Bagaimana Membuat Acar: Sebuah Refleksi Tentang Ketergesa-gesaan


Suatu pemandangan yang sudah tidak jarang kita saksikan, bahwa ada orang-orang yang keluar dari gedung ibadah dengan tergesa-gesa, padahal ibadah belum selesai, dan doa berkat belum dilayankan. Sangat sayang bukan! padahal begitu pentingnya sebuah doa berkat, sehingga sebelum Abraham pergi ke tanah kanaan, sebelum ia pergi berkarya, berziarah dalam kehidupannya ia diberkati Tuhan terlebih dahulu (Kejadian 12:2-3). Tidak pelak lagi, fenomena ketergesa-gesaan sepertinya eksis dan moncer di banyak tempat dan bisa saja sangat akrab dengan beberapa orang tertentu, saya harap Anda bukan salah satunya! Bahkan, kemajuan teknologi yang seharusnya menolong, dan membantu manusia untuk menjadi tidak tergesa-gesa, sepertinya kurang berhasil.
Saya pernah mengenal seorang rekan kerja yang selalu tergesa-gesa, kegiatan yang seharusnya bisa dilakukan dengan rileks, penuh makna, dan tepat waktu, menjadi suatu kegiatan yang tergesa-gesa. Bahkan di kalangan Mahasiswa sendiri pun penyakit tergesa-gesa tersebut sangat berhasil menajamkan tajinya. Hal ini terlihat dengan jelas ketika musim-musim Test Tengah Semester ataupun Test Akhir Semester, system kebut semalam (SKS) sepertinya mujarab, ketika mereka harus menyelesaikan tugas-tugas mereka dalam waktu singkat, yang pastinya dengan tergesa-gesa, dan Anda pasti sudah tahu seperti apa hasilnya!
Kenapa ketergesa-gesaan menjadi masalah yang begitu penting. Yang jika tidak diselesaikan bisa menyeret kita kepada hal yang fatal! James Bryan Smith (JBS), dalam bukunya The Good and Beautiful God menyampaikan suatu fakta kepada kita,bahwa ketergesa-gesaan adalah suatu penyakit. Ketergesa-gesaan tidak lah sama dengan kecepatan. Kecepatan itu baik, dan bukanlah sesuatu hal yang buruk, sementara ketergesa-gesaan itu adalah sesuatu hal yang buruk, yang membuat kita menjadi kurang sabar, sehingga kita akan kehilangan fokus, bahkan hal tersebut akan menguras kehidupan jasmani maupun rohani kita, sehingga tentunya hal itu akan membuat hidup kita layu dan kurang bergairah (James Bryan Smith, 2009: 180).
Nada-nada yang berbeda dalam ritme tertentu (teratur) menghasilkan harmonisasi lagu yang enak didengar, sehingga menjadi symphony yang indah, saudara bisa bayangkan, bagaimana jikalau nada yang berbeda tersebut, tidak dimainkan dengan ritme yang teratur, akan jadi kacau bukan! Dari hal tersebut kita bisa belajar, betapa pentingnya sebuah ritme, sehingga dari ritme tersebut, kita bisa menyajikan kehidupan yang indah, yang tentunya penuh makna. Semuanya diawali dengan ritme yang baik, yaitu keseimbangan aktivitas antara  berdoa dan bekerja, namun bukan dalam arti dikotomi, tetapi haruslah fleksibel dan tidak kaku.
Kadang kita perlu hadir, hadir dengan sungguh, dan sungguh-sungguh hadir pada moment tertentu dengan seluruh keberadaan kita. Kita perlu berdiam, dan memerhatikan dunia ini, dan apa yang disekitar kita, sehingga hal tersebut akan mengikis perlahan dan perlahan ketergesaan kita, dan juga akan menambah kepekaan kita. Marta tidak sepenuhya salah akan keramah-tamahanya, ketika ia menjamu tamunya, namun yang menjadi masalah adalah ketika ia terperangkap dengan konsep yang salah, konsep yang berbuahkan dilema dalam dirinya, sehingga ia kehilangan fokus, dan lupa bahwa bukan menjamu yang terpenting, tetapi Yesus sendiri. Banyak orang lari dari Allah, dengan seakan-akan datang dan bersembunyi kepada Allah, banyak orang kelihatan rohani, dengan melakukan hal-hal rohani, namun tidak lah benar-benar rohani, bahkan banyak juga yang manipulatif, ketika tidak ada keterpadanan antara kata dan perbuatan dalam hidupnya. Seharusnya yang kita lakukan sebelum berkarya kepada Allah, adalah harus hidup dalam Allah terlebih dahulu, yang pastinya hal itu tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa, namun terlebih dahulu harus duduk tenang dan mendengarkan-Nya.
JBS dalam bukunya The Good and Beautiful God kembali mengingatkan kita, bahwa semua perlu waktu dan proses, tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. Tuhan Yesus sebelum melakukan segala sesuatu, Ia pergi berdoa ke tempat yang sunyi pagi-pagi benar, dan memilih pilihan yang tepat, yaitu bersama Bapa Surgawi. ( Markus. 1:35-39). Demikian juga dengan Martin Luther, Ia berdoa berjam-jam sebelum ia melakukan aktifitasnya, bagaimana dengan kita! Yang sering terjadi malah sebaliknya, berdoa beberapa menit, bahkan detik, dan kemudian melakukan aktivitas yang berjam-jam, ironis bukan!
JBS mengilustrasikan waktu dan proses tersebut seperti membuat acar. Ketika membuat acar, kita memerlukan waktu dan bahan yang banyak, yang kemudian diracik dan diendapkan dalam waktu yang cukup lama, sehingga bahan-bahan yang telah diracik tersebut saling meresap antara satu dengan yang lainnya, dan jadilah acar yang enak dan siap disajikan ((James Bryan Smith, 2009: 192-193). Hal tersebut juga mengingatkan kita, bahwa tidak ada sesuatu yang instant, semua butuh waktu dan proses, sehingga lewat pemerosesan yang ada kita didewasakan, sehingga benar-benar dewasa, dan bukan dewasa karbitan.
Mari kita memeriksa hati dan pikiran kita, dan mari kita mengenakan konsep yang benar tentang segala sesuatu, konsep yang utuh, konsep yang benar tentang Allah yang baik dan Indah itu. Mari kita belajar untuk tidak tergesa-gesa, belajar memperlambat tempo, dan mengikuti ritme-Nya Allah yang diwahyukan dalam diri Yesus, dan membiarkan apa yang telah diajarkan-Nya, meresap dalam kehidupan kita, masuk ke dalam hati, jiwa, dan pikiran kita. Kiranya Roh Kudus memampukan dan menolong kita. Amin
Blessings, Malemmita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUHAN Menjamin Penyertaan-Nya: Sebuah Tafsir dari Yesaya 43: 1-7

Teologi Bencana

Menang Bersama Mengatasi Penderitaan (Roma 8: 18-25)