Sejarah Natal yang Menyejarah


Pertumbuhan Kekristenan di Indonesia yang sangat kental dengan “Kebaratannya”, juga berpengaruh terhadap cara pandang kebanyakan orang tentang sebuah perayaan  Natal. Bahkan, ketika kita menengok kepada “yang lain”, bagaimana pendapat  mereka tentang Natal, maka pendapat yang umum terdengar adalah “Paganisme”. Stigma yang selama ini beredar dalam masyarakat bahwa Natal berasal bukan dari tradisi Kristiani sudah bukan rahasia lagi, namun apakah demikian? Menurut saya, itu jauh dari kebenaran, bahkan terkesan pembenaran, karena tidak ada bukti ataupun sumber yang akurat untuk mengklarifikasi hal tersebut. Oleh karena itu, peristiwa Natal tidak boleh hanya dilihat dari tradisi Barat, dan mengabaikan tradisi Timur. Dalam artikel ini akan dikupas sekilas tentang sejarah Natal itu. Tidak hanya karena maknanya yang begitu penting, namun juga karena sejarah Natal yang menyejarah itu juga penting di zaman yang serba kritis ini.
Mungkin kita sering bertanya kepada diri sendiri ataupun mendapat pertanyaan, “Mengapa kita tetap merayakan Natal, bukankah itu tidak terdapat dalam Alkitab?”. Tentu Kita tahu, bahwa tidak semua hal disebutkan di dalam Alkitab (lih. Yoh 21:25). Namun, jangan lupa juga bahwa Alkitab pun tidak pernah menuliskan larangan untuk merayakan Natal, karena nyata dengan jelas bahwa peristiwa kelahiran  Yesus tercatat di dalam Alkitab. Perayaan Natal adalah hal yang sangat baik, karena seluruh orang percaya memperingati belas kasih Allah yang tidak terbatas bagi dunia, bagi manusia, serta menghidupi makna inkarnasi Tuhan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Memperingati hari ulang tahun orang-orang yang kita kasihi tentu sesuatu yang sangat baik, apalagi memperingati ulang tahun Sang Penyelamat kita, bukan hanya baik, bahkan sudah seharusnya dilakukan. Namun, sangat disayangkan akhir-akhir ini ada sebagian orang Kristen yang tidak lagi merayakan Natal, hanya karena salah kaprah terhadap sejarah Natal itu sendiri, seperti gereja-gereja “pengagung Yahwe”, Gereja Yesus Sejati, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh dsb.
Ada begitu banyak orang membuat banyak teori, spekulasi, yang ingin menunjukkan bahwa hari raya Natal di tanggal 25 Desember berasal dari kebiasaan Pagan. Namun Jika dilacak, hal tersebut bermula pada Tahun 1743 M, dari karya seorang teolog Jerman yang bernama Paul Ernest Jablonski, yang selanjutkan didukung oleh seorang Biarawan Benediktan Dom Jean Hardouin. Mereka mengatakan bahwa, perayaan Natal adalah perayaan Pagan yang dikristenkan, dimodifikasi substansinya, bahkan mengkontekstualisasikannya. Pendapat tersebut mengatakan bahwa tanggal 25 Desember dipilih untuk menggantikan festival pagan Romawi (Saturnalia), menggantikan hari libur Romawi (Sol Invictus), dan pemujaan kepada dewa persia (Mithra) kepada Kekristenan tidak didasarkan pada sumber sejarah yang akurat. Saturnalia sendiri diadakan mulai tanggal 17-23 Desember, sedangkan Sol Invictus tidak ada dalam kalender Romawi sampai setelah Roma menjadi negara Kristen, apalagi dengan pemujaan terhadap dewa Mithra yang dilakukan dengan tindakan-tindakan yang bertolak belakang dari nilai-nilai Kristiani pada waktu itu, seks bebas, ritual pengorbanan manusia dsb.[1] Semua hal tersebut jelas tidak sesuai dengan penanggalan Natal yang jatuh pada tanggal 25 Desember, apalagi maknanya, sama sekali tidak sesuai. Oleh karena itu marilah kita menengok sejenak ke belakang dan kembali kepada kebenaran Alkitab.
Secara sederhana penanggalan Natal yang kita adopsi sekarang ini adalah penanggalan kesesuaian antara kalender Gregorian, Julian yang memakai solar sistem (berdasarkan peredaran Matahari) dengan Kalender Yahudi yang memakai Lunar sistem (berdasarkan peredaran bulan). Sehingga terdapatlah penanggalan Natal antara pertengahan Desember sampai dengan pertengahan Januari. Bagi Katolik (memakai kalender Julian), Yesus mati disalib tgl 14 Nisan (dalam kalender Yahudi), sama dengan 25 Maret (kalender Julian yang dipakai di Gereja Barat). Maka hari kematian Yesus tersebut disamakan dengan hari saat ia mulai dikandung Maria, sehingga ditambah 9 bulan (umur bayi dalam kandungan), maka diperoleh hari kelahiran 25 Desember. Sedangkan bagi Ortodoks (memakai kalender Gregorian), Gereja Timur merayakan Natal pada 6 Januari karena yakin bahwa tanggal 14 Nisan (kalender Yahudi) sama dengan tanggal 6 April (kalender Julian), merupakan hari awal pertama Maria mengandung Yesus. Ditambah 9 bulan dalam rahim Maria, maka Yesus dilahirkan 6 Januari.[2]
Penanggalan Julian dan Gregorian yang meskipun sama-sama menggunakan penanggalan solar sistem, tidaklah memiliki perhitungan yang sama persis. Oleh karena itu penanggalan 6 Januari (Gereja Timur) bila dikonversikan jatuh pada 24 Desember (Gereja Barat), Natal hari pertama (perhitungan penanggalan tersebut silahkan melakukan konversinya di https://www.funaba.org/cc). Penanggalan kalender yang sama-sama menggunakan acuan solar sistem saja memiliki perbedaan yang sangat signifikan, apalagi jika perhitungan penanggalan tersebut mencari kesesuaian antara penanggalan kalender yang menggunakan solar sistem dengan yang menggunakan Lunar sistem, tentu memerlukan upaya yang lebih lagi. Oleh karena itu mari kita buat sesederhana mungkin.
Jika kita melihat sejarah Natal yang menyejarah dalam Gereja Timur, maka dengan mudah kita akan menemukan begitu banyak manuskrip-manuskrip, dokumen-dokumen, dan tokoh-tokoh gereja yang berbicara mengenai hari raya Natal sebelum abad ketiga dan abad kedua. Seperti Clement dari Alexandria (150—215 AD), Hippolytus dari Roma (170-236), ia merupakan seorang tokoh Kristen Koptik (murid Irenaeus yang adalah murid Polikarpus, yang adalah murid Yohanes yang adalah murid Tuhan Yesus), dan Baba Dimitri dari Alexandria (189-232 AD), dsb. Baba Dimitri menetapkan Penanggalan Natal pertama kali pada tahun 198 AD di Mesir. Perhitungan akurat tersebut dilakukan oleh seorang astronom dari Gereja Koptik, yakni Batlimeus. Ia melakukan perhitungan berdasarkan penampilan bintang Siriuz & Kalender Mesir, yang akhirnya menemukan kelahiran Yesus terjadi pada tanggal 29 pada bulan Khiahk, atau pada tanggal 25 bulan Tebeth (kalender Yahudi).[3] Maka Gereja Timur kemudian menetapkan perayaan Natal pada tanggal 7 Januari, perbedaannya adalah tiga belas hari dari tanggal 25 Desember, yang merupakan Hari Natal bagi Gereja Barat yang merupakan cikal bakal perayaan Natal di Indonesia sekarang ini.
Lalu bagaimana penanggalan Natal menurut Alkitab? Mari kita sejenak menengok kepada Lukas 1: 5-27. Untuk mencari tahu jadwal rotasi imam (rombongan Abia) maka kita mesti mencari catatan sejarah yang berdekatan mengenai kapan salah satu dari ke-24 rombongan tersebut bertugas (1 Taw. 24: 7-19). Berdasarkan catatan seorang sejarawan Yahudi Flavius Yosepus, maka Alfred Edersheim dalam bukunya The Life and Times of Jesus The Messiah, menghitung bulan “keenam” (Lukas 1:26-38) jatuh pada tanggal 15 Nissan 3756 (Maret-April). Sehingga pada saat itulah Maria mengandung dan melahirkan Sembilan bulan kemudian yakni pada bulan Tevet (Desember-Januari), tepatnya jatuh pada tanggal 25 Desember seperti yang kita rayakan sekarang ini.[4]
Selanjutnya, jika malaikat Gabriel datang kepada Maria pada bulan yang “keenam” (merujuk pada bulan keenam dalam pasal yang sama dalam kitab Lukas tersebut) yakni bulan Nisan yang sejajar dengan bulan Maret-April kelender kita, maka tepatlah kelahiran Yesus tersebut sembilan bulan kemudian pada bulan Desember-Januari. Tidak hanya itu, jika merujuk pada Lukas 1:36-43, maka jelas kelihatan bahwa kandungan Elisabet lebih tua enam bulan dari kandungan Maria, ketika ia mengunjungi Elisabet saudaranya itu melewati pegunungan ke kota Yudea. Tentu pada saat itu Elisabet sedang hamil tua, sehingga Maria mengunjunginya, sekaligus memastikan apakah saudaranya yang mandul tersebut memang benar-benar hamil ataupun tidak. Umat Katolik menggelar perayaan terhadap Yohanes Pembaptis pada bulan Juni, sedangkan kematiannya diperingati  pada bulan Agustus. Sehingga jelas, bahwa enam bulan dari perayaan Santo Yohanes tersebut jatuh pada bulan Desember.[5]
Fakta bahwa kabar gembira kepada Maria tersebut “Id al-Bishara” (Lukas 1:26-38), sebenarnya juga telah tercatat oleh Irenaeus (130-202 M), murid dari Polikarpus, murid langsung dari Yohanes (salah seorang dari keduabelas murid Yesus ). Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dokumen tertinggi mengenai perayaan Natal bukanlah pertama kali di Roma seperti anggapan banyak orang selama ini, melainkan di Anthokia dan Alexandria yang pada saat itu menjadi salah satu kantong Kekristenan. Seperti pengakuan Mar Theophilus, Patriakh Gereja Ortodoks Syria di Anthokia (168-183 M), yang mengatakan bahwa perayaan hari kelahiran Tuhan kita diadakan setiap tanggal 25 Desember, meskipun jatuh pada hari apa pun. Kemudian selanjutnya, Baba Demitrius dari Koptik Alexandria (seperti yang dijelaskan di atas) memasukkan perayaan Natal tersebut ke dalam dokumen kuno, “Adasquliya, Ay Ta’alim Ar-Rusul”, atau sering disebut dengan Konstitusi Rasul-rasul.[6]
Berbeda dengan Anthiokia dan Alexandria, agaknya Roma baru melembagakan Natal pada masa Paus Yulius I (336-352 M). Di mana, sebelum Konstantin Agung mengeluarkan Edic Milan yang menjamin kebebasan beragama. Orang-orang Kristen sudah terbiasa mengenang kelahiran Yesus di Katakombe-katakombe (makam bawah tanah) untuk menghindari penganiayaan.[7] Perayaan Natal memang tepat pada tanggal 25 Desember kembali ditegaskan oleh Marian T. Horvat dalam salah satu tulisannya yang terkenal “Christmas Was Never a Pagan Holiday”. Di mana, ia mengatakan bahwa perayaan Natal terlebih dahulu ada sebelum adanya perayaan pagan. Ia juga menjelaskan bahwa Gereja Katolik menetapkan tanggal 25 Maret sebagai tanggal Konsepsi, jauh sebelum masa Aurelian dan Konstantin memerintah. Sebagai contoh, sekitar 221 M, Sexto Julio Africano menulis Chronographi, di mana ia menegaskan bahwa Kabar Sukacita adalah 25 Maret (tanggal Inkarnasi). Ini adalah masalah sederhana dengan menambahkan sembilan bulan untuk sampai pada tanggal kelahiran Tuhan kita yakni 25 Desember.[8]
Meskipun kita memiliki titik terang terhadap perhitungan penanggalan tersebut, namun mungkin masih ada setitik pertanyaan dalam benak kita yang belum terjawab. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa bulan Desember di Palestina merupakan musim dingin, bagaimana mungkin ada gembala di padang ketika musim dingin seperti itu? Perlu kita ketahui bersama bahwa Palestina bukan Inggris ataupun Rusia. Betlehem terletak di lintang 31.7 dari garis khatulistiwa, sehingga pada saat-saat tertentu masih nyaman untuk berada di luar di bulan Desember, artinya seseorang masih dapat menggembalakan domba di akhir bulan Desember di Palestina tersebut.[9] Menurut Eusebius (265-340) seorang sejarawan gereja dari Kaisarea, Migdal Eder (menara kawanan domba) yang terletak seribu kaki dari Betlehem, tempat para gembala menerima kelahiran Yesus sama dengan Migdal Eder yang disebutkan dalam Kej. 35: 21.
Dalam Targum Yonathan dikatakan bahwa Migdal Eder adalah tempat bani Israel memasang kemahnya, tempat Sang Raja Mesias akan menyatakan dirinya. Atau menurut literature Yahudi lainnya misalnya Mishnah, Shekinah, domba-domba yang disebut dalam kaitan dengan Migdal Eder itu bukan domba-domba gembalaan biasa, tetapi domba-domba kurban bait Allah, yang dijaga oleh gembala-gembala yang khusus menurut peraturan rabi-rabi Yahudi.[10] Karena itu menurut keterangan Misnah tadi, letak Migdal Eder berada di suatu jalan yang tertutup dalam perjalanan dari Betlehem menuju Yerusalem, bahkan berdasarkan catatan peziarah kuno, untuk memperingati peristiwa tersebut dibangun sebuah kapel yang disebut Sahl al Ra’wat (padang gembala). Sehingga dengan keadaaan tersebut, domba-domba di padang dibiarkan digembalakan, baik pada musim dingin, panas maupun hujan. Seperti yang tercatat dalam Talmud, Traktat: Bezah 40a, dan Tsepa Bezah 4:6.[11] Selain itu, yang patut kita renungkan adalah, fenomena alam tidak lah selalu sama tiap tahunnya, apalagi fenomena alam yang berdasarkan lunar sistem, pasti maju mundur bukan? Atau tidak mungkin kah ada mukzijat pada waktu ketika Sang Juru selamat lahir ke dunia, terlalu tidak masuk akal kah jika ada sedikit mukzijat sehingga malam itu tidak terlalu dingin?
Jadi, perayaan Natal pada tanggal 25 Desember bukan sekedar “cocokmologi”, bahkan berdasarkan keyakinan Yahudi bahwa tanggal kematian seorang Nabi sama dengan awal ia dikandung ibunya. Karena itu , kalau Yesus wafat pada perayaan Paskah, yakni bulan Nisan (seperti yang telah dibahas sebelumnya), maka pada tanggal yang sama, Sembilan bulan setelah bulan Nisan tersebut adalah 25 Desember. Selain itu, Yohanes Chrisostomus dalam salah satu khotbahnya pada 25 Desember 386 M, mengungkapkan bahwa Yesus memang dilahirkan tanggal 25 Desember, dan ia juga mengemukakan beberapa alasannya, antara lain: penyebaran Natal 25 Desember telah menyebar dan diterima dengan cepat oleh gereja-gereja pada waktu itu di berbagai wilayah, pelaksanaan sensus pada tahun kelahiran Yesus dapat ditentukan dari berbagai dokumen kuno yang tersimpan di Roma, dan waktu kelahiran Yesus dapat dihitung dari peristiwa penampakan malaikat kepada Zakaria pada waktu melayani bait Allah.[12] Masih banyak bukti-bukti lainnya yang menyatakan bahwa memang benar tanggal 25 Desember lah perayaan Natal, misalnya saja dari sumber tradisi suci berdasarkan kesaksian Bunda Maria sendiri. Sebagai ibu tentu ia mengetahui dengan rinci tentang kelahiran anaknya yang diteruskan oleh para rasul dan para penerus mereka. Bunda Maria pasti mengingat secara detail kelahiran Yesus ini yang begitu istimewa, yang dikandung tidak dari benih laki-laki, yang kelahirannya diwartakan oleh para malaikat, lahir secara mukjizat dan dikunjungi oleh para majus. Selain itu, Kita dapat yakin bahwa para pembela Katolik pertama dan para Bapa Gereja, yang hidup sangat dekat dengan zaman para Rasul, sepenuhnya menyadari tanggal-tanggal yang terkait dengan kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus. Mereka memiliki semua sumber kalender dan mereka tidak akan membiarkan ketidakbenaran diperkenalkan dalam liturgi Katolik pada waktu itu, sehingg tanggal kelahiran Kristus ditransmisikan oleh mereka sebagai tanggal 25 Desember sangatlah tepat seperti yang kita rayakan sekarang ini.


[1] Joseph F. Kelly, The Birth of Christmas, Texas: Christian Ethics Baylor University, 2011, p. 13-15
[2] http://www.katolisitas.org/apakah-yesus-lahir-tanggal-25-desember, diakses 26 Desember 2018
[4] Bambang Noorsena, Refleksi Ziarah ke Tanah Suci, Malang: Devisi Literature Religi ISCS Publising House, 2015, p. 189
[6] Bambang Noorsena, Refleksi Ziarah ke Tanah Suci, Malang: Devisi Literature Religi ISCS Publising House, 2015, p. 190-194
[7] Bambang Noorsena, Refleksi Ziarah ke Tanah Suci, Malang: Devisi Literature Religi ISCS Publising House, 2015, p. 195
[8] Marian T. Horvat, “Christmas was Never a Pagahttps://www.traditioninaction.org/religious/e031rp_PaganOrigins.html, diakses pada tanggal 27 Desember 2018.
n Holiday”, dimuat dalam
[10] Bambang Noorsena, Refleksi Ziarah ke Tanah Suci, Malang: Devisi Literature Religi ISCS Publising House, 2015, p. 215-216
[11] Bambang Noorsena, Refleksi Ziarah ke Tanah Suci, Malang: Devisi Literature Religi ISCS Publising House, 2015, p. 216-217
[12]   Bambang Noorsena, Refleksi Ziarah ke Tanah Suci, Malang: Devisi Literature Religi ISCS Publising House, 2015, p. 205-206

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Iman dan Rasionalitas