Aku, Tuhan, dan Sesama


Acap kali kita melihat segala sesuatu sebagai obyek, padahal sikap kita akan berbeda ketika kita melihatnya sebagai subyek, dan parahnya lagi muatan ideologi. tersebut kemudian menjadi prapaham yang menyeret kita kepada suatu perspektif. Bukan suatu pemandangan yang biasa, ketika sikap tersebut juga menjelajahi kehidupan spiritual orang-orang percaya pada zaman sekarang ini. Di mana, kita tertawan dalam paradigma, melihat orang lain, bahkan melihat Tuhan juga sebagai objek, tanpa kita sadari. Jangan-jangan banyak orang terjebak dalam penempatan relasi tersebut. Hubungan yang harusnya "Aku-Engkau" bisa saja menjadi "Aku-Itu" ataupun relasi yang harusnya "Aku-Engkau" mengalami degradasi menjadi relasi "Aku-Itu" demikian sebaliknya.

Apa yang kita rasakan ketika kita melihat Bintang, Bulan, Burung-burung, bahkan pohon ataupun bunga di depan rumah kita? Apakah Anda pernah mendengar suatu istilah yang demikian, “Banyak orang menggunakan Tuhan, datang kepada-Nya untuk lari daripada-Nya”. Apa yang terbersit ketika kita mendengar istilah tersebut? Mungkin, bagaimana konsep yang selama ini kita miliki ataupun bagaimana selama ini kita memandang relasi kita dengan Tuhan dan sesama akan sedikit menolong kita.

Dalam bukunya, “Aku, Tuhan, dan Sesama: Butir-butir pemikiran Martin Buber Tentang Relasi Manusia dan Tuhan”, Martin Buber tidak berangkat dari ruang yang kosong dalam pemikirannya. Latar belakang kehidupan, Hasidisme, Yudaisme, dll membuatnya mampu mengolah Eksistensialisme dan relasi "Aku, Tuhan, dan Sesama dengan sangat khas. Realitas sebagai "Ruang Antara" ketika "Aku", berhubungan dengan "ketiganya," menyatu, sehingga memiliki pengetahuan tentangnya, dan kemudian dengan perangkat filosofis pikiran manusialah yang bekerja mengobjektivasi berbagai macam hal dengan menggunakan bahasa. Karena kecendrungan ego adalah memisahkan dirinya dari yang lain, maka dalam berhubungan, pribadi harus lebih mendominasi kehidupan manusia daripada ego, sehingga terjadi dialog yang kemudian bergeser ke komunikasi, dan menjadi persekutuan, sehingga membentuk proses yang “mempribadi” sehingga manusia tidak kehilangan aktualisasi dirinya.

Manusia senantiasa berada dalam dua hubungan yang pada polanya mungkin sering berganti-ganti, entah itu disadari ataupun tidak, yaitu "Aku-Itu" (hubungan subjek-objek) dan hubungan "Aku-Engkau" (hubungan subjek-subjek). Takkala manusia berhubungan, sering kali yang muncul adalah kecendrungan pemanfaatan, dengan berbagai kepentingan, acapkali tidak melihat hubungan tersebut sebagai yang setara, yaitu sebagai subjek. Bahkan membatasi, mengotak-ngotakkan hubungan tersebut, menggunakannya hanya sebagai pemuas keinginan. "Aku" menggunakan engkau sebagai "bahan," sebagai pemenuhan akan kebutuhanku, memperlakukannya dengan sepihak, tanpa dialog, sehingga hubungan tersebut menjadi hubungan "Aku-Itu". Meskipun dikemas dalam berbagai hal dan berbagai warna termasuk juga dalam hal kerohanian, hubungan tersebut tetaplah “Aku-Itu” yang efeknya akan membuahkan keterasingan dan kehilangan jati dirinya dari dunia sekitarnya. 

Hubungan "Aku-Engkau"sangat berbeda dengan hubungan "Aku-Itu". Terjadi dialog ketika berada di dalam hubungan "Aku-Engkau". Hubungan tersebut dibangun atas dasar kesetaraan, penghormatan, penghargaan, dan kebebasan. Suatu hubungan timbal balik yang penuh dengan keiklasan cinta dalam pemberian dan penerimaan. Hubungan “Aku-Engkau” ibaratkan udara yang diperlukan manusia untuk dapat bernafas dan hidup, yang berarti “tidak bisa tidak” harus ada, jika hendak mengalami perjumpaan antara “Aku dengan Engkau”. “Aku dan Engkau yang berada dalam ruang antara dalam kebebasan, kebebasan yang konsisten. Hubungan “Aku-Engkau” juga didasari oleh kehendak yang bersatu dengan anugrah yang mendorong manusia untuk berelasi antara satu dengan yang lainnya (mengalami), yang kemudian “mengalami perjumpaan” tidak hanya antara sesama manusia, juga dengan alam, dan hal-hal yang bersifat rohani, sehingga dengan demikian hubungan “Aku-Engkau”” mampu menyapa aspek spiritual (Tuhan) yang mengalami realitas yang semakin aktual menjadi” dan mempribadi.

Kita mesti terus menjaga kepekaan, dan tidak terjebak dalam pola hubungan tertentu, apalagi pola hubungan yang meregredasi, entah itu dengan sesama maupun dengan Tuhan. Selalu waspada dan mawas diri, bahwa kita merepresentasikan kehendak Allah, dan terus kritis dan mempertanyakan hubungan seperti apa yang sedang kita jalani selama ini, sekarang ini, apakah “Hubungan Aku-Itu, Aku-Engkau, ataupun Aku-Engkau Absolut”?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Sejarah Natal yang Menyejarah

Iman dan Rasionalitas