Iman dan Rasionalitas
Iman dan
Rasionalitas tidaklah berlawanan seperti anggapan orang banyak selama ini.
Justru ketika seseorang beriman, mau tidak mau harus menggunakan rasio, jika
tidak, bisa jadi mengakibatkan seseorang bisa beriman dengan “ekstrem kiri
maupun ekstrem kanan” yang fundamentalis. Iman yang tidak disertai dengan rasio
belumlah utuh. Di sini bukan berarti, bahwa rasio hendak memahami rahasia Ilahi,
melainkan hendak menunjukkan bahwa beriman tidaklah bertentangan dengan rasio,
justru sebaliknya, bahwa beriman dapatlah dan haruslah dipertanggungjawabkan
secara rasional. Maksudnya, setidaknya apa yang diimani dapat dipertanggungjawabkan
secara teologis dan filosofis. Secara teologis,
dengan menunjukkan bahwa apa yang diimani, serta kehidupan yang dijalankan
berdasarkan iman itu, yang sesuai dengan sumber iman dan wahyu dari apa yang
diyakini oleh yang bersangkutan, sebagai sumber kebenaran. Secara filosofis
maksudnya, ketika beriman maka dapat ditunjukkan rasionalitas iman tersebut, di
mana rasio atau nalar dapat memeriksa keyakinan ataupun ajaran agama yang
dianutnya dari beberapa sudut, misalnya dari sudut konsistensi logis,
pengalaman batin, dan lain sebagainya.[1]
Rasional
sekaligus beriman merupakan suatu keharusan di zaman modern yang erat dengan
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan sekarang ini. Di mana ilmu
pengetahuan selalu menuntut segala sesuatu secara ilmiah, secara rasional. Namun,
harus disadari juga, bahwa iman dan ilmu pengetahuan sebenarnya memiliki corak
yang berbeda. seperti teori Popper yang mengatakan, bahwa ilmu pengetahuan
sebenarnya juga tidak obyektif semata-mata, berarti kebenarannya letaknya
ketika cocok dengan teori tertentu, bersama model tertentu. Pengetahuan juga
tidak dapat menerangkan segala-galanya, dalam arti perlu disadari bahwa
penyelidikan ilmiah dengan rasio tesebut juga tidak mungkin bisa membuka semua
rahasia alam dan hidup ini. Dengan kata lain, bahwa ilmu pengetahuan dengan
keilmiahannya yang berdasakan rasionalitasnya tidak mengajarkan bagaimana orang
harus hidup, sebab nilai hidup sendiri tidak diketahuinya dan hanya bisa
dijawab oleh iman, keyakinan secara rasional.[2]
Di zaman modern
yang kritis ini, banyak hal yang transparan dalam panggung sandiwara kehidupan
manusia, termasuk juga hal-hal yang bekenaan dengan iman. Jika pada zaman dulu
ada anggapan iman dan rasio saling bertentangan bahkan sulit untuk dipertemukan,
maka zaman sekarang ini iman dan rasio adalah dua hal yang harus ada dan saling
melengkapi. Beriman dan rasio tidak bisa lagi ada alasan,“’pokoknya’, pokoknya
iman begini, begitu, rasio begini dan begitu” karena di zaman modern ini
manusia makin kritis. Di mana iman harus dipertanggungjawabkan, di mana beriman
harus dengan rasio, namun juga harus rasional ketika beriman. Ketika iman
dipertanyakan harus juga ada penjelasan-penjelasan argumentasi yang bersifat
rasional, dan mencerahkan. Beriman bukan hanya sebuah konsep, teori ataupun sesuatu
yang jauh, mengawang-awang di luar sana, yang sulit dijelaskan apalagi
dilakukan, jika demikian untuk apa? Namun beriman itu sesuatu yang masuk akal, tidak
bertentangan dengan ilmu pengetahuan bahkan saling melengkapi, beriman itu
dapat dinalar, dialami, yang memang bisa dijelaskan dan diterima dengan akal
sehat.
Komentar
Posting Komentar