionghoa maupun oleh orang-orang Tionghoa
Kristen. Namun jika diteliti lebih lanjut, Yi (义) memiliki hubungan historis yang kuat
dengan Kekristenan, dalam hal ini Ibrani kuno maupun Yunani. Yi (义)
yang dulunya merupakan sebuah simbol dan ritual telah berubah seiring
berjalannya waktu menjadi sebuah falsafah hidup yang sangat bermakna dalam
kehidupan orang-orang Tionghoa, apalagi bagi orang-orang Kristen Tionghoa. Yi (义) yang kental dengan Konfusianisme-nya telah
disempurnakan melalui Kristus sebagai dikaiosunes
yakni kebenaran dan keadilan yang sejati, yang bukan hanya sebatas hakikat,
kebajikan tertinggi, dan prinsip. Namun sebagai sebuah penebusan yang nyata,
bukan melawan ketidakadilan secara pasif, namun aktif, sebagai wujud keadilan
dan kebenaran Allah, membebaskan yang tertindas, memulihkan bahkan
memberdayakan.[33] Sehingga kita sebagai
pengikut-pengikut Kristus terus dimampukan untuk menghadirkan dan menghidupi Yi
(义) dikaiosunes, yaitu
keadilan dan kebenaran sebagai kekuatan transformative kapan pun dan di mana
pun kita berada.[34]
DAFTAR PUSTAKA
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Bambang Mulyono, Yohanes. 2016. Berteologi Masa Kini, Jakarta: Grafika
Kreasindo.
Timothy W. Richardson and Heisig, James W.
1994. Remembering Traditional Hanzi: How
to Not to Forget the Meaning and Writing of Chinese Characters, Honolulu:
University of Hawai’I Press.
Larry Hovee & Kui Shin Voo. 1999. The Lamb of God hidden in the Ancient
Chinese Characters, CEN Technical Journal, vol. 13 no. 1, 1999.
Amstrong, Karen. 2001. Sejarah Tuhan: Kisah 4000 Tahun Pencarian
Manusia Tuhan dalam Agama-Agama Manusia, Bandung: Mizan.
E-Sword Eletronic Bible. 1919. Chinese Union Version (Traditional), published
in 1919; public domain.
Kwa Tong Hay & Tjan K. 2010. Berkenalan Dengan Adat dan Ajaran Tionghoa,
Yogyakarta: Kanisius.
Thomas
Santoso dan Linda Bustan. Tanpa Tahun. Kebebasan
Beragama: Bunga Rampai Kehidupan Berbangsa, Surabaya: Petra Press.
Bambang Mulyono, Yohanes. 2015. Kekristenan dan Ketionghoaan: Telaah atas
Imlek dan Falsafah Ketionghoaan, Jakarta: Grafika Kreasindo.
J. Weitjens & Th. Van de End. 1993. Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 2,
th. 1860-Sekarang Cet. 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Situs
http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/konten/esai/item/1613-sejarah-dan-perkembangan-hanzi-atau-aksara-han, diakses
12 Nopember 2018.
https://www.ancient-origins.net/myths-legends-asia/legendary-origins-chinese-language-001585, diakses
12 Nopember 2018.
http://www.china.org.cn/english/kuaixun/75120.htm, diakses
13 Nopember 2018
Komentar
Posting Komentar