Melatih Kepekaan: Sebuah Refleksi dari Panggilan TUHAN kepada Musa
Melatih Kepekaan: Sebuah Refleksi dari Panggilan TUHAN kepada Musa
Keluaran
4: 24-25
“Apa
yang akan Anda lakukan , ketika berada di sebuah kapal yang menuju suatu
pelabuhan abadi, padahal Anda tahu, jikalau bahtera tersebut bocor?”.
Pertanyaan ini saya pernah ajukan ke beberapa orang, dan tentu jawabannya juga
beraneka ragam. Bagaimana dengan Anda?
Ein Schiff das man gemeinde nent adalah
salah satu lagu hymne yang sangat terkenal, yang kemudian diterjemahkan oleh
YAMUGER ke dalam bahasa Indoneia yang kita kenal dengan judul “Gereja Bagai
Bahtera”(NKB 111). Bait yang kelima NKB
111 ini, begitu mencuri perhatian saya, yang berbunyi;
“Gereja bagai bahtera di laut yang
seram,
mengarahkan haluannya ke pantai
seberang.
Hai ‘kau yang takut dan resah, ‘kau
tak sendirian;
teman sejalan banyaklah dan Tuhan di
depan!
Bersama-sama majulah, bertahan
berteguh;
tujuan akhir adalah labuhan Tuhanmu!”
Lagu
ini sarat dengan makna dan pesan kepada saudara dan saya, yang mengingatkan
kita, bahwa gereja itu seperti sebuah kapal, sebuah kapal yang menuju pelabuhan
abadi, yaitu pelabuhan Tuhan kita. Gereja sekarang ini berada dalam zaman yang
“seram”, namun gereja tidak boleh stagnan di tengah “lautan dunia ini”. Gereja
harus bertolak, karena untuk itulah gereja dipanggil, itulah hakikat gereja,
itulah realitas diri kita.
NKB
111 tadi juga memaparkan suatu realita pelayanan. Memang wajar, jika kita
merasa takut dan kadang merasa sendirian, namun jangan sampai hal itu membatu dalam diri kita, karena hal itu
bisa mengikis kepekaan kita juga. Iman kepada Tuhan itu bukan iman yang
mengawang-awang, dan tidak mendarat di bumi, namun iman yang kongkret,
yang mengejawantah dalam setiap orang
percaya. Artinya, hubungan kita dengan Tuhan, menjadi jelas kelihatannya ketika
berhubungan dengan sesama. Apa yang kita pelajari sebagai pengetahuan akan
kebenaran Firman Tuhan yang memerdekakan
itu, teruji ketika kita menghadapi problema, pergumulan dalam kehidupan kita,
juga dalam kehidupan pelayanan kita!
Dan
yang paling menohok yang disampaikan
oleh lagu tersebut adalah, “bersama-sama majulah, bertahan-berteguh”. Jelas,
lagu itu menyampaikan suatu realita yang tidak bisa dikamuflase, bahwa kita bersama-sama dalam sebuah
bahtera, bahwa kita tidak sendiri-sendiri bekerja melayani di dalam sebuah
gereja. Mengapa hal ini sangat penting! Ya, sangat penting, begitu banyak
alasan kenapa hal tersebut penting, entah itu alasan psikologis, maupun alasan
teologis (kita tidak akan membicarakannya di sini).
Kembali
ke pertanyaan di atas,”Apa yang Anda lakukan jikalau tahu kapal itu bocor”? Ada
dua hal penting yang kita bisa tarik dari pertanyaan tersebut. Yang pertama
adalah masalah “kepekaan”, dan kedua adalah
“tindak lanjut”.
Kalau
kita tidak peka, bagaimana kita tahu kalau kapal tersebut bocor! Ya, kalau
bocornya besar, mungkin semua orang bisa melihat, bagaimana kalau bocornya
kecil, dan hal itu berada dalam jangkauan saudara! Bocor besar dan kecil hanya
masalah waktu, bahtera itu pasti tenggelam ditelan lautan yang “seram”. Kalau kita tidak peka, bagaimana kita tahu
kalau gereja kita bocor! Ya, kalau masalah dan pergumulan besar gereja pasti
ketahuan, namun bagaimana jika masalah tersebut hanya kecil membatu namun banyak, bukankah gereja
juga akan tenggelam ditelan “lautan dunia” yang menyeramkan?
Tentang
kepekaan itu, kita bisa berkaca dari kisah hidup Musa! TUHAN dengan anugrah, dan
dengan cara-Nya yang penuh hikmat (step
by step) memilih dan memanggil Musa. TUHAN terlebih dahulu menampakkan diri
kepada Musa, kemudian memanggilnya dengan namanya, Ia memperkenalkan diri, dan
kemudian berfirman. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana jika pada saat itu
TUHAN langsung berfirman dan memberikan perintah kepada Musa. Bisa jadi Musa
terkejut, ketakutan, dan bahkan lari! Namun tidak demikian bukan, TUHAN bahkan
memberikan banyak tanda kepada Musa, tanda-tanda yang “lembut dan keras”. Ia
dengan sabar mengenalkan diri-Nya, memberitahukan, mengarahkan Musa tentang
hal-hal yang akan Musa lakukan, bahkan dengan sangat detail (Kel. 3: 4-15,
4:1-31). Namun dengan semua peristiwa itu, apakah membuat Musa menjadi sangat peka!
Jawabanya Anda pasti sudah tahu!. Karena jikalau ia sangat peka, tidak mungkin ia melewatkan hal yang
vital yang berakibat fatal, yaitu “tanda perjanjian”. Tanda komitmen
kepada TUHAN Semeta Alam.
Salah
seorang sahabat saya pernah berkata demikian, “Yang penting saya melakukan
tanggung jawab pelayanan saya semampu saya, saya tidak peduli bagaimana
pandangan orang lain, dan saya memilih diam”. Saya setuju dengan pandangan
sahabat saya ini, karena memang, pada kenyataannya banyak juga orang-orang di
gereja yang hanya pintar berbicara namun tidak melakukan apa-apa! Namun hal
tersebut juga tidak bisa dibenarkan bukan! Karena bagaimana pun kita adalah
satu tubuh, tidak mungkin tangan mau ke sana, sementara kaki mau ke sana?
Bagian-bagian tubuh harus Sincron, oleh karena itu Tuhan menaruhkan pikiran,
yang harusnya diotoritasi oleh Sabda Tuhan (1 Kor 12: 12-31).
Kembali
ke pertanyaan di atas, saya rasa patut kita renungkan bersama-sama adalah
bagaimana sikap kita ataupun tindak lanjut apa yang akan kita lakukan ketika kita
tahu bahtera/kapal yang kita gunakan bocor. Gereja yang anda sedang tempati
bocor, sementara Anda hanya berdiam dan tetap mengayuh bagian Anda saja! Memang
bahtera akan tetap berlayar, tapi tetap tenggelam juga bukan?
Bayangkan
Anda berada di sebuah bahtera (kapal perang yang lama yang masih menggunakan
tenaga banyak orang untuk mengayuh). Sementara mengayuh, Anda melihat ada
kebocoran, ada masalah. Saya rasa sebagai orang berhikmat Anda pasti akan
berusaha mengatasinya, ataupun minimal memberitahukannya kepada orang yang
mengalami masalah tersebut, atapun memberitahukannnya kepada orang yang Incharge di kapal tersebut! Kita
membutuhkan orang lain dalam pelayanan kita. Musa tidak peka terhadap
peristiwa-peristiwa yang ia alami, bahkan karena ketidakpekaan tersebut
nyawanya hampir melayang. Namun bersyukur ada orang lain di situ, yaitu
Istrinya, yang kebetulan juga dalah sahabat, ataupun teman sepelayanannya.
Dengan sigap Zipora bertindak menolong Musa dari keteledorannya,
dengan memotong kulit khatan anaknya, dan Musa kemudian disebut dengan “Pengantin
Darah” (Kel. 4:25-26).
Mungkin
kita bertanya-tanya, mengapa nyawa Musa hampir melayang, TUHAN berikhtisar
membunuhnya, padahal ia sedang pergi ke Mesir dan melakukan apa yang Tuhan
perintahkan! Jika kita studi lebih mendalam, sangat fatal akibat dari
keteledoran Musa tersebut. Akibat ketidakpekaannya terhadap TUHAN. Musa lumayan
bebal, harusnya ia mengenal TUHAN dengan baik, karena TUHAN telah memberitahukan
banyak hal kepada Musa, namun meskipun demikian karena ia kurang peka, tidak
ada tindak lanjut yang tepat darinya. Apa maksudnya, setelah bernegosiasi yang alot, Musa akhirnya manut kepada TUHAN, namun masih penuh keragu-raguan. Ada beberapa hal yang bisa
kita pelajari dari kelalaian Musa, akibat ketidakpekaanya itu yaitu; Anaknya
belum disunat, padahal ia sudah tahu dengan jelas bahwa itu merupakan ketetapan
TUHAN selama-lamanya, dari Allah Abraham (Kej 17:10). Sunat sebagai bentuk
ketaatan dan komitmenya kepada TUHAN. Ia tidak ingat apalagi dilakukan, bahkan
ia pergi kepada mertuanya terlebih dulu, dan juga membawa isteri dan anaknya,
yang hal itu tidak ada dalam perintah TUHAN tersebut.
Dari
segi gramatika bahasa, kata “membunuh” yang diterjemahkan oleh TB-LAI, sesuai
akar kata bahasa Ibrani hanya terdapat tiga kali dalam Alkitab Perjanjian Lama
dalam dan konteks yang berbeda, namun kata tersebut bermaksud mendisplinkan, bukan
dengan makna yang “keras” untuk membunuh (Kel. 4:24, Amsal 19:18, dan Yer.
26:21). Kata yang digunakan adalah הֲמִיתֹו (Hamithu) yang kebanyakan penafsir menerjemahkannya menjadi “menghancurkan
ataupun ekskusi). Hal ini berbeda dengan bahasa larangan keras untuk “membunuh”
yang digunakan di bagian Alkitab yang lain, seperti “Jangan membunuh” (Ul.
5:17). Kata yang digunakan di sana adalah תִּֿרְצָח
(Trasah), “nada keras”, benar-benar
artinya membunuh, mematikan, ataupun pembunuh. Hal ini mengisaratkan kepada
kita bahwa, Allah itu begitu penuh kesabaran dan belas kasihan, dan tetap berpengampunan
kepada Musa. Bagaimana pun hidup kita sekarang ini, kita bisa melihat bahwa pengampunan
Allah itu tetap ada dari dulu sampai sekarang. Allah adalah TUHAN yang tidak
pernah berubah, namun perlu kita ingat, Ia juga bisa murka (Kel. 32: 11).
Kemurahan
dan anugerah TUHAN begitu besar, Musa tidak hanya tidak dibinasakan, malah sebaliknya
ia diperbaharui. Istilah “Pengantin Darah” yang dikenakan kepada Musa,
menandakan bahwa Musa telah diperbaharui oleh darah tersebut. Musa yang
harusnya binasa karena kelalaiannya, diperbaharui. Harusnya ia sudah mati, dan
Zipora menjadi janda. Namun tidak terjadi demikian, Zipora dan Musa sekali lagi
menjadi pengantin dalam Tuhan yang telah diperbaharui oleh darah sunat tersebut
(Kel. 4:26). TUHAN berkenan memakai orang-orang di sekeliling kita untuk
menolong kita, seperti TUHAN memakai Zipora untuk menyelamatkan Musa.[1]
Saya
tidak meragukan hati dan totalitas Musa dalam melayani, seperti saya juga tidak
meragukan totalitas saudara ketika melayani! Namun, sangat disayangkan, ketika
TUHAN memanggil kita, respon kita sama seperti Musa, dan parahnya lagi,
jangan-jangan Allah bisa marah kepada kita, karena ketidakpekaan itu!padahal
begitu banyak tanda-tanda yang telah Allah taruhkan dalam kehidupan kita, lewat
peristiwa-peristiwa yang orang lain alami, bahkan yang kita alami sendiri. Kita
telah berkaca dan belajar dari kehidupan Musa, bahwa “kepekaan dan tindak
lanjut” itu adalah sesuatu hal yang penting dalam sebuah perjalanan kehidupan,
terkhususnya juga dalam pelayanan.
Jika
Musa berada di sebuah bahtera, saya yakin ia pasti sudah tenggelam, karena ia
tidak peka kalau ada yang bagian kapal yang bocor, parahnya lagi, ia tidak sadar
dan tidak ada tindak lanjut terhadap keadaan itu, dan untung di dalam bahtera
tersebut ada Zipora. Yang kemudian dengan sigap bertindak, sehingga keadaan
tersebut bisa dengan cepat diperbaiki, dan bahtera tersebut tidak jadi
tenggelam. Alkitab mengajarkan kita tentang banyak hal mengenai team work sehingga labuhan abadi itu
kita bisa capai bersama.
Dengan
lautan pelayanan yang semakin menyeramkan, kita perlu bekerjasama dengan yang
lain, saling bahu-membahu dengan kerendahan hati. Memang tidak gampang berlayar
dalam pelayaran rohani dengan orang-orang yang berbeda, bahkan orang sekaliber
Petrus dan Paulus pun pernah berseteru dalam pelayanan mereka, boleh dikatakan
hanya karena pandangan yang berbeda dan komunikasi yang tidak beres, sehingga Paulus harus menegur Petrus (Gal 2:11-14). Bukan
kah mereka sangat dekat, bukan kah tidak diragukan lagi totalitas mereka,
bahkan mereka berdua menjadi martir demi Kristus.
Mau
tidak mau, suka atau suka, kita semua sudah berada dalam satu bahtera, yaitu
Gereja. Dan dalam bahtera tersebut kita memiliki bagian masing-masing, dan
bagian masing-masing tersebut menjadikan kita menjadi bahtera yang utuh,
sehingga bisa berlayar dengan tegap-teguh, penuh damai sejahtera dan sukacita
meskipun di tengah lautan dunia yang menyeramkan. Namun sebelumnya kita harus
peka dan memiliki tindakan tindak lanjut dari kepekaan itu, sehingga kita bisa
memiliki relasi yang baik dengan Allah. Salah satu buah relasi yang baik itu
adalah tercerminnya relasi yang baik dengan sesama, saling melayani, saling
menegur dalam kasih demi labuhan abadi (1 Yoh. 4:20). Kiranya TUHAN memberikan
kita kepekaan, kerendahan hati, kesehatian, memampukan kita menjadi team work yang baik dalam mengayuh kayuh
bahtera pelayanan yang penuh dengan kepelbagaian menuju pelabuhan abadi,
pelabuhan Tuhan kita. Amin.
[1] Brevard
S. Childs. The Book of Exodus (1974):
A Critical, Theological Commentary (The Old Testament Library) (Kindle Location
2374). Presbyterian Publishing Corporation.
Saya kagum melihat teks diatas. Bahasanya juga sederhana sehingga siapa pun yg membacanya pasti langsung tau inti dari teks itu 🙂🙂🙂
BalasHapus